Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bau Amis di Pantai Kuta

Kematian misterius ikan lemuru sepanjang Pantai Kuta sempat diduga akibat fenomena alam. Nelayan mempunyai andil besar?

15 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU amis menyengat di Pantai Kuta, Bali. Sumber bau tak sedap itu berupa bangkai ikan lemuru yang berserakan di sepanjang pantai. Para turis pun seketika meninggalkan kawasan wisata itu dua pekan lalu.

Agar para turis tak lari meninggalkan Bali lebih lama, satuan petugas pantai bergerak cepat. Mereka mengumpulkan bangkai ikan yang oleh masyarakat Bali populer disebut ikan kucing itu dan menguburnya. Para pedagang acung, pemijat, dan penyewa papan selancar di sepanjang pantai dikerahkan. Mereka jelas tak mau kehilangan mata pencaharian lantaran hengkangnya turis. Secara bahu-membahu sukarelawan dadakan ini menyingkirkan ikan-ikan berukuran 6-10 sentimeter tersebut. Tak hanya dengan alat sederhana seperti keranjang, mereka pun mengerahkan loader—alat berat pembersih pantai.

Lebih dari 50 truk datang dan pergi membawa bangkai lemuru. ”Sepanjang enam kilometer garis pantai dipenuhi ikan,” kata pemimpin sukarelawan, I Gusti Ngurah Tresna, menggambarkan banyaknya ikan yang mati. Pembersihan pantai baru benar-benar rampung pada Senin pekan lalu.

Mengapa ikan yang biasa dipakai sebagai bahan baku sarden itu mati secara massal? Fenomena ini rupanya pernah terjadi di perairan selatan Pulau Dewata pada awal tahun lalu. Ketika itu pesisir yang dipenuhi bangkai ikan bahkan mencapai 35 kilometer, dari Kuta hingga Tabanan. Penyebabnya adalah tumbuhan renik atau fitoplankton (microscopic marine algae) jenis dinoflagelata yang mengalami ledakan pertumbuhan.

Ledakan fitoplankton terjadi ketika jumlahnya mencapai 1 juta per liter air laut. Biasanya hal itu muncul pada awal musim kemarau akibat adanya kenaikan suhu air laut. Kondisi ini diperparah ketika turun hujan selama beberapa hari dan aliran air sungai membawa unsur hara. Ledakan itu menyebabkan perubahan warna permukaan laut menjadi kemerah-merahan, sehingga sering juga disebut pasang merah atau red tide.

Jumlah fitoplankton yang melimpah itu membuat ratusan ribu lemuru mendatanginya. Maklum, ikan ini terhitung rakus memakan plankton. Namun ledakan jumlah fitoplankton dan lemuru itu memaksa keduanya muncul ke permukaan laut. Fitoplankton naik ke permukaan laut untuk berebut oksigen dengan ikan, kerang, atau makhluk hidup lain. Mereka yang kalah dalam persaingan itu akan mati.

Dalam beberapa tahun terakhir, menurut peneliti kelautan Universitas Warmadewa Ketut Sudiartha, fenomena itu terkait dengan kondisi perubahan iklim, yakni karena percepatan terjadinya gelombang udara panas El Nino. Akibatnya, rentang waktu fenomena pasang merah terjadi lebih cepat. Dari sebelumnya tiap 6-7 tahun menjadi hanya 3-4 tahun. Di Bali, misalnya, pasang merah terjadi pada 1997 dan 2003. Tapi kemudian terulang pada 2007.

Namun, kata Sudiartha, kematian ikan lemuru kali ini bukan karena pasang merah. Sebab, peristiwa ini tak mungkin hanya mematikan satu jenis ikan. Di Kuta dua pekan lalu praktis hanya ikan kucing itu yang memenuhi pantai.

Hal lain, bangkai ikan kali ini tak ditemukan di perairan selatan Pulau Bali lainnya. Warna pantai yang keruh dan kemerah-merahan, sebagaimana yang terjadi pada 2007, juga tak muncul di pantai lain. Kematian hanya terjadi di sepanjang Pantai Kuta.

Dengan sejumlah alasan itu, Sudiartha menduga kematian kali ini akibat ulah nelayan. Menurut dia, pada Oktober hingga Januari jumlah ikan lemuru memang berlimpah. Wilayah pembiakannya terutama di perairan selatan Pantai Kuta. Para nelayan sering mencoba menangkap sebanyak mungkin ikan tersebut, namun daya tampung kapal mereka tak memadai sehingga terjadi kelebihan muatan. ”Jaraknya dekat sekali dari pantai. Hanya sekitar 500 meter,” ujar alumnus Institut Pertanian Bogor ini. Ikan yang telanjur terjaring dan mati kemudian dibuang kembali ke laut.

Dugaan itu diperkuat oleh Kepala Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Badung, Made Badra. Dia bahkan menuding nelayan yang tak bertanggung jawab sengaja membuang ikan karena tangkapannya terlalu banyak, sehingga khawatir kapalnya akan oleng. Badra mengaku sudah meminta polisi perairan terus mengawasi para nelayan tersebut dan mengambil tindakan bila mereka kembali mengulangi aksinya.

Mereka yang dituduh adalah nelayan dari Desa Pengambengan, Kabupaten Jembrana, yang terletak 100 kilometer arah barat dari Denpasar. Mereka yang melaut hingga ke perairan di selatan Kuta menggunakan kapal berbobot 10 hingga 35 ton. Mereka biasanya menggunakan jaring jenis pursesign atau jaring kolor. Jaring yang ditarik dengan dua kapal itu mampu menangkap ikan 6-7 ton sekali tarik. Ini berbeda dengan nelayan Kedonganan atau Jimbaran, yang jaraknya lebih dekat dengan perairan di Kuta. Mereka hanya memakai gillnet atau jaring kecil, dengan tangkapan sekitar 700 kilogram.

Pada saat ikan yang diperoleh sangat banyak, nelayan Pengambengan akan membuangnya kembali ke laut. Padahal ikan itu telanjur mati saat diangkat di dalam jaring. ”Harga ikan lemuru memang sangat murah, sekitar Rp 2.000 per kilogram,” ucap Badra.

Ketika dimintai konfirmasi tentang tudingan tersebut, sesepuh nelayan Pengambengan, Nuryatim Syafii, langsung membantah. ”Ikan yang susah-susah dicari kok dibuang. Itu tidak mungkin,” ujarnya. Tapi ia tak memungkiri, sering kali ikan yang sudah terjaring tumpah ke laut saat jaring diangkat. ”Itu bukan sengaja tapi memang tak termuat lagi,” ucapnya.

Nelayan di Pengambengan memiliki 70 kapal dengan bobot 10 hingga 35 ton. Setiap hari mereka melaut hingga ke perairan Kuta. Pada musim ini mereka terutama berburu ikan lemuru. Jenis ikan itu biasanya akan dipasok ke pabrik pengolahan sarden. Sisanya yang kurang layak dibuat bubuk ikan untuk pakan ternak. Jadi, kata Syafii, semua hasil tangkapan lemuru sebenarnya bisa dimanfaatkan.

Syafii, pemilik tiga unit kapal, menduga kematian massal lebih disebabkan oleh terbawanya berbagai jenis racun dari aliran sungai ke laut. Sebab, kematian biasanya terjadi setelah hujan deras berturut-turut. ”Bertahun-tahun saya amati seperti itu. Jadi, tolong diteliti dulu,” ujar pria yang akrab dipanggil Pak Haji ini.

Bantahan Syafii didukung oleh Ketua Kelompok Nelayan Badung yang membawahkan wilayah Kuta, Nyoman Sudarta. Dengan kapasitas pengangkutan 2-3 kapal ikan hingga maksimal 80 ton, nelayan Pengambengan seharusnya tak perlu khawatir dengan kondisi kapal. Apalagi dalam sekali berlayar kemungkinan memperoleh ikan hingga melebihi kapasitas itu sangat kecil. Sudarta menduga ikan itu mati karena terkena mata jaring yang cukup tajam tapi tak ikut terangkut.

Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus