BERBURU itu banyak manfaatnya," kata Hans Salomon salah seorang
yang gemar berburu. Dia bahkan sering diminta petani Banten
untuk memusnahkan babi hutan yang merusak sawah. Di Labuan,
Salomon mempunyai sebuah rumah kecil dan 12 ekor anjing berburu.
Menurut peraturan PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup) seorang pemburu hanya boleh menembak 2 ekor babi hutan
saja tiap kali berburu. "Tapi saya pernah membunuh 36 ekor babi
satu malam," kata Hans Salomon. Alasannya, babi hutan mengganggu
sawah petani.
"Selama ini, ordonansi perburuan kita memang tidak jelas," kata
Yapto Sulistyo Suryosumarno. Peraturan yang masih berlaku
sekarang dibuat di zaman Belanda, hanya untuk Pulau Jawa dan
Madura saja. Di luar kawasan itu, tidak ada ordonansi, apalagi
peraturan yang jelas tentang jenis binatang apa saja yang boleh
dibunuh atau dilindungi. Yapto juga mengritik pelaksanaan
transmigrasi di Sumatera Selaan. Karena ada pemukiman baru un
tuk manusia, ruang lingkup kehidupangajah dan tapir menjadi
terdesak. "Apalagi di Manggala (Lampung) yang kini penuh
manusia -- mungkin tinggal beberapa ekor gajah saja," ujarnya.
Yapto, bersama Salomon, Majeni, Dali Sofari dan Ponco Sutowo
pada 1977 pernah berburu di Afrika. "Afrika surga bagi pemburu
dari seluruh dunia," kata Yapto. Jadwal berburu di sana biasanya
dibuka sejak Juli sampai Januari -- di saat betina melahirkan
anaknya. Peraturannya sangat ketat. Selain harus membayar dengan
dollar Amerika yng mahal, ditentukan pula binatang apa saja
yang boleh diburu. Juga ditentukan umur binatang yang boleh
ditembak -- binatang betina biasanya dilarang dibunuh.
Untuk lebih memperketat lagi (di samping menjaga kelestarian
alam dan satwanya), pemburu harus menyerahkan US$ 30.000
sebagai jaminan yang harus dibayar 2 tahun sebelum jadwal
berburu tiba. Jangka waktu sebuah lisensi (izin) berburu hanya
sampai 40 hari. dan berburu di Kanada, hanya-diperbolehkan di
musim dingin saja. "Karena itu, biayanya bagi kami lebih mahal,
karena mencakup juga perlengkapan musim dingin," tambah Yapto.
"Di Indonesia seharusnya ada peraturan perburuan yang jelas,"
kata Yapto lagi. Yaitu agar kelestarian alam dan lingkungan alam
terpadu, tanpa mengurangi keasyikan para pemburu. Yapto juga
menyarankan: "Sebaiknya PPLH bekerja sama dengan Perbakin."
Di Jakarta, paling tidak ada 4 biro pariwisata yang "menjual"
Indonesia dengan mengajukan acara berburu. Tapi Ditjen
Pariwisata tidak mempunyai kekuatan untuk menata acara tersebut.
Apalagi acara-acara berburu yang dilakukan secara tidak resmi
dan diketahui orang banyak, memang ada.
Tanpa Batas
Sebuah biro pariwisata di Jakarta, memang mengaku mempunyai
program berburu untuk langganannya yang sebagian besar orang
asing. Yang sudah dilaksanakannya ialah berburu di Sumatera
Selatan. "Babi hutan dan banteng boleh diburu tanpa ada
batasan," ujar salah seorang pegawai biro pariwisata itu, "hanya
macan, kami harus minta izin lebih khusus lagi." Untuk satu
acara perburuan, biro pariwisata mengatur semuanya. Mulai dari
jip untuk berburu, pemandu, penginapan -- pokoknya komplit.
Biro tersebut bahkan kini sedang merencanakan program berburu di
Baluran, hutan suaka di Banyuwangi. "Karena di hutan itu ada
seekor banteng yang telah tua," ceritera si pegawai lagi, "yang
boleh dibunuh dan kami tengah mempersiapkan rencana biaya dan
game untuk berburu banteng tersebut." Bahkan biro itu juga
mempunyai rencana untuk menjual padang alang-alang Kemutu di
Flores yang banyak kijangnya. Alam di Flores, sedikit banyak
mirip dengan alam di Afrika yang ada safari berburunya. Izin
berburu biasanya diatur lewat Kodak setempat dan PPLH (Pengawas
Pembangunan dan Lingkungan Hidup). "Tapi dengan adanya
Sapujagat, entahlah bagaimana nasibnya program kami ini," ujar
si pegawai biro tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini