Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Para pemburu merasa disapu

Keluhan para pemburu dengan adanya operasi sapujagat, dan peraturan-peraturan berburu di indonesia tidak pernah jelas. penggemar-penggemar berburu a.l: yapto, ponco sutowo, hans solomon, dsb-nya. (ils)

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGERAN Bernhard pernah memprotes. Sebagai Presiden dari Dana Satwa se Dunia, menurumya Indonesia kurang mematuhi aturan suaka margasatwa. Padahal dana telah diberikan, PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) telah berdiri -- tetapi masih saja ada perburuan liar di hutan-hutan Sumatera, Kalimantan dan Flores. Para pemburunya, bukan saja orang-orang Indonesia tetapi tidak kurang pula orang asing. Apakah Dirjen Pariwisata telah "menjual" Indonesia kepada para pemburu? "Sama sekali tidak," kata Dra Cri Murthi, Manajer Pemasaran Ditjen Pariwisata. "Brosur kami memang ada gambar macamnya," lanjutnya lagi, "tapi kami tidak menyebut hunting program. Yang kami sebut bahwa di daerah tertentu hidup binatang yang namanya macan, di daerah lain ada gajah. Semua itu bukan untuk diburu dan dibunuh." Cri Murthi memang mengakui pengertian tentang berburu di Indonesia tidak jelas hingga sekarang. Misalnya: siapa yang berhak memberi izin berburu, kepada siapa izin itu diberikan? Lagi pula: binatang apa saja dan berapa banyak yang boleh ditembak, di hutan mana saja yang boleh dilakukan perburuan. Semua belum jelas. "Hanya dalam jangka panjang program kami," tutur Cri Murthi lagi, "berburu dengan kamera, safari kamera, itulah yang kan kami kembangkan -- bukan berarti menembak. " Pemburu-pemburu domestik biasanya adalah juga anggota Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia). Tapi bagaimana mereka harus melanjutkan kegemaran itu bila Operasi Sapu Jagat mengharuskan para pemilik senjata api untuk menitipkan alat berburu itu selama jangka waktu yang belum ditetapkan? "Kalau tujuannya untuk keamanan dan ketertiban, saya setuju," kata Muslimin, Ketua Bidang Target Perbakin. Sapu Jagat sendiri mafhum bahwa selama SEASA IX (kejuaraan olahraga menembak Asia Tenggara) yang berakhir pekan lalu, anggota Perbakin masih boleh memakai senjata pertandingan itu. Muslimin pun menerapkan bahwa hendaknya Pemerintah memberi kelonggaran bagi anggota Perbakin, karena banyak di antara mereka yang memiliki senjata pribadi. Jenis senjata untuk olahraga -- biasanya jenis Skeet 8 Trap -- "tak mungkin digunakan untuk menodong," kata Muslimin lagi, "karena membawanya saja berat." Seorang anggota Perbakin yang lain bertanya: "Dan kalau harus dititipkan, kapan saya harus latihan?" Hobi menembak adalah hobi yang mahal. Gunawan, salah seorang anggota tim. Indonesia dalam kejuaraan SEASA IX berceritera, bahwa setiap hari selama 4 bulan menjelang kejuaraan itu, dia harus "menelan" 200 butir peluru untuk latihan. Sebutir peluru berharga Rp 150. Belum untuk beli skaet (burung-burungan untuk sasaran tembak) Rp 100 seekor. Alat ini masih diimpor. Semua itu harus keluar dari kantungnya sendiri. Istri Kedua Hans Salomon, 40 tahun, asal Kupang danbekas anggota RPKAD memberi komentar tentang Sapu Jagat: "Kalau hobi disuruh berhenti, wah sulit karena hobi itu 'kan seperti candu." Salomon yang juga gemar berburu, memiliki beberapa jenis senjata berburu seperti Winchester (berharga Rp 600.000)j scpucuk Merlin (Rp 400.000) dan Bruno. (juga Rp 400.000). Kata Salomon lagi: "Kalau tentara, senjata itu adalah nyawanya. Bagi kamil senapan adalah istri kedua." Senjata untuk olahraga dan senjata untuk berburu memang berbeda. "Untuk berburu, dipakai mulai dari kaliber 22 sampai 448," kata H. Mohamad Anwar, salah seorang Ketua Perbakin yang juga memiliki toko senjata di Jakarta (lihat: Ekonomi & Bisnis) "Operasi Sapu Jagat tentu saja ada pengaruhnya terhadap bisnis saya." Kini dia sedang menunggu sikap Pemerintah selanjutnya. "Kami sendiri percaya peraturan itu akan dikendurkan kembali," tambahnya. "Bagi saya, penarikan senjata macam apapun saya setuju," ujar Yapto Sulistyo Suryosumarno, 31 tahun, yang kini terbaring di RS Cikini. karena malaria. Yapto, bersama beberapa orang temannya antara lain Ponco Sutowo, juga dikenal sebagai penggemar berburu dan pada 1977 pernah bersafari berburu di Afrika (lihat box). Adik dari penyanyi Marini ini bertutur, sejak usia 5 tahun lia sudah akrab dengan senjata. Lahir di Sala dan dibesarkan di Manggala, Lampung, ayah dan kakek Yapto juga mempunyai hobi berburu. "Cuma cara penitipan senjata itu saya tidak setuju," kata Yapto lagi. Menurut Yapto yang diharuskan menitipkan senjata ialah mereka yang mendapat izin resmi. "Tetapi bagaimana mereka yang mempunyai senjata gelap?" ujarnya. Di sinilah letak tidak proporsionalnya, menurut Yapto. Sebab selama ini, katanya lagi, belum pernah ada kejahatan yang dilakukan oleh seorang kolektor senjata, olahragawan tembak atau pemburu. "Yang jadi garong adalah mereka yang mempunyai senjata gelap," katanya, "dan dengan ditariknya pemegang senJata resmi, para penjahat semakin leluasa." Ayah dari tiga orang anak dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UKI itu, mempunyai sebuah senapan Anscblutz, warisan dari ayahnya. "Padahal," lanjut Yapto pula, "kalau satu desa didatangi pemburu, para penduduk kan merasa lebih aman."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus