Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Merekam india dengan kreatif

Penyunting: prof. a.s.balakrishnan jakarta : pustaka sinar harapan, 1991. resensi oleh : a.a.navis.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konon, inilah cerita-cerita pendek yang mencerminkan kehidupan sosial India dengan baik. MESKI India pernah punya hubungan kebudayaan yang kuat dengan kita dahulu kala, dan Rabindranath Tagore serta Mahatma Gandhi pun pernah jadi idola cendekiawan nasional kita, toh karya budaya India modern kurang dikenal, selain film India yang membiaskan irama musik dangdut. Sastra India yang melahirkan pujangga dunia, Tagore dan Iqbal, kita kenal melalui satu-dua buku terjemahan atau beberapa cerita pendek yang sekali-sekali muncul di majalah kebudayaan. Antologi 12 cerpen India dari 11 pengarang ini kiranya dapat meretas tabir kekurangtahuan kita. Prof. A.S. Balakrishnan sebagai penyunting menulis 24 halaman pengantar guna memperkenalkan kesusastraan India modern dalam masa 100 tahun terakhir. Untuk ukuran kita, seolah demikian ruwetnya perkembangan sastra mereka sehubungan India punya banyak bahasa resmi. Menurut penyunting, hampir semua pengarang yang penting dari masa 100 tahun terakhir terwakili dalam antologi ini. Latar belakang cerita berkisar dari kehidupan petani hingga lingkungan kosmopolitan modern yang dihuni oleh para kaum borjuis India yang baru muncul dan hidup memisahkan diri dari bangsanya. Tema cerita beragam karena perbedaan latar sosial dan budayanya pengarang. Namun, ada kesamaan di antara mereka, yakni kepekaan dan kesadaran sosial dengan semangat kemanusiaan yang besar. Dengan hanya menggunakan logika sosial kita kini saja, terasa semua cerita pendek tersebut rada aneh. Maka, perlu dipahami sistem kemasyarakatan India yang sangat majemuk itu lebih dulu agar terasa nikmat waktu membacanya. Misalnya karya Rabindranath Tagore, Cabuliwallah, yang mengangkat tema bahwa kegemerlapan pesta perkawinan tidak berkurang meski sebagian biayanya diberikan kepada seorang bekas tahanan. Narasi penutup mengungkapkan: "Setelah menyerahkan pemberian ini, aku terpaksa menghapuskan beberapa acara pesta. Aku tidak bisa memperoleh lampu-lampu listrik yang kurencanakan, begitu pula pasukan musik tentera, dan para wanita di rumah sangat sedih karena itu. Namun, bagiku pesta perkawinan itu justru semakin gemerlap karena pikiran bahwa di sebuah negeri jauh seorang ayah yang sudah lama hilang bertemu kembali dengan anaknya yang semata wayang." Itulah semangat India dalam berkorban dengan mengurangkan kemewahan bagi kebahagiaan orang lain, Indianya Rabindranath Tagore. Raja Rao mewakili pikiran India lainnya dalam Sapi Pelindung. Seluruh jalan cerita mengisahkan pikiran manusia India dengan kekeramatan seekor sapi dalam melawan Inggris dengan semangat ajaran Mahatma Gandhi "Ahimsa", melawan tanpa kekerasan. Prem Chand, pengarang sezaman Tagore, tampil dengan wajah India yang paling gelap lewat Kain Kafan. Seorang laki-laki dan ayahnya yang hidup dalam kemiskinan tak bertara -- suratan nasib yang tak ingin mereka ubah -- seolah mendapat rahmat ketika istrinya meninggal karena melahirkan. Setiap pemberian guna pembakaran mayat mereka habiskan untuk menikmati makanan yang lama mereka impikan tapi tak pernah mereka peroleh. Akibatnya, mayat istrinya telantar. Cerpen yang memberi kesan bahwa kemelaratan yang mahadahsyat betul-betul menghilangkan moral dan akal sehat. Sebaliknya, dengan Khushwant Singh yang mengisahkan seorang intelek kelas atas dalam Karma. Tokoh cerita yang berpendidikan di Universitas Oxford, Inggris, dan bergelar Sir, menjadi manusia yang tidak berbeda dengan tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan. Bertingkah laku dan mempunyai hak-hak istimewa seperti orang Inggris, ia memandang rendah bangsa sendiri, termasuk istrinya. Tapi suatu hari dua prajurit bangsa Inggris tidak sudi melihat pribumi berada di gerbong kelas satu yang khusus bagi orang Inggris. Mereka melemparkan si India keluar melalui jendela. Istrinya, dalam gerbong khusus harem, yang tak mengetahui peristiwa yang menimpa suaminya, menikmati perjalanan sambil mengunyah sirih serta meludah ke sana-kemari. Pengarang berkisah seadanya. Tidak mengejek bangsanya yang keinggrisan atau mencela perlakuan prajurit Inggris yang menghina pribumi India. Pembaca sajalah yang akan mengambil kesimpulan. Sedangkan Krishan Chandran, dengan cerpen Sang Prajurit, mengisahkan tentara India yang menjadi anggota kesatuan tentara Inggris yang menang dalam Perang Dunia II. Tentara itu pulang ke kampung dengan kaki yang tinggal satu dan bintang bertabur di dada. Tidak ada emosi kepahlawanan atau keharuan veteran cacat perang. Yang bangga dan terharu hanyalah sanak-saudara dan bekas pacar yang telah menikah, ketika menyambutnya pulang. Setelah membaca antologi ini saya harus menyetujui Prof. A.S. Balakrishnan, yang mengatakan, "Barangkali tidak ada cabang kegiatan kreatif atau penulisan karya sastra lainnya yang dapat merekam suasana kehidupan di India dengan sangat tepat dan penuh pengertian seperti halnya cerita pendek." A.A. Navis ANTOLOGI CERPEN INDIA Penyunting: Prof. A.S. Balakrishnan Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, 160 halaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus