Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FROM HORROR TO HOPEKarya | : | Samuel Indratma | Tempat | : | Lembaga Indonesia-Prancis
| Waktu | : | 16 - 23 Desember 1998 | |
SEORANG pria berpakaian polisi dengan wajah garang dan mata membelalak. Ia mengayunkan tangan kirinya yang hendak memukul seorang pria yang berada dalam sekapan tangan kanannya. Dari mulut polisi itu, terjulur lidah panjang yang lebih mirip sebilah pisau. Warna kekerasan itu semakin jelas dengan pencitraan hitam-putih pada karya grafis Samuel Indratma. Perupa ini membuka narasi karyanya dengan gambaran kekerasan, yang merupakan gejala paling umum di Indonesia. Ia menempatkan 25 karya grafis dengan teknik cukil kayu di atas kertas.
Dari sekuen ini, Samuel memulai kisahnya tentang kelamnya wajah masyarakat Indonesia dilihat dari perspektif yang lebih berwarna. Betapapun biadabnya perilaku kekerasan yang dipertontonkan oleh kalangan masyarakat, Samuel tampaknya melihat bahwa masih ada sedikit harapan menenteramkan. Samuel tak ingin mereproduksi kekerasan dalam pencitraan yang kelam. Bagi Samuel, dalam kekerasan yang berkepanjangan sebenarnya bersemi tunas-tunas perilaku yang lebih beradab.
Samuel menyampaikan gagasan positifnya dengan gaya bertutur melalui tujuh karya patungnya dari bahan bubuk kertas. Bentuk patung sesungguhnya bukan berupa bentuk figur manusia, melainkan sudah mengalami pemiuhan. Sekilas saja, bentuk figur manusia itu mengingatkan kita pada bentuk kentongan kayu di desa. Di atas seluruh permukaan figur manusia itu, Samuel "menuliskan" kisah dan harapannya tentang sebuah kondisi yang lebih baik lagi. Cara-cara seperti ini juga dilakukan oleh masyarakat tradisional yang menorehkan kisah masyarakat mereka di atas benda-benda fungsional.
Visualisasi gaya bertuturnya mengingatkan kita pada eksplorasi bentuk para pembuat komik alternatif. Bentuk-bentuk yang muncul di seluruh badan patungnya digarap secara karikatural dengan menggunakan metafora yang sangat dekat dengan kekacauan jiwa masyarakat post-industrial: kepala yang bertanduk ijuk, figur manusia bertelinga gajah, tangan yang tiba-tiba muncul di dekat leher, mulut yang berbentuk layar televisi, kepala manusia bersirip, dan sejumlah teks yang dicomot dari label yang banyak ditemukan pada produk konsumsi. Semua campuran tersebut diramu menjadi sebuah diorama kekerasan menuju sebuah harapan akan perubahan.
Simak saja salah satu karya patungnya dengan sapuan warna putih. Pada bagian kepala patung itu, tumbuh dua tanduk yang terbuat dari ijuk. Di sekujur tubuh figur bagian luar terdapat 15 bentuk persegi yang berongga, yang diisi dengan sekumpulan figur tentara mainan anak-anak. Pada bagian dasar rongga patung itu, terdapat patung kecil berupa figur manusia yang berpakaian badut dengan teks berbunyi: "the great unknown." Samuel meramaikan rongga tadi dengan lukisan yang menggambarkan aksi pembakaran yang terbakar: ada gedung bertingkat dan seekor anjing terkepung dalam jilatan merahnya api; ada rumah, masjid, dan gereja yang bernasib sama, yang semuanya mengapung-apung di angkasa.
Mewarnai patung sebenarnya bukan tradisi seni trimatra ini. Namun pematung Gregorius Sidharta Soegijo sudah mendobrak "pantangan" ini, dan melahirkan karya patung yang lebih hidup. Pada karya Samuel, warna dan bentuk secara ekstrem menjadi kekuatan. Ia cenderung menggunakan warna-warna mentah yang sangat mencolok dan bentuk-bentuk yang menggambarkan keliaran alam bawah sadar manusia. Warna merah menyala dengan mudah masuk dalam konfigurasi warna kuning, biru, dan hitam, dalam bentuk-bentuk yang sudah dideformasi.
Namun agaknya karya patung Samuel itu merupakan bagian dari karya instalasi ini yang terlalu independen. Akibatnya, ketika patung itu disusun dengan karya lainnya, mereka tampak kurang menyatu. Samuel masih harus lebih banyak mengakrabi seni instalasi, yang sangat memperhatikan masalah ruang.**
R. Fadjri dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo