Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umang-umang Atawa Orkes Madun IIA | ||
Karya | : | Arifin C. Noer |
Sutradara | : | Ags. Arya Dipayana |
Pemain | : | Zainal Abidin Domba, Titi D.J. |
Produksi | : | Teater Tetas |
SEORANG perampok yang dimuliakan sebagai pemimpin agung, didewakan, dan dianggap sebagai bapak dari semua orang, bukan saja merupakan fiksi yang lumrah, melainkan juga menjadi fakta sejarah. Lakon Umang-Umang Atawa Orkes Madun IIA karya Arifin C. Noer dengan bagus berkisah tentang hal itu. Naskah ini berkisah tentang sebuah masyarakat yang menganut sistem kleptokrasi (pemerintahan maling) di bawah komando Waska, berandal tua yang gelap silsilahnya.
Semula, dendam terhadap kemiskinan merupakan motivasi utama mereka untuk bertahan hidup. Jalan yang mereka pilih adalah merampok, mencopet, menjambret, menggarong, dan menjarah. Namun, bagi Waska, tindakan merenggut dengan paksa segala sesuatu yang bukan haknya itu, tak sekadar jalan mengatasi kemelaratan material. Ia menjadikan semua itu sebagai perilaku eksistensial. "Aku merampok, maka aku ada," demikian kira-kira, andaikan Waska adalah filsuf yang merumuskan eksistensinya. Baginya, merampok tak cuma obsesi yang bisa berhenti jika telah dilakoni. Lebih dari itu merampok telah menjadi falsafah hidup, menjadi ideologi. Waska tak pernah puas hanya dengan menaklukkan kesombongan kota: menggedor dan menjarah bank, perusahaan, toko, dan semua tempat penimbunan harta. Ia bahkan berencana merampok semesta.
Dalam sistem kleptokrasi, stabilitas masyarakat bergantung pada kedigdayaan dedengkotnya. Ketika sang pemimpin sakit, mereka bingung dan mengkhawatirkan kelangsungan hidupnya. Dari seorang dukun, Waska mendapatkan "jamu dadar bayi", jamu penangkal mati. Berkat jamu itu, Waska dan dua orang kepercayaannya, Ranggong dan Borok, luput dari sergapan maut. Mereka berhasil mempertahankan status quo, memimpin generasi demi generasi perampok baru, keturunan para sahabat sejawat yang telah jadi arwah lebih dulu. Artinya, mereka melawan determinasi kematian dan menolak takdir. Namun, dengan begitu, sesungguhnya mereka terperangkap belenggu baru: kebosanan eksistensial yang kekal.
Menggunakan pola tutur teater rakyat, lakon ini disajikan dalam kisah berbingkai. Seluruh hikayat masyarakat Waska itu dimainkan rombongan sandiwara, disutradarai Semar yang sekaligus memainkan peran Waska. Paduan tokoh Waska yang pemimpin perampok dan Semar yang mendalangi tindakannya sendiri itu, seakan menggambarkan perilaku penguasa dalam kehidupan nyata. Adegan ini juga mengisyaratkan pembauran antara yang fiksi dan yang fakta. Pemanggungan Teater Tetas, di bawah sutradara Ags. Arya Dipayana, berhasil melakukan transformasi pemaknaan dengan baik, dari tataran semantik ke semiotik.
Pengadeganan yang efektif menjadikan lakon kolosal ini luput dari kesan semrawut. Keluasan panggung cukup diisi perangkat set yang ringkas dan bersahaja, sesuai dengan konteks cerita maupun tuntutan kelonggaran ruang bagi blocking dan grouping yang dinamik dan simultan. Artistik arahan Roedjito, selain memungkinkan kelancaran aksi-reaksi di atas pentas, juga menguatkan kesan tentang perspektif ruang yang relevan. Kostum arahan Samuel Wattimena cukup memberi identifikasi kelas sosial yang tengah ditampilkan. Tata cahaya yang dikerjakan Sony Sumarsono mampu menajamkan peralihan ruang-waktu, menegaskan citraan tentang yang konkret dan yang abstrak. Musik arahan Embi C. Noer dan Ohan Adiputra sangat membantu menciptakan dinamika suasana, dari yang heroik hingga yang melodramatik.
Para pemain rata-rata membawakan perannya dengan tidak mengecewakan. Yang jadi tumpuan utama adalah akting Zainal Abidin Domba yang berhasil dengan tegas memilah karakter dua tokoh yang diperankannya, Semar dan Waska. Sulistyo Suryomurtjito (Ranggong) dan Eko D. Zenah (Borok), masih terjebak stereotip peran centeng, sementara Titi D.J. (Bigayah), di luar kegenitannya yang artifisial, memiliki penghayatan watak yang terbilang lumayan.
Di luar kelemahan kecil perihal detail permainan dan tempo yang lamban, keseluruhan pertunjukan di Graha Bhakti Budaya, TIM, 16-18 Desember lalu itu tetap menawan. Bahkan pesonanya mampu mengungguli karya beberapa kelompok teater senior dua tahun terakhir. Setidaknya saya makin percaya bahwa di antara ribuan grup teater yang mati suri, masih ada yang segar-bugar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo