Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi Kartika Teguh W.
Siang yang lengang. Saya mencoba membunuh waktu dengan membuka-buka sebuah media cetak yang masih hangat itu. Lembar demi lembar tersibak. Hingga akhirnya mata saya bersirobok dengan satu judul menantang: ”Sutiyoso Pasang Badan”.
Ringkas saja berita itu. Buru-buru saya lahap setiap kalimat yang ada. Hingga titik terakhir, saya gagal menemukan makna pasang badan—seperti yang ada di kepala saya—di dalamnya. Yang ada adalah batasan yang tersirat dalam kalimat: ”Sutiyoso mengaku bertanggung jawab dan siap dipanggil oleh KPK.” Maka, pasang badan dalam teks tersebut diartikan sebagai ’bertanggung jawab’ atau ’siap dipanggil’ terkait dengan suatu masalah—dalam hal ini, Sutiyoso tersangkut masalah pengadaan bus Transjakarta yang diduga direkayasa.
Refleks, saya jangkau ”bible” alias Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2001). Saya telusuri subentri pasang badan tadi. Di sana tertera: pasang badan ’mengalami hukuman di penjara’. Masih penasaran, saya bongkar kamus lain yang ada. Saya temukan sublema memasang badan ’menjalankan hukuman dalam penjara’ dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991). Selain itu, Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2005) pun mendefinisikan pasang badan ’menjalani hukuman (di penjara)’.
Sejak awal, saya curiga judul tulisan itu keliru. Jika memang judul tersebut benar adanya, guncangannya niscaya akan terasa hingga ke kantor saya, dan tidak tenang-tenang saja, seperti ketika saya membaca berita tersebut, siang itu.
Pasang badan adalah salah satu idiom yang sebenarnya cukup populer, tapi ironisnya, dengan pengertian yang cenderung keliru. Idiom lain yang juga masih kurang dipahami maknanya adalah kambing hitam. Meski tak separah pasang badan, masih ada saja yang bingung menggunakan idiom kambing hitam. Contohnya, beberapa waktu lampau, saya pernah menemukan judul ”Kambing di Balik Bom London”—dalam naskah proof pula. Dalam kalimat tersebut, yang dimaksud dengan kambing adalah kambing hitam.
Idiom, menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (2001), adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya. Contoh: kambing hitam, yang secara keseluruhan maknanya tidak sama dengan kambing ataupun dengan hitam. Atau, merujuk pada KBBI, kambing hitam adalah ’orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan’. Jadi, idiom kambing hitam dalam kalimat judul kambing hitam di balik bom London tidak dapat dipertukarkan dengan kata kambing. Sebab, kambing hitam dalam kalimat itu bermakna ’pihak (kelompok) yang dipersalahkan—dalam peristiwa peledakan bom di London’, sedangkan kambing: binatang pemamah biak.
Agaknya, contoh di atas menunjukkan, ketika kita sibuk memoles kalimat dengan kosakata (serapan) bahasa asing, ketika itu pula kita dijatuhkan oleh kelalaian memahami perbendaharaan kata bahasa ibu sendiri. Apa mau dikata, toh hingga kini bahkan masih mudah ditemui penulis yang terkecoh dengan kata-kata sederhana seperti pesakitan untuk ’pasien’; tasbih (menasbihkan[?]) untuk ’tahbis (menahbiskan)’; dan pewaris untuk ’ahli waris’. Padahal, batasan kata-kata tersebut menurut KBBI adalah pesakitan 1 ’orang hukuman’, 2 ’terdakwa’; dan tasbih ’puji-pujian kepada Allah...’, sedangkan tahbis (menahbiskan) ’menyucikan’. Adapun pewaris ’orang yang mewariskan’; bandingkan dengan ahli waris ’orang yang berhak menerima warisan’.
Selain itu, pemakaian beberapa kata serapan seperti berikut masih kacau: resensor untuk ’peresensi’; pedestrian untuk ’trotoar’; dan romantisme untuk ’romantisisme’ atau ’keromantisan’. Sementara itu, yang benar adalah resensor ’pengawasan dan pemeriksaan kembali tentang surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan’, sedangkan orang yang melakukan resensi (recension dalam bahasa Inggris ataupun recensie dalam bahasa Belanda) atau pertimbangan adalah peresensi; dan pedestrian ’pejalan kaki’. Akan halnya romantisme merupakan bentukan melenceng dari romantisisme (romanticism) ataupun keromantisan.
Kalau urusan makna dalam tataran kata saja masih bermasalah, sehingga kita harus berhati-hati, dalam tingkat frase, seperti idiom, tentu kita harus ekstra hati-hati. Karena idiom tak bisa ditelusuri berdasarkan makna leksikal, pemahaman makna secara keseluruhan menjadi penting. Dengan demikian, kita terhindar dari kekeliruan yang fatal.
Berkenaan dengan penggunaan idiom pasang badan, andaikan sang Gubernur memahami makna gabungan kata tersebut, boleh jadi dia akan ”semaput” membaca judul, yang menyangkut sepak terjangnya, seperti dikutip di atas. Tapi, sudahlah. Saya tutup lembar media pilihan saya itu, dengan harapan tak ada lagi yang mengusiknya dengan pemakaian idiom ataupun kata yang keliru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo