Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Belenggu di Jalan Itu…

Kehidupan keluarga Amerika pada 1950-an. Kate Winslet dan Leonardo DiCaprio dipertemukan kembali setelah ledakan film Titanic 11 tahun silam.

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REVOLUTIONARY ROAD
Sutradara: Sam Mendes
Skenario: Justin Haythe
Berdasarkan novel karya Richard Yates
Pemain: Kate Winslet, Leonardo DiCaprio, Kathy Bates, Michael Shannon
Produksi: Dream Works Pictures and Paramount Vantage

REVOLUTIONARY Road akhirnya menjadi sebuah jalan yang memaksa orang membeku di dalam sangkar konformis. Nama jalan di sebuah kota kecil di Connecticut itu akhirnya hanya sebuah nama, dan tak ada satu jiwa pun yang mampu terbang bebas keluar dari kehidupan yang begitu tertib, apalagi untuk mempunyai sikap revolusioner.

Begitulah yang dihadapi pasangan Frank (Leonardo DiCaprio) dan April Wheeler (Kate Winslet), yang semula menikah karena cinta dan karena menyangka kehidupan di hadapan mereka lebih besar daripada hidup itu sendiri. Kenyataannya, beberapa tahun kemudian, kita melihat pasangan ini, seperti juga pasangan muda Amerika pada 1950-an, adalah bagian dari keluarga yang menyangka diri bagian dari American Dream: suami-istri cantik dan berkecukupan; rumah dengan kebun rapi di kawasan suburban dan anak-anak yang berlarian di bawah pancuran kincir air. Tapi, di balik itu semua, pada 1961 novelis Richard Yates dengan kritis memaparkan bahwa para suami hanyalah rombongan ”sekrup” yang meluncur ke kota untuk menjadi bagian dari mesin sebuah perusahaan; istri menjadi mesin rumah tangga yang mengurus rumah, suami, dan anak, sembari menyediakan makan malam yang lezat dan berdandan cantik di hari ulang tahun suaminya—meski sang suami baru saja tidur dengan salah seorang sekretaris di kantornya.

Sebuah gambaran drama keluarga yang ”biasa?” Serial Mad Men, yang sedang memasuki musim tayang kedua, memotret kehidupan kaum eksekutif, politik di kantor dan di rumahnya, pada 1950-an. Tapi sutradara Mendes (American Beauty, Road to Perdition, Jarhead) membuat suasana ini jauh lebih gelap. American Beauty, yang berhasil menjadi film terbaik Academy Awards 1999, adalah sebuah drama keluarga yang disfungsional—yang tetap menampilkan humor yang pahit—sementara Revolutionary Road dari menit ke menit semakin meruntuhkan hati. Semula, keputusan Frank dan April untuk pindah ke Paris terasa aneh dan impulsif bagi para tetangga dan kawan-kawan. Mereka tak peduli. Mereka ingin bahagia. Mereka bercinta. Salah satu tetangga, Helen Givings (Kathy Bates), mengajak anak lelakinya, John Givings (Michael Shannon), pasien rumah sakit jiwa, satu-satunya makhluk yang sangat paham keinginan pasangan itu.

Lalu ”badai” datang. April hamil anak ketiga. Frank dipromosikan. Pasangan ini tahu, impian pergi ke Paris untuk menyentuh langit dan mencari gairah hidup semakin lama semakin menjauh dari jangkauan. April merasa terkurung di dalam tubuhnya sendiri. Badan yang menenteng janin yang terbentuk ”tanpa rencana” itu seperti telah mengunci jiwanya untuk bisa keluar dan meloncat. Lalu di sini kita bisa merasakan dan membayangkan bagaimana penyair Sylvia Plath akhirnya menghabiskan nyawanya sendiri.

April, dimainkan Kate Winslet, yang meraih penghargaan Golden Globe dari penampilannya dalam film ini (dan film The Reader), dengan sempurna menampilkan sebuah sosok yang jiwanya telah mati jauh sebelum cita-citanya melayang jauh. Kehidupan selanjutnya bagi April sudah selesai. Perselingkuhan Frank dan April sama-sama seperti mencoba mengisi ruang kosong di antara mereka yang semakin membengkak sejak mimpi ke Paris sudah hilang. Yang juga tampil luar biasa adalah aktor Michael Shannon, yang memerankan tokoh John Givings, seorang tokoh yang ”lahir” terlalu dini untuk zamannya. Dia berkoar; dia mengkritik seenaknya seperti senapan melancarkan peluru ke semua arah; dan dia bisa membaca isi hati pasangan itu seperti seorang ahli nujum yang sakti. John Givings adalah sosok yang dibutuhkan setiap masa, meski dia akan selalu dibenci justru karena kejujurannya.

Novel ini ditulis hanya beberapa tahun setelah para perempuan di Barat mempersoalkan ”apa yang hilang dalam hidup”. Tapi Sam Mendes mampu membuatnya tetap relevan dengan persoalan masa kini. Meski ia menggunakan kehidupan penuh konformitas pada 1950-an, tuntutan masyarakat kepada para istri dan ibu (bahkan yang sudah berkarier sekalipun) tak pernah berubah. Lihat bagaimana keputusan April di akhir cerita; itu adalah topik perdebatan feminis dari zaman ke zaman yang tak kunjung selesai. Apakah ini akan dianggap sebagai kisah perempuan yang ”mengeluh”? Kisah para istri yang cengeng? Tidak. Ini kisah manusia dengan segala belenggu yang tercipta sejak dulu hingga sekarang.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus