Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAKEK dan nenek itu berdua di atas panggung. Sang kakek (Danarto) dengan lincah melukis di atas layar flexiglass. Dalam balutan pakaian putih, ia menggoreskan kuas di kanvas kaca dengan semarak warna. Sang nenek (Laksmi Notokusumo) duduk termangu. Sesekali tangannya diputar-putar. Kemudian terdiam seperti kehilangan tenaga. Kontras dengan gaunnya yang merah menyala, menyorot tajam setiap mata memandang.
Ketika adegan berpindah, sang nenek mulai beraksi. Ia berdansa bak balerina. Meski sekejap, rona muda menyelimuti tubuhnya. Semula lunglai menjadi tegap trengginas. Namun tubuh yang mulai renta itu kemudian rindu akan masa lalu. Ia berpolah bak kanak-kanak. Ia kembangkan tangannya seperti kupu-kupu. Lalu ia berbaring dan mulai bermain-main dengan kakinya.
Menuju akhir kehidupan memang tak harus dengan muram. Ia dapat dihadapi dengan elegan dan penuh warna. Begitulah kisah menjadi tua dan kematian dalam olahan koreografer Jeffriandi Usman. Opera tari bertajuk Akan Jadi Malam yang digelar dua pekan lalu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini melibatkan nama besar macam artis Cornelia Agatha, budayawan Danarto, penari senior Laksmi Notokusumo, serta desainer Ivan Gunawan sebagai perancang kostum.
Ide pertunjukan ini, menurut Jefri, tentang orang tua urban yang merindukan kampung halaman, merasa kesepian dan teralienasi. Naskah disadur dari tiga puisi karya Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Subagio Sastrowardoyo. Pertunjukan berdurasi satu jam ini terbagi menjadi tiga babak: survive, sendiri, dan menuju peristirahatan.
Babak survive diawali dengan adegan seorang penari pria yang menuruni tangga setinggi enam meter. Sebuah perlambang filosofi Minang: berjenjang naik bertangga turun. Laki-laki turun dari rumah untuk merantau, perempuan naik ke rumah untuk menetap. ”Babak ini menggambarkan fase kehidupan dewasa yang membanting tulang untuk membesarkan anak-anak,” tutur Jefri kepada Tempo.
Pada saat anak-anak tumbuh dewasa, mereka pun beterbangan kian-kemari. Meninggalkan sang induk yang mulai sendiri. Dalam babak ini, Laksmi Notokusumo dengan apik menggambarkan kesendirian di kala tua. Gerak tubuhnya tak berlebihan, namun memancarkan aroma kesedihan. Meski usianya menjelang enam dasawarsa, tubuh Laksmi tetap kencang dan tegap. Tak terlihat tanda-tanda racun kemoterapi baru selesai menghantam tubuhnya.
Pertunjukan kali ini tak melulu berolah tari. Jefri memasukkan berbagai unsur seni: bunyi-bunyian alam, vokal, lukisan, hingga puisi. Lia—sapaan Cornelia—tak hanya piawai membaca syair, tapi juga menari bersama para profesional: Chichi Kadijono, Henry Jones, dan David. Kostum rancangan Ivan melambai dalam berbagai warna, menyemarakkan pertunjukan. Jefri pun memboyong kayu sengon dari Subang, Jawa Barat, sebagai latar panggung. Tertata rapi seakan para penari berada di rimba belantara.
Sebagai sebuah pertunjukan, karya Jeffriandi cukup berhasil memberikan warna lain akan makna kematian. Hanya sayang, setiap adegan berjalan terlalu lambat sehingga sedikit membosankan. Pada pengujung acara, suasana muram menguar dari atas panggung. Kematian pun menjelang. Suara alunan vokal tradisi dan klasik melengking-lengking, mengiringi perjalanan menuju peraduan terakhir. Semua penari dan penyanyi berjalan dari panggung menuju tangga. Mereka satu per satu berbaris hendak memanjat tangga sembari menyenandungkan: Mengantar satu jiwa dalam pelukan keabadian....
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo