Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Absurditas dari Mojokerto

Buku-buku teater kontemporer terbilang langka di dunia penerbitan kita. Tapi, tiga tahun terakhir, mengalir deras terjemahan-terjemahan berbobot dari tangan seorang pensiunan yang tinggal di Mojokerto.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepasang merpa­ti tua—demi­kian mereka menyebut diri­­nya—tinggal di Peru­mahan Griya Japan Raya, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Me­re­ka pekerja seni: Max Arifin, 70 tahun, dan istrinya, Siti Hadidjah, 70 tahun. Pa­sangan ini tinggal di rumah tipe 36. Di halaman depan yang tak terlalu luas, terdapat sebuah gazebo. Di sanalah anak-anak muda Mojokerto, bahkan Malang dan Surabaya, yang bergelut di bidang seni sering mampir dan ber­diskusi soal teater.

Max, pensiunan pegawai negeri si­pil Departemen Pendidikan dan Kebuda­yaan Provinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, Lombok, dikenal memiliki minat luas terhadap teater. Dewan Kesenian Jakarta akhir Agustus lalu menerbitkan buku terjemahan Max tentang biografi dan pemikiran ”absurd” Antonin Artaud, seorang peletak dasar konsepsi teater kontemporer. Buku karya Stephen Barber, Blows and Bombs, tersebut diterjemahkan menjadi Artaud: Ledakan dan Bom. Bukan hanya Artaud. Sebelumnya, Max telah menerjemahkan karya penting Peter Brook, sutradara opera kontemporer berjudul Shifting Point. Juga ”kitab suci” para teaterwan eksperimental, Toward Poor Theater karya Jerzy Grotowski.

Di sebuah ruang 4 x 7 meter yang juga merupakan ruang makan, Max sehari-hari mengetik. Di situ ia dikurung dua rak buku-buku filsafat dan sastra. Sekilas Tempo melihat judul-judul koleksi­nya: Political Theatre karya David Goodman, The Ship of Fool karya Christiana Perr Rossi, An Echo of Hea­ven karya Kenzaburo Oe, The Blind Owl karya Sadeq Hedayat, buku-buku Nurcholish Madjid dan seri lengkap Catatan Pinggir Goenawan Mohammad. ”Hampir se­mua buku ada, kecuali buku-buku teknik,” katanya.

Tahun 1990-an, dunia ter­je­mahan sas­tra bangkit di Yogya. Max termasuk seorang ”pelopor”-nya. Penerbit ­Ben­tang banyak mempublikasikan ter­je­mah­an-terjemahannya. Di ­an­ta­ra­nya Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude) oleh Gabriel Garcia Marquez. Karya ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Jawa Pos tahun 1997. Selanjutnya, Pem­­be­­rontak (The Rebel) karya Albert ­Camus.

Mulanya ia banyak menerjemahkan no­vel untuk cerita bersambung di koran. Tahun 1976 Max menerjemahkan karya James van Marshal berju­dul Walkabout (Pengembaraan) dan di­muat sebagai cerita bersambung di Kom­pas. Tahun 1983, ia menerjemahkan The Beauty and Sadness karya Ya­su­nari Kawabata yang dikasih judul Ke­cantikan dan Kesedihan dan juga di­muat sebagai cerita bersambung di ha­rian Kompas.

Semua ini berawal tahun 1976. Saat itu ia mengalihbahasakan The Sound of Waves karya Yukio Mishima menjadi Nyanyian Laut dan dipublikasikan oleh penerbit Matahari, Yogyakarta. Tahun 1980 ia menerbitkan karya Albert Camus berjudul The Stranger, yang ia alihbahasakan menjadi Orang Aneh. Buku ini diterbitkan oleh Nusa Indah Flores. Tahun 1978, Max mener­jemahkan Thousand Cranes karya Yasunari Kawabata, yang diterbitkan Nusa Indah Flores berjudul Seribu Burung Bangau.

Agaknya, Yogya dan Sumbawa merupakan sumber inspirasi. Terlahir bernama Mo­chamad Arifin, ia menghabiskan ma­sa SD hingga SMP di Sumbawa Besar. Saat SMA, ia hijrah ke Yogyakarta bersekolah di SMA Piri, Baciro. Max sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Ga­djah Mada. Tidak sampai tamat, ia kembali ke Mataram.

Di sana, ia melanjutkan ke Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram. Lulus, ia bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat dan menangani seksi drama dan sastra. Di Mataram, ia membina kelompok-kelompok drama SMA dan kampus. Ia pernah menjadi redaktur budaya harian Suara Nusa (sekarang Lombok Post) dan menjadi koresponden majalah Tempo untuk Lombok tahun 1975-1979.

Tak hanya menerjemahkan, Max juga me­nulis buku. Bukunya Teater: Sebuah Peng­antar diterbitkan oleh Nusa Indah Flo­res 1990. Ia menulis naskah drama Pu­­tri Mandalika, yang pernah dipentas­kan­ secara kolosal di Pantai Seger, Lom­bok­ Selatan, 1988. Ia menulis naskah Matinya Demung Sandubaya, yang di­bawa kontingen Nusa Tenggara Barat pa­da Festival Teater di Solo dan kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Suara Nusa. Tahun 1990, naskah drama remajanya berjudul Badai Sepanjang Malam diterbitkan oleh Gra­media Jakarta.

Di hari tuanya, Max tetap ”gila” bu­ku. Tapi semangatnya tetap semangat se­orang pendidik. Ia baru saja menghi­bahkan 250 judul buku ke Dewan Kese­nian Mojokerto. ”Biar semakin ba­nyak orang yang bisa menikmati buku,” katanya. Telah 26 buku ia terjemahkan. Kini ia menanti terjemahannya atas buku lama teaterwan Rusia, Konstantin Stanislavsky: My Life in Art (Hidupku dalam Seni) yang akan diterbitkan Pustaka Kayutangan Malang.

Mengapa Stanilavsky masih penting ba­ginya? Sebab, menurut Max, di dalam bu­ku itu ada segudang pelajaran untuk para pekerja seni kita. Stanilavsky ­meng­harapkan aktornya menjadi se­orang humanis. Stanilavsky menolak ­ak­tor yang melacurkan hidupnya ha­nya untuk dikeploki penonton. ”Aktor ha­rus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki stan­dar etika yang tinggi, dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas,” kata Max menirukan Sta­nilavsky.

Sunudyantoro, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus