Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

'Buddha Cacat' Menurut Daoed Joesoef

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, menulis soal Borobudur. Ia menyinggung perdebatan lama yang telah mati. Soal arca "Buddha cacat" yang masih misterius.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Borobudur Penulis: Daoed Joesoef Penerbit: Buku Kompas, Desember 2004 Tebal: 164 hlm

Tiba-tiba Daoed Joesoef menulis soal Borobudur. Di usia menginjak 78 tahun, ia seperti banyak mengenang hal yang berkesan di masa lalunya. Belum lama ia meluncurkan Emak. Sebuah novel, semibiografis, bercerita tentang sosok ibunya yang begitu dekat dengan dirinya. Dan kini Borobudur, sebuah bangunan sakral yang agaknya menduduki tempat khusus di hatinya.

Ingatannya melayang ke tahun 1953. Bersama sahabat karibnya, Adi Putera Parlindungan, berdua mereka naik ke puncak Borobudur. Borobudur yang sehari-hari tak terawat, ditumbuhi tunas-tunas kecil dari kotoran kelelawar, makin seperti sampah. Pada malam purnama, banyak muda-mudi bergerombol atau para penganut kebatinan yang ingin bersamadi.

"Kami dapati Candi Borobudur dalam keadaan yang memprihatinkan…. Lorong-lorongnya serba miring dan berlumut… penuh daun dan kulit pisang, tongkol jagung dan sisa-sisa makanan lainnya...." Di antara arca-arca diam, sekarat, puntung rokok, dan sisa kemenyan, di antara stupa-stupa yang sewaktu-waktu bisa amblas, runtuh itu, mereka tidur di bawah sinar bulan.

Memori akan Borobudur yang campur aduk—elok-magis, purbawi, tapi kotor, menanti ajal—itu dibawanya sampai Paris. Saat 1964-1972 menjadi mahasiswa Universitas Sorbonne, ia sering menyambangi Unesco, lembaga PBB yang pusatnya di Paris. Ia memperoleh informasi bahwa Unesco memiliki dana khusus untuk pemugaran situs bersejarah di dunia.

Tahun-tahun itu yang mendapat donasi adalah situs Abu Simbel di tepi Sungai Nil. Ia heran mengapa Kedutaan Besar Indonesia tak ngotot mendapatkannya. Berkali-kali ia melaporkan hal itu, tapi tak ada inisiatif bergerak. Sampai akhirnya Jenderal Askari menjadi duta besar Indonesia di Prancis. Askari, menurut dia, punya perhatian.

Melalui Askari, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Mashuri, meminta dirinya sebagai wakil aktif Indonesia di Unesco. Tugasnya meyakinkan Unesco bahwa Borobudur butuh pendanaan. Ketika diajukan saat itu, Borobudur bersaing ketat dengan kota air Venesia dan situs Mohenjodaro di Pakistan. Tapi Borobudur menang.

Pemugaran Borobudur dimulai pada 10 Agustus 1973. Pada 1978, Daoed diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Otomatis, ia banyak mengadakan kunjungan ke Borobudur. Di situ naluri menggambarnya bergetar lagi. Ia intens membuat sketsa pemugaran Borobudur. Terbukti, Daoed seorang jago gambar. Pada 1946 ia menjadi Ketua Seniman Indonesia Muda (SIM) cabang Yogya.

Dalam buku ini, Daoed mengungkapkan sejak awal memang banyak yang tak suka dengan proyek ini. Ketua Pemugaran Borobudur, arkeolog Prof Sukmono, misalnya, sering menerima ancaman. "Saya sendiri kerap menerima surat kaleng dan selebaran gelap yang isinya berupa makian, hujatan dan kutukan bahwa saya orang kafir karena bertanggung jawab atas pembangunan berhala yang terbesar di tanah air," tulisnya. Ketika 21 Januari 1985 Borobudur diledakkan dan sembilan stupanya koyak-moyak, ia terperangah, teringat surat-surat kaleng itu.

Sesungguhnya, tidak ada informasi yang baru dalam buku ini. Buku ini hanya merangkum pendapat pakar Borobudur seperti A.J. Bernard Kempers, De Casparis, dan Soekmono. Ada asal-usul nama Borobudur, berbagai teori stupa, cerita relief, atau refleksi numerik jumlah arca. Sebuah disertasi (kini telah dibukukan) tentang Borobudur berjudul Candi Borobudur Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya karya arkeolog Noerhadi Magetsari sayangnya tidak digunakan Daoed sebagai referensi. Padahal buku itu secara mendalam mengurai konsep Bodhisattwa versi Mahayana yang menjadi dasar pembangunan Borobudur.

Satu yang paling menarik adalah saat Daoed menyinggung soal unfinished sculpture, "arca Buddha buruk muka". Ini lama tak terdengar. Untuk itu kita harus kembali ke era Belanda. Pada 1907-1911, Van Erp memimpin pemugaran. Ia menemukan stupa induk, sedangkan stupa di puncak Borobudur dalam keadaan bolong. Ternyata di dalamnya ada sebuah arca Buddha tertimbun tanah.

Saat dikeluarkan, arca itu ternyata bersosok belum sempurna. Dalam posisi bhumiparsa-mudra—tangan sedang menyentuh tanah—kerul rambut Buddha belum dipahat, lengan atasnya yang kanan tidak sama panjangnya dengan yang kiri, jari-jari tangannya tak lengkap, salah satu ibu jarinya hilang, pahatan di lipatan jubahnya tidak halus.

Karena tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai asal-usulnya, Van Erp meletakkannya di bawah pohon kenari di halaman Candi. Ia menutup kembali bolong di stupa induk. Tindakan Van Erp ini dikritik beberapa arkeolog. Mereka berpendapat seharusnya arca harus dikembalikan ke stupa induk. Bernard Kempers sangat gigih. Menurut dia, arca itu sengaja tidak diselesaikan pembuatannya. Argumentasi Bernard Kempers diketengahkan secara panjang oleh Daoed. Menurut Kempers, di India pun, sesuai dengan catatan Cina tahun 640 M—pernah terdapat arca "Buddha cacat" seperti itu.

Daoed tak mengetengahkan pendapat W.F. Sttuterheim, ahli purbakala Belanda. Setelah meneliti kitab Jawa kuno Shang Hyang Kamahayanikan, Sttuterheim yakin arca cacat itu bagian tak terpisahkan dari Borobudur. Dalam kitab Kamahayanikam disebutkan jumlah arca Buddha Borobudur semuanya 505 buah. Arca pengejawantahan tertinggi adalah Bhatara Buddha, yang tak tampak. Nah, arca yang di Borobudur kini hanya sebanyak 504 buah. Kesimpulan Sttuterheim: arca "Buddha cacat" itu adalah sang Bhatara Buddha.

Akan halnya Prof Soekmono, diketengahkan Daoed, cenderung sependapat dengan Van Erp. Ia berpendapat, arca itu arca gagal, yang diafkir. Keyakinannya diperkuat dengan penemuan Borobudur tahun 1814 era Raffles. Penemuan tanpa laporan tentang patung cacat itu. Bagaimana pendapat Daoed sendiri?

Di buku ini terbaca sikapnya: "Mula-mula saya tidak peduli pada arca Buddha yang satu ini…. Saya pikir cacat yang ada di wajah dan tubuh arca ini bukanlah pembawaannya semula. Cacat tersebut pasti akibat sentuhan tangan-tangan jahil.

Ia bercerita lambat-laun sikapnya berbalik. "Tetapi mengapa di seluruh Candi Borobudur hanya ada satu arca yang belum selesai?! Kalau dahulu setelah candi selesai dibangun ternyata ada satu arca Buddha yang belum sempurna, mengapa ia tidak dimusnahkan saja? Ia membandingkan dengan pelukis Affandi atau pematung Ida Bagus Tilem yang juga di studionya banyak memiliki karya yang tak selesai—tapi cukup puas dengan karya itu.

Satu hal yang entah diketahui atau tidak oleh Daoed, bahwa Soekmono, beberapa tahun kemudian, pada 1994, "merevisi" pandangannya. Ia menulis di sebuah jurnal arkeologi, dan artikel ini tak dipakai sebagai rujukan Daoed. Soekmono mengakui, pada 1973 itu ia memutuskan tak mengembalikan arca "Buddha cacat" ke stupa utama. Kalau itu dilakukan, berarti kita harus melubangi stupa induk yang sudah ditutup kembali oleh Van Erp. Dan itu bertentangan dengan spirit rekonstruksi.

Pada 1994 itu, ia yakin bahwa "arca cacat" itu memang letaknya di dalam stupa utama. Sebabnya, dalam serat Centhini pupuh 105 bait 8-9 ia menemukan telah diceritakan adanya arca itu. Serat Centhini kita tahu mengisahkan perjalanan Mas Cebolang ke seluruh Jawa. Suatu malam Cebolang tidur dekat stupa induk. Cebolang melihat arca besar Buddha yang belum selesai, ia bertanya bagaimana di puncak ada arca yang belum lengkap. Cebolang melihat itu memang sengaja dibuat rusak.

Buku tipis ini dilengkapi sketsa-sketsa Daoed. Tentu lebih menarik bila sketsa ditonjolkan dan format buku diperlebar. Sebab, dengan ukuran buku biasa (14 x 21 sentimeter) sketsa-sketsa yang diletakkan di halaman belakang terasa sekadar pelampir. Juga yang paling fatal, tidak ada foto arca "Sang Buddha Buruk Muka"—sehingga pembaca tidak dapat membayangkan bagaimana sosoknya. Masihkah sang Sakyamuni itu di sana? Terakhir ia ada di museum lapangan taman wisata Candi Borobudur. Jangan-jangan sekarang….

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus