PANGERAN Bernhard pernah memprotes. Sebagai Presiden dari Dana
Satwa se Dunia, menurumya Indonesia kurang mematuhi aturan suaka
margasatwa. Padahal dana telah diberikan, PPA (Perlindungan dan
Pengawetan Alam) telah berdiri -- tetapi masih saja ada
perburuan liar di hutan-hutan Sumatera, Kalimantan dan Flores.
Para pemburunya, bukan saja orang-orang Indonesia tetapi tidak
kurang pula orang asing.
Apakah Dirjen Pariwisata telah "menjual" Indonesia kepada para
pemburu? "Sama sekali tidak," kata Dra Cri Murthi, Manajer
Pemasaran Ditjen Pariwisata. "Brosur kami memang ada gambar
macamnya," lanjutnya lagi, "tapi kami tidak menyebut hunting
program. Yang kami sebut bahwa di daerah tertentu hidup binatang
yang namanya macan, di daerah lain ada gajah. Semua itu bukan
untuk diburu dan dibunuh."
Cri Murthi memang mengakui pengertian tentang berburu di
Indonesia tidak jelas hingga sekarang. Misalnya: siapa yang
berhak memberi izin berburu, kepada siapa izin itu diberikan?
Lagi pula: binatang apa saja dan berapa banyak yang boleh
ditembak, di hutan mana saja yang boleh dilakukan perburuan.
Semua belum jelas. "Hanya dalam jangka panjang program kami,"
tutur Cri Murthi lagi, "berburu dengan kamera, safari kamera,
itulah yang kan kami kembangkan -- bukan berarti menembak. "
Pemburu-pemburu domestik biasanya adalah juga anggota Perbakin
(Persatuan Menembak Indonesia). Tapi bagaimana mereka harus
melanjutkan kegemaran itu bila Operasi Sapu Jagat mengharuskan
para pemilik senjata api untuk menitipkan alat berburu itu
selama jangka waktu yang belum ditetapkan? "Kalau tujuannya
untuk keamanan dan ketertiban, saya setuju," kata Muslimin,
Ketua Bidang Target Perbakin. Sapu Jagat sendiri mafhum bahwa
selama SEASA IX (kejuaraan olahraga menembak Asia Tenggara)
yang berakhir pekan lalu, anggota Perbakin masih boleh
memakai senjata pertandingan itu. Muslimin pun menerapkan
bahwa hendaknya Pemerintah memberi kelonggaran bagi anggota
Perbakin, karena banyak di antara mereka yang memiliki senjata
pribadi. Jenis senjata untuk olahraga -- biasanya jenis Skeet 8
Trap -- "tak mungkin digunakan untuk menodong," kata Muslimin
lagi, "karena membawanya saja berat." Seorang anggota Perbakin
yang lain bertanya: "Dan kalau harus dititipkan, kapan saya
harus latihan?"
Hobi menembak adalah hobi yang mahal. Gunawan, salah seorang
anggota tim. Indonesia dalam kejuaraan SEASA IX berceritera,
bahwa setiap hari selama 4 bulan menjelang kejuaraan itu, dia
harus "menelan" 200 butir peluru untuk latihan. Sebutir peluru
berharga Rp 150. Belum untuk beli skaet (burung-burungan untuk
sasaran tembak) Rp 100 seekor. Alat ini masih diimpor. Semua
itu harus keluar dari kantungnya sendiri.
Istri Kedua
Hans Salomon, 40 tahun, asal Kupang danbekas anggota RPKAD
memberi komentar tentang Sapu Jagat: "Kalau hobi disuruh
berhenti, wah sulit karena hobi itu 'kan seperti candu."
Salomon yang juga gemar berburu, memiliki beberapa jenis senjata
berburu seperti Winchester (berharga Rp 600.000)j scpucuk Merlin
(Rp 400.000) dan Bruno. (juga Rp 400.000). Kata Salomon lagi:
"Kalau tentara, senjata itu adalah nyawanya. Bagi kamil senapan
adalah istri kedua."
Senjata untuk olahraga dan senjata untuk berburu memang berbeda.
"Untuk berburu, dipakai mulai dari kaliber 22 sampai 448," kata
H. Mohamad Anwar, salah seorang Ketua Perbakin yang juga
memiliki toko senjata di Jakarta (lihat: Ekonomi & Bisnis)
"Operasi Sapu Jagat tentu saja ada pengaruhnya terhadap bisnis
saya." Kini dia sedang menunggu sikap Pemerintah selanjutnya.
"Kami sendiri percaya peraturan itu akan dikendurkan kembali,"
tambahnya.
"Bagi saya, penarikan senjata macam apapun saya setuju," ujar
Yapto Sulistyo Suryosumarno, 31 tahun, yang kini terbaring di RS
Cikini. karena malaria. Yapto, bersama beberapa orang temannya
antara lain Ponco Sutowo, juga dikenal sebagai penggemar berburu
dan pada 1977 pernah bersafari berburu di Afrika (lihat box).
Adik dari penyanyi Marini ini bertutur, sejak usia 5 tahun lia
sudah akrab dengan senjata. Lahir di Sala dan dibesarkan di
Manggala, Lampung, ayah dan kakek Yapto juga mempunyai hobi
berburu. "Cuma cara penitipan senjata itu saya tidak setuju,"
kata Yapto lagi.
Menurut Yapto yang diharuskan menitipkan senjata ialah mereka
yang mendapat izin resmi. "Tetapi bagaimana mereka yang
mempunyai senjata gelap?" ujarnya. Di sinilah letak tidak
proporsionalnya, menurut Yapto. Sebab selama ini, katanya lagi,
belum pernah ada kejahatan yang dilakukan oleh seorang kolektor
senjata, olahragawan tembak atau pemburu. "Yang jadi garong
adalah mereka yang mempunyai senjata gelap," katanya, "dan
dengan ditariknya pemegang senJata resmi, para penjahat semakin
leluasa."
Ayah dari tiga orang anak dan tercatat sebagai mahasiswa
Fakultas Hukum UKI itu, mempunyai sebuah senapan Anscblutz,
warisan dari ayahnya. "Padahal," lanjut Yapto pula, "kalau satu
desa didatangi pemburu, para penduduk kan merasa lebih aman."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini