Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rambut Bob Marley dan Kaca Patri

Pameran virtual perupa Antonius Kho menampilkan lukisan-lukisan bertema pandemi. Dengan teknik mosaik serupa kaca patri, Kho hendak menyebarkan cinta untuk melawan corona.

 

 

10 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Physical Distancing karya Antonius Kho. art.kunstmatrix.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANVAS-KANVAS Antonius Kho adalah lapisan demi lapisan yang tak cukup diamati dalam sekali pandang. Pertama-tama, kita memang dapat langsung menangkap rupa-rupa wajah sendu yang menatap balik ke arah penontonnya. Namun, jika memandang lebih lama, kita akan menyadari bahwa wajah-wajah itu terbentuk dari cabikan kecil warna, garis, tekstur, dan mata…, mata di mana-mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknik mosaik yang mengedepankan ragam wajah dan mata adalah ciri khas Kho yang juga muncul dalam semua karyanya pada pameran bertajuk “Spreading Love” selama 28 September-25 Oktober 2020. Seperti segala agenda lain di masa pandemi ini, pameran itu berlangsung dalam jaringan (online). Lukisan-lukisan Kho terpampang pada dinding sebuah ruangan virtual yang dapat bebas dieksplorasi dengan kursor selayaknya sedang berada di ruang galeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Spreading Love karya Antonius Kho. art.kunstmatrix.com

Sejumlah lukisan Kho dalam pameran solo yang dirancang oleh Art:1 New Museum itu dijuduli dengan istilah yang belakangan akrab sekali dengan keseharian kita. Sebutlah Physical Distancing, Social Distancing, lalu Corona Girl. Dua puluh karya dalam pameran itu memang dibuat Kho selama masa Covid-19 merebak. “Selama pandemi, kreativitas saya justru lebih berkembang,” ujar perupa yang kini menetap di Bali itu lewat wawancara telepon. 

Physical Distancing adalah satu kanvas yang dibelah dua oleh garis vertikal panjang. Setiap sisi menampilkan sejumlah wajah manusia yang terbentuk dari mosaik warna dan mata, menimbulkan kesan seolah-olah wajah-wajah itu sebenarnya adalah topeng. Adapun dalam Social Distancing 1, Kho membuat wujud lebih abstrak meski samar-samar kita masih dapat menangkap bentuk wajah yang kabur batas-batasnya. Social Distancing 3 tak menampilkan wajah, melainkan lekuk-lekuk garis yang dapat dibayangkan membentuk sebuah tubuh. 

Di samping yang ditampilkan dalam pameran, Kho banyak membuat seri lukisan tentang corona yang dapat diakses di situs pribadinya. Kendati terpengaruh oleh situasi pandemi, Kho juga mencoba menghadirkan lukisan yang bernada semangat, seperti dalam seri Spreading Love. Lukisan-lukisan yang dijuduli Spreading Love sebagian besar menghadirkan satu sosok utama di tengah kanvas dengan rambut berkibar, di sekitarnya kepingan beragam warna tersebar dan terkadang membentuk wajah lain yang lebih mungil dan tampak ceria. 

Mother and Child karya Antonius Kho. art.kunstmatrix.com

Kho risau terhadap situasi pandemi yang berdampak pada lesunya dunia seni. Namun dia tak ingin turut tenggelam dalam kemuraman dan hendak mengingatkan akan hal-hal baik di dunia. Karena itulah topik menyebarkan cinta dia pilih. “Cinta adalah obat yang paling penting untuk menghilangkan rasa takut dan panik,” katanya. 

Ingatan akan cinta sebagai penyembuh muncul dalam karya Kho lewat metafora rambut-rambut hitam yang merentang seperti kaki-kaki gurita. Beberapa sosok dalam lukisan bisa mengingatkan kita pada bintang reggae Bob Marley karena aksen rambut berkibar itu. 

Rambut menjadi kebaruan bentuk dalam lukisan Kho. Adanya garis-garis hitam pekat berkelok itu makin menonjolkan komposisi abstrak warna dan bentuk geometri di atas kanvas. “Rambut adalah mahkota yang sensitif, saya gunakan untuk ekspresi menebarkan cinta,” tutur Kho. 

Satu lukisan yang tampak berbeda dengan kumpulan karya lain adalah Mother and Child. Dibuat di atas kanvas berukuran 1 x 1 meter, lukisan ini didominasi warna biru kehijauan dalam bentuk yang mengingatkan pada gelombang lautan. Di bagian tengah terdapat susunan carik goni yang membentuk dua sosok berpangkuan. 

•••

ANTONIUS Kho lahir di Klaten, Jawa Tengah, pada 1958 sebagai keturunan Indonesia-Cina. Persoalan identitas sering menjadi tema besar dalam karya-karyanya. “Pada titik tertentu, dia adalah ‘alien’ di tanahnya sendiri,” tulis pengamat seni Jean Couteau tentang Kho dalam pengantar karya. 

Menurut Couteau, kegemaran Kho menggambar sosok-sosok yang seperti mengenakan topeng menggambarkan hidupnya yang terbentuk dari banyak faset dan lapisan identitas. “Lukisan Kho adalah bentuk figuratif, tapi juga memiliki kualitas formal sebuah karya abstrak. Interpretasi dapat dilakukan pada kedua level ini,” ujar Couteau. 

Mata-mata mungil yang selalu muncul dalam kanvas Kho adalah perwakilan dari kemurnian spiritual. “Bagi saya, mata itu adalah mata batin, yang melihat dari hati,” tutur Kho. 

Selain menciptakan lukisan, pendiri Wina Gallery di Ubud, Bali, ini membuat patung dan obyek lain. Kho banyak bekerja dengan batu, kayu, dan perunggu. Wajah dan tubuh paling banyak muncul dalam karyanya. 

Antonius Kho. langkawiartbiennale.com

Adapun teknik mosaik yang dipilih Kho sangat dipengaruhi latar belakang pendidikannya. Kho menamatkan pendidikan seni di Institut Teknologi Bandung. Dia sempat belajar kepada pelukis Barli di Studio Rangga Gempol, Bandung. Kemudian Kho mengambil program master jurusan glass painting and textile art di Cologne, Jerman, pada 1984-1992. Kho menguasai teknik pewarnaan kaca patri, tapi tak bisa leluasa menerapkannya saat kembali ke Indonesia karena material yang terbatas. Dia lantas meminjam prinsip-prinsip glass painting yang jamak digunakan sebagai dekorasi gereja di Eropa untuk diadaptasi ke atas kanvas.

Alih-alih memunculkan warna-warna cerah sebagaimana umumnya hiasan kaca patri, Kho cenderung menggunakan warna bernuansa bumi, seperti kuning, hijau, dan cokelat. Dia memanfaatkan bermacam material, dari cat akrilik, benang, kain rajutan, hingga kain goni. Sosok-sosok dalam lukisan terlihat seperti mengenakan kulit yang terkelupas karena penggunaan sobekan-sobekan goni. Namun, dalam pameran ini, tekstur yang muncul di atas kanvas Kho lewat material tekstil itu sulit ditangkap karena hanya dapat diamati lewat layar komputer. 

Kendati begitu, Kho mendorong agar makin banyak seniman menggelar pameran virtual. Sebab, selain di tengah pandemi saat ini, era digitalisasi pasti akan berdampak pada dunia seni rupa. “Pameran secara virtual harus makin sering diadakan supaya masyarakat terbiasa mengapresiasinya,” ujarnya. 

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus