NEW YORK AFTER MIDNIGHT 11 INDONESIAN SHORT STORIES Editor: Satyagraha Hoerip Penerbit: Executive Committee Festival of Indonesia (USA 1990-1991) Jakarta 1991, 142 halaman Antologi yang "Interesting" Setidaknya antologi ini bisa memberikan informasi pada orang Amerika tentang cerita pendek modern Indonesia, meski ada beberapa masalah dalam pemilihan dan penerjemahannya. INILAH sejumlah karya Indonesia yang bersinggungan dengan orang Amerika Serikat, yang diinggriskan dalam kaitannya dengan KIAS (pameran kebudayaan Indonesia di AS, tahun lalu dan tahun ini) supaya bisa dibaca oleh publik di Amerika Serikat. Rupanya, untuk menarik perhatian pembaca Amerika yang umumnya tidak tahu-menahu tentang kesusastraan bangsa kita, dipilihlah cerita-cerita yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan di tanah air Walt Whitman dan Ernest Hemingway itu. Dengan menyodorkan keterlibatan Amerika dalam tema cerita pendek kita, diharapkan antologi ini dapat lekas memenuhi rasa ingin tahu para peminat sastra di sana. Sekurang-kurangnya mereka dapat mengamati bagaimana reaksi penulis Indonesia terhadap situasi dan masalah yang dijumpainya di Amerika. Kita bisa maklum, antologi demikian tidak amat mudah dilaksanakan. Relatif tidak banyak cerita pendek Indonesia yang bercerita tentang kejadian di Amerika Serikat. Di samping itu, dari jumlah yang terbatas itu belum tentu cukup banyak yang punya mutu untuk dimasukkan dalam sebuah bunga rampai. Menurut editornya, Satyagraha Hoerip, kriteria yang diutamakan dalam seleksinya adalah kandungan nilai sastranya. Akibatnya, persentuhan yang sedikit saja dengan Amerika Serikat sudah memungkinkan cerita pendek itu menjadi bagian dari antologi ini. Dalam Signal karya Aryanti, misalnya, persinggungannya dengan Amerika hanyalah beberapa saat dalam kapal terbang milik Amerika. Di pesawat itu si aku menerima tanda-tanda kemalangan dalam mimpinya. Karya Shoim Anwar berjudul Bundy Drummond belum menunjukkan nilai yang mantap yang patut dikemukakan sebagai karya sastra yang bersangkut paut dengan kehidupan di Amerika Serikat. Tapi harus diakui, secara sepintas lalu, karya-karya yang terhimpun berkesan sebagai buah seni bercerita yang berhasil. Kesebelas cerita pendek dalam terjemahannya dalam bahasa Inggris itu menunjukkan suatu seni, dalam arti kecakapan intuitif dalam bertutur, dalam ragam cerita pendek berlandaskan pengalaman menulis yang cukup matang. Tetapi kecakapan itu tidak selalu menjamin adanya karya sastra yang tinggi nilainya. Apa yang hendak dikatakan, misalnya, tentang cerita Umar Kayam There Goes Tatum? Cara berceritanya memang memikat karena pelukisan tindak-tanduk pemeras, seorang Hitam, serta suasana khas Kota New York begitu hidup. Tetapi mengapa dipilih cerita pendek ini, dan bukan karya sastra Umar Kayam yang lain yang juga bertalian dengan kehidupan di kota besar itu? Misalnya Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, yang lebih mengandung dimensi penglihatan hidup. Betapapun bagus cara berkisahnya, There Goes Tatum hanya bertaraf anekdot, dan tidak mewakili Umar Kayam sebagai sastrawan Indonesia yang berbobot. Dimensi penglihatan hidup itu yang dapat mengangkat bacaan ke tingkat sastra yang cukup menawan bagi peminat, khususnya di Amerika Serikat yang umumnya sudah tersepuh seleranya menghadapi gejala-gejala estetik kesusastraan. Penglihatan hidup yang menyerapi cerita itulah yang tidak akan membiarkan kejadian-kejadian tinggal pada pemaparan yang datar dan permukaan saja. Kecuali pada New York After Midnight Akhudiat, Rudy and Us Bondan Winarno, Otonobee and Ciliwung Leila S. Chudori, dan Joshua Karabish Budi Darma, cerita pendek yang lain dalam antologi ini kurang mengandung dimensi itu. Bagi publik Amerika, karya-karya itu hanya seperti bacaan yang banyak dijumpai di majalah wanita. Tapi memang ada gejala budaya yang cukup penting dicatat dalam antologi ini. Pada semua cerita karya terungkap kelaziman hubungan manusia Indonesia dengan dunia Barat, khususnya di Amerika Serikat itu. Tidak nampak sikap keterasingan terhadap berbagai gejala dan peristiwa dalam masyarakat dan peradaban lain itu, seperti yang banyak kita baca dalam kisah-kisah kehidupan di rantau orang. Bandingkanlah isi antologi ini dengan cerita-cerita Somerset Maugham atau Szekely-Lulofs dan berbagai pengarang Barat waktu menulis tentang dunia Timur. Watak dan adat kebiasaan di tengah peradaban kita terbayang dalam angan-angan mereka sebagai suatu misteri yang sulit bangkit menjadi kenyataan yang wajar. Sebaliknya, dalam karangan-karangan penulis Indonesia dalam antologi ini, masyarakat Barat bukan lagi merupakan dunia yang aneh dan terasing, seakan-akan sudah terbiasa dimasuki dan dipergauli para penulisnya. Begitu akrabnya perkenalan itu dengan kehidupan di Barat, sampai-sampai pengarangnya sanggup mengidentifikasi dirinya dengan tokoh utamanya di dalam cerita yang berbangsa Eropa atau Amerika. Dalam kisah Satyagraha Hoerip Kristina Martinez, si aku adalah seorang wanita Prancis yang sedang sibuk berseminar di Hawaii. Sedangkan Budi Darma telah menghidupkan tokoh ganjil Joshua Karabish di tengah-tengah lingkungan khas kehidupan Amerika. Dan Leila S. Chudori membayangkan neneknya di kampung dengan Bob di Kanada sebagai dua wajah dari makhluk yang sama tanpa ada dinding peradaban yang memisahkan mereka. Bunga rampai dalam bahasa Inggris ini akan lebih meninggalkan kesan pembaca di Amerika Serikat, kalau diserahkan terjemahannya pada native speaker. Atau bersama-sama diterjemahkan oleh orang yang bahasa ibunya bahasa Inggris dan orang Indonesia. Itu untuk menghindarkan beberapa cara bertutur Inggris yang agak mencong dan ganjil yang terdapat di sana-sini. Jangan berang kalau pembaca Amerika, sambil menghirup kopinya atau mengunyah permen karetnya, mengernyitkan alisnya waktu selesai membaca buku antologi ini: "Well, it's interesting." Cuma itu komentarnya. Subagio Sastrowardoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini