Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Penanganan Pandemi Harus Diawasi

Pensiun sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Regional Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama kembali ke Tanah Air setelah lima tahun berdinas di India. Guru besar bidang pulmonologi dan kedokteran respirasi Universitas Indonesia ini mengatakan kebijakan lockdown nasional di India rupanya tidak efektif menekan angka kasus positif Covid-19. Menurut dia, India sejauh ini melakukan lebih banyak pengetesan ketimbang Indonesia meskipun negeri itu menduduki peringkat kedua jumlah kasus positif terbanyak setelah Amerika Serikat. Tjandra menuturkan, angka tes dan pelacakan kasus di Indonesia masih perlu ditingkatkan sesuai dengan standar WHO. Ia menilai pembentukan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 seharusnya bisa melengkapi kinerja Kementerian Kesehatan dalam menanggulangi pandemi.

10 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tjandra Yoga Aditama saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Jumat 09 Oktober 2020. TEMPO/STR/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan pemerintah perlu meningkatkan angka tes dan pelacakan kasus positif Covid-19 sesuai dengan standar WHO.

  • Sewaktu menjabat Direktur Penyakit Menular WHO Regional Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama bertanggung jawab memastikan pelayanan kesehatan khususnya untuk penyakit menular terus berjalan di tengah pandemi Covid-19.

  • Walaupun uji klinis fase tiga masih berjalan di sejumlah negara, Tjandra Yoga Aditama optimistis vaksin Covid-19 bakal tersedia setidaknya tahun depan. Kini ada sedikitnya sembilan kandidat vaksin yang tengah diuji klinis fase ketiga.

TJANDRA Yoga Aditama mengakhiri tugasnya sebagai Direktur Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia (WHO) Regional Asia Tenggara di tengah masa pandemi Covid-19 pada Kamis, 1 Oktober lalu. Dua pekan sebelumnya, ia telah pulang ke Jakarta dari tempatnya bertugas lima tahun terakhir di New Delhi, India. Ia terpaksa menumpang pesawat repatriasi karena pemerintah setempat masih belum membuka penerbangan komersial dari Bandar Udara Internasional Indira Gandhi. “Saya bisa jadi orang ilegal di sana karena visa sudah habis, he-he-he…,” kata Tjandra, 65 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 8 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak akhir Maret lalu, Tjandra menyaksikan pemerintah India menerapkan kebijakan lockdown yang sangat ketat. Di sekitar tempat tinggalnya di Nizamuddin East, ia jarang mendapati orang lalu-lalang. Tjandra mengatakan tes usap polymerase chain reaction (PCR) di India juga tak semahal di Tanah Air. Dua hari sebelum kepulangannya, petugas klinik swasta mendatangi kediamannya untuk mengambil sampel dari rongga hidung dan mulut. Sampel diambil pada pukul 10.00. Tak sampai delapan jam kemudian, keluar hasil tes: negatif. “Biayanya Rp 480 ribu,” ucap bekas pejabat eselon I di Kementerian Kesehatan ini lewat konferensi video.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama pandemi merebak, Tjandra bertanggung jawab memastikan pelayanan kesehatan untuk penyakit menular, seperti tuberkulosis (TBC), virus imunodefisiensi manusia (HIV), dan malaria, di 11 negara anggota tetap berjalan. Ia tak terlibat khusus dalam penanganan Covid-19 karena sudah ada Direktur Keamanan Kesehatan dan Tanggap Darurat. Tapi ia mengikuti perkembangan penanganan Covid-19 di Indonesia lewat pemberitaan dan grup percakapan WhatsApp. Tjandra, misalnya, menyambut baik keputusan pemerintah meminta bantuan WHO untuk penyediaan peralatan tes cepat antigen.

Dalam perbincangan selama dua jam dengan wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah, dan Abdul Manan, Tjandra mengatakan rapid test berbasis antigen bisa mempercepat pengetesan dan pelacakan kasus positif untuk memutus rantai penularan Covid-19. Bekas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan ini juga menanggapi peluang vaksin, pembentukan satuan tugas, serta pentingnya mengawasi penanganan wabah sejauh ini. Wawancara dilengkapi dengan percakapan lewat telepon pada Jumat, 9 Oktober lalu.

Bagaimana dampak lockdown terhadap pengendalian jumlah kasus Covid-19 di India?

Saya awalnya agak ragu, apa bisa orang dipaksa tinggal di rumah. Sewaktu lockdown nasional terjadi, banyak orang memang tinggal di rumah. Tapi, setelah lockdown, jumlah kasus positif di India tetap naik. Lockdown lagi fase kedua, ketiga, dan kasus tetap naik. Akhirnya lockdown dibuat parsial. Sampai hari ini, bandara internasional di New Delhi masih tutup untuk penerbangan komersial. Satu-dua bulan terakhir baru beberapa negara yang ada penerbangan langsung, misalnya kerja sama India dan Amerika Serikat.

India menggeser Brasil sebagai negara kedua dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak setelah Amerika Serikat. Apa yang sebenarnya terjadi di sana?

India jumlah penduduknya 1,3 miliar dan kesenjangannya tinggi. Saya kira itu salah satu faktor yang membuat jumlah kasusnya tidak mudah terkendali. Tapi harus diakui jumlah tesnya lebih banyak dari Indonesia. Kalau tesnya lebih banyak, akan lebih banyak kasus yang terlihat. Lalu angka kematian di India juga rendah.

Mengapa bisa begitu?

Saya tidak tahu pasti. Tapi salah satunya karena yang sakit Covid-19 sebagian besar berusia muda sehingga daya tahan tubuhnya lebih kuat. Tapi kalau cerita tentang unit perawatan intensif penuh, seperti di Jakarta, di India juga pernah terjadi.

Sejauh mana Anda terlibat dalam penanganan pandemi Covid-19?

Tahun ini saya mau tidak mau ikut menangani Covid-19. Hubungannya dengan direktorat penyakit menular ada yang spesifik, yaitu penanganan penyakit menular tetap berjalan selama pandemi. Contohnya bagaimana imunisasi tetap berjalan, pasien TBC atau HIV yang telah makan obat bertahun-tahun bisa tetap makan obat mereka walaupun pandemi Covid-19 terjadi.

Seperti apa dukungan WHO Asia Tenggara terhadap penanganan Covid-19 di 11 negara anggotanya?

WHO mendukung untuk melakukan test, trace, dan treat. WHO sejak awal tidak hanya memberikan panduan bagaimana cara melakukan tes. Kalau diperlukan bisa membantu dengan tes. Beberapa waktu lalu WHO mengumumkan bahwa rapid test antigen bermanfaat. Kemudian ada permintaan dari pemerintah Indonesia kepada WHO Indonesia untuk membantu penyediaan rapid test antigen. Itu salah satu contoh konkret. Tadinya, untuk diagnosis, yang dianjurkan sesuai dengan panduan WHO adalah tes PCR. Sedangkan rapid test antibodi tak direkomendasikan. Lalu ada perkembangan baru tentang rapid test antigen. Bisa digunakan asalkan sensitivitas dan spesifisitasnya sesuai dengan kriteria.

Dalam hal panduan penanganan pandemi, sejauh mana kebijakan WHO diikuti oleh negara-negara anggotanya?

WHO setiap tahun menggelar World Health Assembly. Isinya kumpulan menteri kesehatan yang rapat dan memutuskan kebijakan WHO. Ada dua kebijakan yang secara hukum mengikat, yaitu Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), Indonesia tidak meratifikasinya, serta International Health Regulations (IHR) yang kini sehubungan dengan Covid-19. Semua negara menandatangani IHR. Tapi, misalnya untuk tes PCR yang direkomendasikan dan tes cepat antibodi yang tidak direkomendasikan WHO, itu sifatnya tidak mengikat.

Bagaimana dengan penggunaan obat tertentu untuk pasien Covid-19?

Kalau bicara soal Covid-19, sampai saat ini belum ada rekomendasi obat dari WHO. WHO mengatakan obat seperti klorokuin, remdesivir, kombinasi lopinavir-ritonavir direkomendasikan hanya dalam kerangka uji klinis. Karena itulah WHO mengadakan solidarity trial. Di Indonesia melibatkan 21 rumah sakit untuk mencari dari beberapa kemungkinan obat yang efektivitasnya paling tinggi.

Pemilihan obat untuk pasien Covid-19 diserahkan ke tangan otoritas kesehatan?

Iya, di semua negara begitu. Kalau untuk TBC dan HIV sudah ada obat rekomendasi dari WHO. Untuk Covid-19 belum ada, masih menunggu hasil solidarity trial.

WHO juga mengeluarkan pedoman penghitungan angka kematian Covid-19 dengan memasukkan pasien yang meninggal akibat kondisi klinis dengan indikasi Covid-19. Tapi pemerintah memilih tidak mengikuti panduan itu. Tanggapan Anda?

Negara tidak harus ikut pedoman WHO. Tapi rekomendasi itu digunakan di banyak negara. Jadi akan lebih baik kalau negara menggunakan panduan yang sama. Tapi kalau negara memutuskan menggunakan panduan yang berbeda, tidak ada sanksi hukum. Seperti halnya tes 1 : 1.000 suspek per minggu. Rekomendasi itu diperlukan untuk menghitung positivity rate. Kalau jumlah tes kurang dari itu, lalu keluar angka tingkat penularan sekian persen, sebenarnya hasilnya tidak terlalu akurat dan tak mencerminkan kondisi riil di lapangan.

Apakah Anda setuju jika korban meninggal Covid-19 hanya mereka yang sudah terkonfirmasi positif lewat tes laboratorium?

Tentu saja yang paling benar adalah terkonfirmasi karena sudah pasti dia sakit (Covid-19). Tapi kalau ada pasien yang mengarah ke Covid-19 tapi hasil tesnya belum ada karena satu dan lain hal, memang sebaiknya dianggap sebagai kematian akibat Covid-19. Masalahnya, kemudian pasien keburu meninggal sebelum hasil tes keluar. Itu yang bikin ribut. Jika tidak ada keterangan lain yang bisa menjelaskan kenapa pasien itu meninggal, dan gejalanya ke arah Covid-19, sebaiknya dianggap sebagai Covid-19.

Bagaimana dengan pasien Covid-19 yang meninggal karena penyakit penyerta (komorbid)?

Itu clinical judgement yang berperan. Apakah orang dengan komorbid akan meninggal kalau enggak kena Covid-19? Jika meninggalnya gara-gara Covid-19, walaupun ada komorbid, ya dihitung (Covid-19).

Benarkah pemerintah tidak mengikuti pedoman WHO karena angka kematian Covid-19 bisa melonjak dari data yang selama ini diumumkan?

Coba cek nomor tiga (pedoman WHO). Kematian Covid-19 yang digunakan untuk surveilans adalah kematian yang terjadi kalau gejala klinisnya sesuai pada pasien probable atau confirmed, kecuali ada penyebab lain yang menyatakan kematian itu tidak berhubungan dengan Covid-19. Sebenarnya kasus meninggal tidak bicara jumlah per se, tapi persentase. Kalau jumlah orang yang diperiksa juga banyak, persentase (kematian) bisa turun.

Anda dulu terlibat dalam penanganan wabah flu burung, flu babi, hingga sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS). Bagaimana Anda melihat penanganan pandemi Covid-19 saat ini?

Memang agak sulit dibandingkan dengan penyakit-penyakit sebelumnya. Dunia tidak pernah mengalami situasi seberat ini walaupun prinsip-prinsip dasar untuk mengatasi penyakit menular sama saja, yaitu mencegah, menemukan, dan mengobati.

Apakah kebijakan yang diambil pemerintah sudah tepat?

Saya berpendapat bahwa tes, pelacakan, dan perawatan tetap jadi patokan penting buat Indonesia dan dunia. Sekitar seminggu lalu, paklik saya mengalami demam dan stroke. Umurnya 80 tahun. Di rumah sakit, tes usap mula-mula hasilnya negatif. Belakangan, ada pasien lain yang masuk dengan Covid-19 positif, lalu paklik saya juga positif. Mungkin tertular. Begitu positif, rumah sakit ternyata menghubungi puskesmas, yang lantas menghubungi tiga anggota keluarga paklik di rumah. Mereka dibawa ke puskesmas untuk dites. Hasil tesnya negatif. Artinya, sistem pelacakan itu berjalan.

Jika pelacakan memang sudah berjalan cukup bagus, mengapa jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meroket?

Saya sebenarnya mengusulkan ada monitoring yang ketat. Dengan begitu akan ketahuan mana bolongnya, di mana tidak tepatnya, kemudian dipetakan secara ilmiah, berbasis bukti, dan bolongnya itu diintervensi. Kalau pengawasan dilakukan dengan tepat, kita akan tahu persis bagaimana menjawab pertanyaan Anda.

Menurut Anda, di mana bolong penanganan Covid-19 di Indonesia?

Saya tidak tahu persis. Yang jelas, kalau bicara tes memang belum sesuai dengan standar WHO. Itu berulang kali dibilang tesnya terbatas. Saya tidak punya angka. Tapi apakah pelacakan sudah berjalan sangat baik saat ini? Seharusnya ada angkanya. Kalau mundur sedikit, ada berapa persen orang yang pakai masker dan cuci tangan? Data berbasis bukti seperti itu akan membantu menentukan langkah berikutnya.

Sejumlah pakar telah memperingatkan pemerintah agar tidak hanya bergantung pada vaksin untuk mengatasi pandemi Covid-19. Tanggapan Anda?

Kenyataannya sekarang kita tidak punya obat Covid-19. Jadi vaksin merupakan salah satu unsur penting untuk kemungkinan pengendalian penyakit. Tapi kita tahu dari pengalaman penyakit-penyakit terdahulu, vaksin itu ketemunya tidak mudah dan tidak cepat. Dari data yang ada, beberapa penyakit sebelum ini butuh waktu lima tahun, 15 tahun, bahkan ada yang puluhan tahun vaksinnya belum ketemu.

Jika melihat pengalaman membuat vaksin itu sulit, apakah target pemerintah untuk vaksinasi Covid-19 tahun depan realistis?

Para ahli dan bahkan WHO menyatakan tampaknya kita akan punya vaksin dalam waktu dekat. Paling tidak tahun depan. Sekarang ada sembilan-sepuluh kandidat vaksin yang sedang menjalani uji klinis fase ketiga. Dari perkiraan sekarang, tampaknya akan ada vaksin yang berhasil. Bisa saja tidak 100 persen proteksinya. Saya sependapat dengan mengatakan bahwa kita berharap vaksin ini ada. Tapi mesti kita antisipasi. Artinya, belum tentu vaksin akan mengubah segalanya.

Tjandra Yoga Aditama (kiri) saat membuka rapat World Health Organization (WHO) yang membahas penyakit Malaria, 2019. Dokumentasi Pribadi

Anda pernah menjadi bagian dari birokrasi Kementerian Kesehatan. Bagaimana Anda melihat Kementerian sekarang menangani pandemi?

Kalau dulu mungkin karena tidak sebesar ini masalahnya sehingga tidak ada satgas (Satuan Tugas Penanganan Covid-19). Tapi kini pemerintah rupanya memutuskan untuk membuat satgas. Semula satgas hanya untuk kesehatan, lalu berubah menjadi lebih besar karena ada sektor ekonomi. Menteri Kesehatan juga ada di dalamnya. Saya kira mekanisme kerja antara Kementerian Kesehatan dan satgas perlu dilihat. Kalau memang sudah berjalan bersama-sama, masing-masing punya tugas dan porsi yang jelas, oke-oke saja.

Apakah keputusan pemerintah membentuk satgas sudah tepat?

Selama di India, saya banyak mengikuti pemberitaan televisi India dan CNA Singapura. Di Singapura, misalnya, ada tiga menteri yang menangani Covid-19. Salah satunya Menteri Kesehatan. Jadi yang bolak-balik muncul di televisi itu, selain Perdana Menteri Lee Kuan Yew, menteri-menteri itu. Tampaknya mereka membuat semacam, bukan satgas, tapi komite lintas kementerian untuk menangani Covid-19. Kalau di India, yang sehari-hari muncul melaporkan jumlah kasus adalah additional secretary, pejabat eselon I di Kementerian Kesehatan. Dia biasanya tampil bersama kepala badan risetnya. Perdana Menteri Narendra Modi berbicara sesekali, misalnya sewaktu keputusan lockdown dan masa perpanjangannya.

Apakah Kementerian Kesehatan sebenarnya memiliki kemampuan memimpin penanganan pandemi?

Kalau bicara kapabilitas, tentu saja kapabel. Tapi bahwa ini harus bekerja sama dengan sektor lain, iya juga. WHO itu kan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di PBB yang menangani Covid-19 memang WHO. Karena pandemi ini luar biasa, penanganannya di WHO bukan di direktorat penyakit menular, tapi sengaja dibikin jalur khusus direktorat tanggap darurat.

Sejumlah pakar kerap mempertanyakan pembentukan satgas karena menganggapnya hanya akan memperpanjang rantai birokrasi. Tanggapan Anda?

Ada beberapa teman yang mengatakan ini sudah sepenuhnya salah dan sebaiknya dikembalikan kepada Kementerian Kesehatan saja. Tapi saya berpikir positif. Kalau maksudnya adalah membuat supaya penanganan menjadi terintegrasi, sebetulnya bisa lebih bagus. Jadi sebenarnya Kementerian Kesehatan kapabel, tapi jika bersama sektor lain menjadi lebih bagus, kenapa enggak?

Bagaimana dengan kinerja Menteri Kesehatan?

Saya tidak dalam potensi untuk menilai pekerjaan seseorang, baik itu menteri maupun direktur jenderal.

Apakah Anda mengenal secara personal Menteri Terawan Agus Putranto?

Saya kenal. Tapi kan dia menteri. Masak, saya berhubungan sama menteri.

Anda pernah dimintai saran atau masukan tentang penanganan Covid-19?

Kalau saran dan masukan, sih, enggak. Tapi kadang kalau punya pendapat saya kirimkan ke semua orang, termasuk Menteri. Misalnya ada jurnal, saya teruskan ke semua orang. Saya kirim ke grup-grup WhatsApp, ke mana-manalah.

Apakah Menteri Kesehatan menanggapi pesan tersebut?

Pernah direspons dengan ucapan terima kasih. Itu karena saya kebetulan punya informasi. Niatnya ingin menyebarkan informasi saja ke orang-orang. Orang mau memanfaatkan atau tidak, silakan saja. Saya melakukan ini dari zaman dulu, bahkan sejak sebelum masuk kementerian. Saya juga pernah mengirim ke Bu Nila Moeloek sewaktu jadi Menteri Kesehatan dan beliau pernah merespons.


TJANDRA YOGA ADITAMA | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 3 September 1955 | Pendidikan: Dokter dari Universitas Indonesia (1980), Diploma TB Control & Epidemiology Institut Penelitian Tuberkulosis, Tokyo, (1987), Spesialis Paru Universitas Indonesia (1988), Spesialis Paru/Pulmonologist Consultant Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (1993), Diploma Tropical Medicine & Hygiene London School of Hygiene & Tropical Medicine, London (1994), Program Master Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia (1998), Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (sejak 2008) | Karier: Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (2009-2014), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (2014-2015), Regional Coordinator World Health Emergency Badan Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (2015-2016), Senior Advisor Badan Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (2017-2020), Direktur Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (2018-2020), Adjunct Professor di Centre for Environment and Population Health Griffith University, Australia | Penghargaan: Bakti Karya Husada Triwindu dari Menteri Kesehatan (2011), Satyalancana Karya Satya XXX Tahun dari Presiden RI (2011), Ksatria Bakti Husada Aditya dari Menteri Kesehatan (2011).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus