Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMATUNG Redy Rahadian, 35 tahun, menggelar pameran tunggal ketiga di Nadi Gallery. Ada 15 karya ditampilkan, semuanya berbahan baja lunak, kurang-lebih satu tingkat di bawah kualitas baja antikarat, dan dengan teknik las tinggi. Teknik ini dipilihnya sekitar satu dekade lalu, ketika ia memutuskan menjadi seorang pematung, bukan seorang insinyur, sebagaimana arah pendidikannya di bidang teknik pada Mecanique Garage Department, Institute Saint Joseph Brussel, Belgia. Patung-patung baja dengan permukaan kerawang dan figur-figur kecil kini menjadi karakter khas karyanya.
Bagi Redy, bermain-main dengan lembar baja dan tongkat las tak sekadar hubungan antara pematung dan medianya, tapi lebih merupakan kecintaannya pada media tersebut. Lihatlah di studionya. Begitu mulai bekerja, ia tak pernah mau berbagi tongkat las kesayangannya dengan tangan orang lain. Ia butuh asisten tapi hanya untuk pekerjaan semisal angkut-mengangkut, pindah-memindah, dan pekerjaan lain yang tak terjangkau oleh kedua tangannya. Hampir seratus persen patung tunggalnya dikerjakan sendiri, dari tahap persiapan hingga proses akhir. Ia model pematung yang percaya pada kerja akal, tapi lebih percaya pada pekerjaan tangan. Dinikmatinya betul tarian kembang api yang timbul dari alat las berdaya listrik tinggi dan berisiko tinggi itu. Dan membiarkan uap panas yang datang darinya menyusup ke lapisan teratas hingga otot tangan di bawah kulitnya.
Seperti Anusapati memperlihatkan karakter dan teknik yang mumpuni pada patung kayu, Redy Rahadian adalah sisi lain pematung kontemporer yang memperlihatkan karakter patung logam dengan teknik las sangat khas. Sebuah pendekatan yang nyaris tak dihampiri oleh pematung masa kini. Sejak 1960-an, lahirnya seni patung berbahan logam di Tanah Air, sampai sekarang baru dua pematung yang benar-benar mempraktekkan teknik las dalam karyanya, yaitu (almarhum) But Muchtar dan Nyoman Nuarta. Selebihnya kita menemui ruang kosong.
Kini, di tengah ruang kosong yang sepi itu, Redy Rahadian menampakkan dirinya dengan kerja keras, dengan karya, kendati ia sendiri tak pernah belajar seni patung secara formal. Ia pasti dan yakin betul dengan pilihannya. Satu dekade lalu Redy bukanlah apa-apa dalam kancah seni patung, kini para kritikus, kolektor, dan pencinta seni justru menunggu apa-apa darinya. Kita lihat pada 25 November hingga 16 Desember 2008 ini, tatkala ia mempresentasikan karya-karya terbarunya. Lembaran baja setebal 3 sampai 6 milimeter tak ubahnya kertas yang dapat diperlakukan seperti apa saja yang diinginkannya. Ia mengubah pelbagai rupa yang menyarankan bentuk flora, barang pakai, figur, dan sebagainya. Ia menampilkan patung-patung tunggal diletakkan di atas sebuah setumpu, dan menggantung yang lainnya pada sebidang dinding. Ada juga instalasi patung, menggabungkan unsur desain dan seni tinggi, menyamarkan bentuk barang pakai dan barang seni.
Simak, misalnya, instalasi patung berjudul New Opportunity II, 2008, terbuat dari baja lunak. Karya ini terdiri dari sebuah kursi berukuran 88 x 40 x 44 sentimeter dan meja hanya dengan dua kaki berukuran 240 x 124 x 64 sentimeter. Konstruksi lain pada meja bersetumpu pada bidang baja yang menempel langsung di dinding. Di atas meja, dua patung abstrak masing-masing berukuran sekitar 20x10 sentimeter, bertumpukan, disinari cahaya yang tidak datang dari langit-langit sebagaimana umumnya ruang pamer, melainkan langsung dari sebuah lampu meja. Karya mirip puisi konkret ini merupakan perkembangan terbaru dari Redy. Ia menjelajahi seluas-luasnya elemen estetik utama pada seni patung; permainan ruang trimatra, kecakapan konstruksi, menghadirkan plastisitas sebuah benda, mengatur lindap dari bidang-bidang yang tergelap menuju bidang dan permukaan paling terang, dan seterusnya.
Namun penjelajahannya kerap terlalu bersemangat, dan tak terhindarkan membuat permasalahan karyanya melebar ke mana-mana. Ia menjelajahi lembar baja dan teknik las, menjelajahi beragam tema dari yang pop hingga kontemplatif, menjelajahi gagasan rupa dari yang datar hingga yang bervolume, tergoda menghadirkan obyek, dan mengolah kemungkinan ruang-ruang trimatra. Bisa jadi Redy mungkin lupa bahwa seni patung sejatinya tak kuasa bergerak sebebas, misalnya, seni lukis, yang dapat menampung segala macam gagasan. Ia meletakkan beban yang terlalu berat pada tongkat lasnya untuk menjelajahi segala hal, segala rupa. Lihat, misalnya, sederet karya, terdiri atas tiga panel, berjudul My Wardrobe (wall mounted), 2008, baja lunak, (240 x 127 x 10, 240 x 124 x 10, dan 240 x 124 x 36 sentimeter). Di situ ia mencoba menggali gejala rupa pada barang pakai sehari-hari, membentuk sejumlah obyek yang menyarankan sepotong celana panjang, sepasang sepatu, dan sepotong baju.
Contoh lain simak karya-karya Sharing I (wall mounted) dan Sharing II, masing-masing berukuran 240 x 121 x 13 dan 60 x 24 x 31 sentimeter, terbuat dari bahan campur baja lunak dan akrilik (2008). Karya ini menggambarkan beberapa cangkir logam yang dituangi oleh cairan akrilik merah dan biru. Pada Sharing I digambarkan cairan biru mengisi penuh cangkir yang justru warnanya merah, sebaliknya cairan merah mengisi penuh cangkir yang di dalamnya berwarna biru. Simbolisasi seperti itu tentu saja dengan mudah tertangkap maksudnya.
Karya-karya ini memang terasa agak ringan dan datar. Bahkan, di situ unsur-unsur utama pada seni patung tampak mengalah demi dan untuk hal-hal lain. Bandingkan, misalnya, dengan instalasi patung New Opportunity II, yang penuh permenungan dan berat, namun tetap menonjolkan unsur utama seni patung.
Selebihnya, kita disuguhi karya yang corak dan kecenderungannya sama dengan karya sebelumnya, yaitu patung-patung suasana, dan patung yang merupakan respons personalnya terhadap situasi lingkungan sekitarnya. Patung berjudul Peaceful II, 2008, baja lunak, 210 x 120 x 25 sentimeter, menggambarkan seseorang tengah berbaring menikmati keteduhan rimbun pepohonan dan hijau rerumputan. Ia agaknya memberikan pesan mengenai perlunya kawasan hijau untuk kelangsungan hidup manusia. Redy juga mengingatkan kita akan ancaman besar yang tengah dihadapi umat manusia pada Global Warming, 2008, baja lunak, 235 x 120 x 120 sentimeter. Karya ini menggambarkan bulatan—mungkin gambaran bumi, yang tengah diteduhi oleh sebuah payung kecil, sebuah ironi, atau mungkin sebuah ungkapan pesimistis untuk mengembalikan kondisi bumi seperti sediakala.
Patung-patung Redy yang orisinal, yang dikerjakan tanpa bantuan model, tanpa rencana kerja di atas kertas, semata-mata mengandalkan rupa yang terekam dalam ingatan dan imajinasinya, adalah hal lain dalam praktek seni patung masa kini. Dengan itu Redy telah menyumbangkan pengalaman baru, dan melebarkan khazanah seni patung kontemporer.
Asikin Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo