TAK ada seorang wanita pun yang mau jadi istri saya," kata
seorang lelaki berusia 48 tahun. Karena itu, katanya, hingga
sekarang ia tetap membujang. Ia dilahirkan di Puger, sebelah
selatan Jember. Sejumlah rambut di kepalanya sudah memutih.
Namanya Suyadi. Lulusan Seni Rupa ITB tahun 1960. Kini ia
termasuk salah satu animator yang masih sangat langka di
Indonesia.
Animator adalah penggambar untuk film animasi. Jenis film ini
berbeda dengan film biasa, karena obyeknya bukan dipotret, tapi
digambar. Pada tahap pertama setiap gerak dari seluruh rangkaian
cerita digambar oleh animator di atas kertas-kertas gambar
biasa. Kemudian gambar-gambar tadi dipindahkan ke seluloid.
Pada tahap kedua, hanya garis tepi gambar saja yang dipindahkan.
Bidang kosong pada gambar diisi warna. Kemudian diberi latar
belakang. Setelah itu baru dipotret.
Banyak sekali gambar diperlukan. Untuk satu detik gerakan gambar
dalam film, diperlukan 24 buah gambar (frame). "Bayangkan berapa
gambar di perlukan untuk masa putar 5 menit,"kata Suyadi. Karena
itu untuk film dengan masa putar satu detik saja diperlukan
waktu sekitar sebulan untuk menggarapnya.
"Jadi ini memang kerja kolektip," kata Suyadi lebih lanjut.
Karena itu ia juga memakai beberapa pembantu, misalnya untuk
mewarnai, memindahkan ke seluloid. Tapi dalam animasi modern,
untuk satu detik cukup 12 gambar-karena setiap gambar diulang
sekali. Tapi hasilnya tidak akan sehalus bila dengan 24 gambar.
Suyadi menjadi animator penuh sejak 1974. Sebelumnya ia pernah
terlibat sebagai art director untuk 5 buah film (Lampu Merah,
1969 Pemburu Maat, 1970 Kabut di Kintamani, 1971 Cobra,
1977). Tapi karir tersebut tidak dilanjutkannya. "Pekerjaan itu
juga menuntut kreativitas, tapi saya kurang sreg. Karena saya
juga harus memperhatikan kostum dan make-up pemain. Padahal saya
ini kan tukang gambar," katanya. "Jadi, jadi animator inilah
sesungguhnya profesi saya."
Ia menggambar sejak masih mahasiswa dengan membuat ilustrasi
cerita anak-anak. Buku anak-anak yang sempat digarapnya antara
lain: Joko Kendil, Made dan 4 Teman, Istana di Bukit Karang,
Kisah Fantasi H.C. Anderssen (6 jilid), Gua Terlarang, Iwan
Jalan kaki ke Sekolah dan Kebakaran di Gang Sembrono. Semua buku
tersebut diterbitkan PT Djambatan.
Ilustrasi buku Gua Terlarang kemudian dinilai sebagai ilustrasi
terbaik untuk buku anak-anak pada Tahun Buku Internasional 1972.
Sedangkan buku Made dan 4 Temannya, oleh IKAPI dinilai sebagai
buku yang terbaik dari segi perwajahan untuk 1979.
Di samping membuat ilustrasi, Suyadi juga mengarang cerita.
Sudah 2 buku yang dikarangnya sendiri: Pedagang Pici Kecurian
dan Seribu Kucing Untuk Kakak. Keduanya juga diterbitkan
Penerbit Djambatan.
Berapa besar penghasilannya sebagai ilustrator? Menurut Suyadi
imbalannya didapat dengan sistem royalty -- biasanya 10% dari
harga buku. Buku anak-anak umumnya dicetak hanya 5 ribu
eksemplar dengan harga paling mahal Rp 350 per buah. "Jadi
hasilnya, yah .... tidak seberapa," kata bujang tua itu dengan
tenang. Tetapi kalau salah satu buku ketiban Inpres misalnya,
berarti dapat rezeki besar. Seperti bukunya yang berjudul Gua
Terlarang. "Untuk buku itu saya dapat sekitar Rp 200 ribu,"
ujarnya -- karena dicetak sampai 22.000 eksemplar.
Dengan sederhana diakuinya bahwa ia bukan orang yang mempersetan
kepentingan publik dengan dalih mempertahankan nilai seni.
Karena itu, misalnya, setiap kali selesai menggambar kalau
merasa ragu, ia tak segan-segan menunjukkan hasilnya kepada anak
tetangga. "Seandainya anak itu menganggap gambar itu orang lagi
sedih, padahal yang saya maksudkan orang lagi ngelamun, maka
gambar itu akan saya ganti," katanya. "adi saya ini bukan
seperti seniman besar, yang tidak mempersoalkan konsumen
mengerti atau tidak."
KB & Pemilu
Ilustrasi yang dibuatnya kebanyakan ditujukan pada anak-anak
yang berpendidikan SD. Untuk mendapatkan hasil yang kira-kira
akan dapat dinikmati oleh rata-rata mereka, ia juga sering
memilih anak yang kecerdasannya sedang untuk menguji gambarnya.
"Kalau anak itu tidak bisa mengerti cerita hanya dengan melihat
gambar, itu artinya saya gagal," tambah Suyadi.
Antara tahun 1961-1964, Suyadi dapat kesempatan belajar di 2
studio di Prancis, yaitu di Les Cineastes Associes khusus
mempelajari iklan, dan di Les Films Martin-Boschet selama 3
tahun. Pengalamannya di Prancis itu tentu saja amat berguna,
karena ia juga kemudian sempat membuat film animasi untuk iklan.
Di antaranya iklan obat jerawat. Dari iklan yang hanya 25 detik
itu ia dapat Rp 350 ribu untuk 15 detik pertama. Kemudian Rp 150
ribu untuk tiap 10 detik berikutnya. "Ongkos prosesing, sewa
studio dan lain-lainnya ditanggung pemesan," katanya dengan
sedikit bangga.
Dari segi penghasilan menjadi animator memang lebih basah dari
ilustrator. Barangkali ini sebagian alasan sehingga kemudian
Suyadi memantapkan diri sebagai animator. Sampai sekarang ia
sudah menghasilkan beberapa buah film. Antara lain Yang Banyak
Jangan Anak -- sebuah film tentang KB -- dan Menantang Alam
--film tentang banjir. Kedua film tersebut disponsori Departemen
Penerangan.
Pada 1977, ia juga mengerjakan 5 buah film yang disponsori
Lembaga Pemilihan Umum. Tiga film kartun, sebuah film boneka dan
satu film wayang kulit. "Kelimanya bercerita tentang apa-apa
yang perlu diperhatikan sewaktu pemilu," katanya. Semuanya
kemudian disiarkan TVRI dalam minggu tenang. Untuk masing-masing
film ia dapat setengah juta. "Pokoknya bisa hidup layak. Yang
sulit kalau lagi tidak ada proyek," kata lelaki itu menceritakan
pekerjaannya.
Baginya untuk menjadi animator yang baik, harus lebih dulu
menjadi ilustrator yang baik. Perbedaannya hanya kalau
ilustrator hanya membuat sebuah gambar yang statis namun dapat
menggambarkan seluruh cerita, animator harus membuat banyak
gambar mencakup semua gerak secara terperinci. "Tapi keduanya
bercerita dan menggambar," ujarnya.
Animator kita ini punya sederetan kesenangan. Pertama-tama ia
cinta anak-anak. Doyan nonton film kartun. Setiap pukul 5.15 ia
pasti duduk di depan pesawat tv menyaksikan film kartun untuk
anak-anak. Ia juga suka mendalang. Binatang favoritnya adalah
kucing.
Pada suatu hari ketika masih mengerjakan animasi untuk film
Pemilu ia sempat digoda binatang kesayangannya itu. Waktu itu
segalanya sudah mepet, meskipun semua gambar sudah diwarnai.
Kemudian seluloid dijejerkan satu per satu supaya cepat kering.
Suyadi kemudian istirahat, tidur.
"Paginya ketika bangun, gambar sudah penuh dengan telapak
kucing," katanya sambil tertawa, "ya saya tidak bisa marah sebab
itu binatang kesayangan saya. Saya hanya bisa marah kepada diri
sendiri mengapa tidak punya tempat yang bisa dikunci." Akibatnya
seluruh proses pembuatan gambar harus diulang dari awal.
Kali lain, seluloid yang sudah dikeringkan dalam rumah, basah
kembali karena hujan. "Ya saya marah lagi pada diri sendiri,
kenapa tidak menyewa rumah yang tidak bocor," kata bujangan
itu sambil tersenyum. Apakah ini berarti hidup seorang animator
masih rawan? "Sebetulnya kalau lagi ada proyek, lumayan
hasilnya," jawab Suyadi terusterang.
Untuk mendapat obyekan secara kontinyu, ia pernah pasang iklan,
tapi ternyata tidak ada yang datang. Sekarang ia tetap bekerja
berdasarkan informasi kawan-kawannya saja.
Kini Suyadi sedang menggarap film boneka untuk serial tv.
Judulnya Si Unyil, bekerjasama dengan PFN. Diperkirakan akan
disiarkan tahun depan, sekali seminggu untuk 10 menit. Seluruh
biaya hanya Rp 4 juta. Ia tak mau menjelaskan berapa bagiannya.
"Jangan ah, filmnya belum selesai," kilahnya. "Tukang gambar
adalah koki -- yang perlu itu bukan orangnya, tapi masakannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini