ANAK TANAHAIR: SECERCAH KISAH Oleh: Ajip Rosidi Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1985, 317 halaman KEHIDUPAN seniman biasanya kurang menarik untuk bahan kisah roman. Barangkali itu sebabnya begitu sedikit jumlah roman yang menampilkan seniman sebagai tokoh utama. Roman pada asasnya menghendaki kejadian-kejadian lahir dengan berbagai gejolak kejutannya yang dapat dihadapi orang, misalnya dalam hubungan cinta, penyingkapan rahasia kejahatan, gelora perang, atau pertikaian politik. Sebaliknya, pengalaman seniman lebih banyak berlangsung di dalam batinnya, yang hanya resah oleh pergulatan dirinya untuk mencapai bentuk ciptaan yang sempurna. Peristiwa batin itu lebih tepat diucapkan dalam sajak atau esai - jenis sastra yang mengutamakan pernyataan subyektif dan pribadi. Kisah roman tentang kehidupan seniman tidak akan mudah menyeret perhatian pembacanya, kecuali kalau seniman itu ke luar dari kurungan persoalan kreativitasnya, dan turut terlibat dalam masalah-masalah keprihatinan umum, seperti cinta atau politik. Ardi di dalam Anak Tanahair, adalah seniman yang terlibat demikian itu. "Secercah kisah" ini merupakan anatomi seniman yang menjadi anggota Lekra. Diuraikan faktor-faktor di dalam dan di luar dirinya yang mendorong dia bergabung dengan lembaga kebudayaan di bawah organisasi PKI itu. Dapat dikatakan, benih-benih perkembangan jiwanya, yang menjuruskan perhatiannya ke arah orientasi kerakyatan itu, telah tertanam di dalam dirinya sejak masa kecilnya. Pada saat itu sudah dirasakannya perbedaan-perbedaan kelas di masyarakat. Perbedaan-perbedaan itu sejak semula telah menumbuhkan rasa kerdil diri dan kecenderungan curiga menghadapi orang-orang yang lebih tinggi derajat sosialnya. Bahkan keluarga mendiang ayahnya yang tinggal di wilayah Menteng tidak memberikan perasaan aman di hati. Penghargaan yang terlalu kecil terhadap dirinya itu telah menentukan pandangan dan perbuatannya, dan berpengaruh juga dalam hubungan cintanya dengan Hermin. Pada suatu saat Ardi menyadari bahwa keinginannya memiliki Hermin, yang lebih banyak didorong oleh hasrat memenuhi kepuasan diri, telah sanggup merebut perhatian dan kasih seorang wanita kalangan atas, anak pejabat tinggi, yang berumah di Jalan Diponegoro. Faktor lain adalah keyakinan agamanya yang berkali-kali goyah menyaksikan kejadian dan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran yang telah dikenalnya. Belum dapat juga ia menjawab pertanyaan yang mencengkam benaknya, mengapa Tuhan Yang Maha Penyayang membiarkan manusia melakukan perang dan saling membunuh. Rasa keadilannya pun tersinggung melihat kenyataan bahwa Haji Raup, seorang ulama yang terpandang di desanya, telah menerima zakat fitrah dari rakyat dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri, tidak membagikannya kepada orang-orang miskin. Ardi pun tertegun mendengar gerombolan Darul Islam meneriakkan "Allahuakbar" setelah membunuh penduduk kampung yang tak berdaya dan tak bersalah. Akhirnya, yang mendorong Ardi ke pelukan Lekra adalah kelihaian para pembina PKI mencium kelemahan sang tokoh dalam menghadapi penghidupan yang tidak menentu di Jakarta, dan kekecewaannya dalam usaha seninya yang gagal, seperti mengadakan pameran hasil lukisannya serta melanjutkan penerbitan majalah seni Bunga. Lekra berhasil membujuk Ardi ketika ia terbaring putus asa dan kelaparan di pondoknya. Perjalanan hidup Pelukis Ardi itu berlangsung dengan latar belakang politik yang berpengaruh pada perkembangan seni dan budaya di Ibu Kota dan di daerah dari 1950-an sampai 1965. Berbagai perpecahan dan penggolongan para seniman menurut pilihan paham-paham politik yang berbeda-bedapada periode itu telah hidup kembali dalam uraian kisah roman ini. Dewasa ini sudah tidak tepat kita berbicara tentang teknik mengarang. Tanpa penguasaan teknik itu hasil tulisan pengarang tidak cukup berharga untuk dibicarakan. Tetapi ada segi teknik yang perlu disinggung dalam roman yang secara sengaja hendak ditonjolkan pengarang untuk mencapai suatu efek tertentu, seperti yang terdapat dalam Anak Tanahair ini. Di Bagian Pertama dipergunakan bentuk "dia" untuk menyebut Ardi. Sedangkan di Bagian Kedua dipakai bentuk "aku". Tujuannya, yang harus kita maklumi dalam perbedaan bentuk sebutan itu, supaya tercapai kebulatan sosok pribadi tokoh utama itu, yang mula-mula dilihat dari sudut luar secara obyektif, kemudian dari sudut Ardi sendiri dengan wawasan terhadap dirinya yang subyektif. Tetapi dengan pandangan pengarang yang serba tahu tentang diri Ardi, juga mengenai gerak-gerik batinnya, maka bentuk "dia" dalam efek bacanya tidak beda dari bentuk "aku". Saya kira, kelemahan penggunaan teknik itu timbul dari unsur-unsur autobiografi yang terlalu kuat di dalam roman tersebut. Sekalipun terdapat berbagai penyimpangan dari garis hidup pengarangnya, seperti pilihan Ardi menjadi anggota Lekra, Ardi amat setia mengikuti perjalanan lahir dan batin Ajip Rosidi. Akibatnya, pandangan obyektif terhadap Ardi menjadi pengalaman subyektif juga pada roman ini. Hampir bertugas sebagai penyangkalan terhadap perkiraan yang keliru bahwa tokoh Ardi dengan sepenuhnya membayangkan diri pengarangnya adalah Bagian Ketiga. Bagian ini terdiri dari surat-surat yang ditulis Pelukis Hasan, teman Ardi, dan rupanya lebih bijaksana menghadapi perpecahan di antara seniman karena perbedaan paham politik. Hasan tidak dapat menyetujui keputusan Ardi menjadi aktivis Lekra. Seniman jangan sampai terjebak dalam pengkotak-kotakan partai politik, katanya. Sebagai seorang Islam, Hasan menghasilkan lukisan-lukisan yang abstrak, gaya pengucapan yang tidak melanggar ajaran di dalam agamanya, dan dapat berkembang di dalam masyarakat Pancasila. Rupanya, tendens pikiran dalam Anak Tanahair bertolak belakang dengan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Perbenturan pendirian tentang seni dan budaya baik pada surat-surat Hasan, dalam perbantahan antartokoh seniman, maupun dalam perenungan seorang diri tidak luput menjadikan roman ini mengandung semacam polemik yang serba intelektual dan abstrak Khususnya pada Bagian Ketiga, yang berisi surat-surat Hasan yang seakan-akan tak berakhir itu, amat alot dicerna dalam rangka bacaan fiksi. Tetapi untung ada imbangannya pada kisah yang lebih hidup tentang manusia yang berdarah dan berdaging, seperti dalam adegan-adegan pertemuan cinta Ardi dan Hermin. Wanita ini merupakan tokoh roman Indonesia yang bakal sulit terlupakan. Sosok pribadinya begitu kenyal, tapi juga begitu lembut. Subagio Sastrowardoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini