Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penulis Eka Budianta mengatakan sosok Sitor Situmorang adalah penyair yang menulis puisi dengan nada sangat manusiawi. Penuturan Eka itu disampaikan saat mengisi diskusi dalam pameran arsip 100 tahun Sitor Situmorang bertajuk "Wajah Tak Bernama" di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sajak-sajaknya sangat manusiawi," kata Eka Budianta kepada Tempo seusai menjelaskan enam buku puisi Sitor yang ia beli dari Lazada, lapak online, di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Gedung Ali Sadikin, TIM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Oktober 2024.
Sajak Sitor Situmorang yang Manusiawi
Soal sajak yang memancarkan pesan manusiawi, Eka lantas bercerita saat penyair itu pertama kali dijebloskan ke penjara ketika Agresi Militer Belanda II pada 1948, pecah. Sitor ditangkap Netherland Forces Intelligence Service (Nefis) dan dibui di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dia bebas pada 1949.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalam penjara itu, Sitor kerap dibesuk oleh saudara perempuannya. Perempuan itu bahkan membawa selimut untuk membungkus tubuhnya yang selalu kedinginan. Selama di bui, Sitor kerap tidur hanya beralas keramik. Ternyata tak hanya sarung. Perempuan itu juga menulis surat kepada Sitor. Eka lupa isi surat itu. Sitor membalas isi surat itu dengan menulis satu puisi berjudul "Surat". "Itu menarik sekali," tutur Eka. Sajak itu diterjemahkan oleh John. H. McGlynn menjadi "Letter".
My sister's letter came
along with a woven grass mat
a parcel from the village
that I received in jail.
"My dearest brother
I hope you like the mat
I wove myself for you
To keep awa the cold
Of nights on that tile floor"
Long after I was free
I read the letter again,
Thinking to make it into a poem
But did not succeed.
knowing as I now know
it would suffice
to write it down as is
for nothing could be more beautiful,
or written with greater purity
than the embers of affection
found in her ill-formed words.
Seorang pengunjung pameran arsip 100 tahun penyair Sitor Situmorang, menyaksikan berbagai buku dan foto Sitor yang dipamerkan di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Oktober 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Kehidupan Sitor Situmorang di Dalam Penjara
Di depan tamu diskusi, Eka menjelaskan isi puisi itu, bahwa seorang kakak dalam penjara menerima kiriman selimut dari adiknya yang ditenun sendiri. Tentu, kata dia, puisi ini dapat diterima oleh segala bangsa dalam bahasa apa pun. Menurut Eka, inti puisi Sitor adalah permenungan tentang kasih antarsaudara.
Melalui sajak ini juga, tutur Eka, Sitor mengajak kita merenungkan bahwa hubungan semua manusia di bumi adalah saudara kandung kita. "Wah! Puisi yang mengharukan," ucap Eka, sembari memegang ulasannya tentang Sitor di empat lembar HVS.
Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, 2 Oktober 1924. Kampung Harianboho terletak di kaki Gunung Pusuk Buhit—suatu tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat Batak. Sitor wafat di Apeldoorn, Belanda, 21 Desember 2014. "Terima kasih untuk kesempatan bicara pada ulang tahun keseratus Sitor Situmorang hari ini, 2 Oktober 2024," ucap Eka.
Soal puisi "Surat", Eka menjelaskan, Sitor mengajak pembaca merenungkan hidup dan kematian. Salah satu sajak terpendeknya "Malam Lebaran". Bagi Eka, puisi itu menyadarkan pembaca bahwa berpuisi adalah berbagi momen. Yang mengajak kita merenung dalam satu baris kalimat, bulan di atas kuburan. Menurut Eka, puisi itu menyadarkan kita bahwa hidup itu sepi, tapi indah.
"Semua membawa pengharapan dan hiburan. Serius dan horor tapi mengandung humor!" tutur penulis bernama panjang Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo, 68 tahun, itu menjelaskan sajak yang ditulis Sitor.
Perjumpaan Eka dan Sitor berlangsung pertama kali saat diskusi puisi Sitor di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sawala itu berlangsung setelah Sitor bebas sebagai tahanan politik di Penjara Salemba, pada 1975. Dia ditahan di masa rezim Soeharto pasca-peristiwa 1965-1966. "Kami duduk di lantai. Pandangannya tajam, kata-katanya jernih, jelas terdengar," ucap Eka, mengenang.
Dalam pembukaan pameran ini, Paulus Simangunsong, anggota Teater Koma, membacakan tiga puisi Sitor, yaitu "Ziarah", "Harianboho", dan "The Tale of Two Continents". "Sitor adalah orang yang sangat cinta akar budayanya," kata Paulus. Dia menjelaskan, dalam puisi-puisi itu, Sitor dengan jelas menunjukkan akar ke-Batak-annya, walau ia sudah populer di kancah nasional.