Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Apa Artinya Cinta

Sebuah film dengan kamera, cahaya, warna, dan kostum yang hebat. Tapi, apa itu cukup?

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa Artinya Cinta Sutradara: Sunil Soraya Skenario: Riheam Junianti dan Sunil Soraya Pemain: Shandy Aulia, Samuel Rizal, Didi Petet Produksi: Soraya Intercine

Yeah..., bagaimana caranya mendiskusikan film seperti ini? Sudah garuk kepala, sudah garuk dagu, sudah tanya kiri-kanan pendapat orang yang sudah nonton dan saya mendapatkan jawaban yang serba ekstrem. Dari spektrum yang menjawab ”Shandy is sooo adorable...” hingga ”Kok bloon banget sih?” (ini kutipan asli, meski yang mengatakan tak bersedia dikutip namanya—Red.)

Film ini sungguh sulit didiskusikan karena: 1) Oh, gambarnya, kameranya, tata cahaya, tata suara, tata busana, dan segala hal yang teknis film ini sungguh gila-gilaan. 2) Oh, tata artistik, properti, kamar si cewek, kamar si cowok, rumah si cewek, rumah si cowok, jaket si cowok, baju si cewek, mobil si cowok, ya Ferrari, dan segala merek terkenal yang cuma bisa disentuh oleh orang-orang terkaya di dunia sungguh-sungguh-sungguh terasa hidup seperti Paris Hilton ala Indonesia....

Dengan sekian nama asing yang bertebaran di belakang layar, termasuk juru kamera yang terdiri dari dua nama: Rei Supriyadi dan David Lewis, atau penata artistiknya yang juga ”perkawinan” campur dua nama: George Stokes dan Ade Gimbal, maka bagian teknis dari film ini seolah sudah terjamin sebagai sebuah kemasan gaya Hollywood yang tak perlu dipersoalkan lagi.

Namun, apakah ini definisi sebuah film? Apakah kemasan keren, warna yang tampil cemerlang, dan kamera yang terus-menerus mencoba menjelajahi setiap sudut itu cukup untuk menyebutkan sebagai sebuah film yang lengkap? Bagaimana dengan cerita? Dengan logika skenario? Dan..., masya Allah, bagaimana dengan pemain? (meski para pemainnya memang sangat enak dipandang mata, persis seperti sepatu dan baju yang mereka kenakan... o, so adorable!)

Dengar ceritanya: syahdan, si putri bungsu Aliza (Shandy Aulia) bertetangga dengan Dara (ini nama lelaki bertubuh kekar dan irit dalam bicara, yang diperankan oleh Samuel Rizal). Sang Dara ini tak jelas ”jurusannya”: apakah dia seorang gay (karena megaposter Brad Pitt di kamarnya yang dipasang) atau dia seorang lelaki yang menyukai perempuan (karena toh dia mengajak Aliza berkencan dan menciumnya dengan begitu lembut)? Tak jelas bagi Aliza yang sejak awal tampil cantik tapi bloon, tapi bagi penonton (atau orang yang punya IQ rata-rata), Dara tampak sebagai lelaki biasa-biasa saja yang memang sukar bicara. Aliza bingung. Nah, kebingungan dan kebloonan ini yang kemudian dibuat menjadi komedi.

Untuk bikin seru, dan bikin para ABG (anak baru gede) histeris, harus cari alasan syuting di luar negeri. Dara adalah mahasiswa Berkeley University (masya Allah, yang bener nih? Berkeley yang untuk masuk angka SAT-nya harus di atas 1.400 itu? Yang isinya para mahasiswa dahsyat itu?) dan Aliza juga berminat bersekolah di sana. Jadi, berbondong-bondonglah keluarga Aliza dan keluarga Om Sudiro (Didi Petet yang kocak) terbang ke San Francisco. Di San Francisco, segala komedi salah kaprah dan slapstick terjadi. Penonton ger-geran karena memang jarang adegan kebut-kebutan dalam film Indonesia bisa seru seperti ini.

Jadi, sekali lagi, produksi ini seperti tak keberatan mengucurkan duit sebanyak mungkin untuk memuluskan sisi teknis. Menurut Dewi Yulia Razif dari Soraya Intercine, kurang lebih mereka mengeluarkan Rp 15 miliar. Wow!

Tapi, ceritanya memang bikin orang geleng-geleng kepala. Soal komedi salah kaprah yang membuat Aliza tampak bodoh (masakan lama sekali dia menyadari bahwa Dara adalah seorang lelaki yang menyukainya); atau berbagai efek dan subplot yang membuat film ini penuh dengan adegan usus buntu membuat saya dan beberapa penonton di sebelah saya menghela napas dan, akhirnya, ngobrol ajalah—daripada sebel.

Subplot film ini, misalnya, tentang kawan Aliza, Mitha (Acha Septriasa) yang berpacaran dengan Angga (Dimas Beck) yang menjadi korban kekerasan ayahnya sukar dicari relevansinya dengan induk cerita. Apalagi berbagai adegan yang hanya ingin mencari efek: adegan Angga berjalan sendirian di bawah hujan dengan shot hitam-putih; kecuali bajunya yang merah (efek yang digunakan film Sin City); adegan hujan terus-menerus (Jakarta pasti sudah berubah menjadi Vancouver atau Seattle yang hujan melulu siang-malam) atau adegan Angga dan ayahnya yang tergeletak dengan banjir darah yang sama sekali tidak menimbulkan emosi apa-apa; atau hampir semua adegan yang selalu ”mewajibkan” figuran mengenakan baju hitam (di San Francisco; di pesta nikah kakak Aliza; di acara tari Flamenco; di bioskop); atau adegan dalam gerak lambat anak-anak remaja yang keluar dari bioskop yang sama sekali tak jelas kenapa mereka harus digambarkan seperti serombongan warrior yang akan maju ke medan perang. Really... are we kidding? Dan, oh, penggemar serial top The O.C. pasti akan menjerit melihat adegan Aliza yang mengenakan backless dan meminta tolong Dara untuk mengikatkan tali di belakang bajunya. Ingatkah bagaimana tokoh Marissa (Mischa Barton) yang meminta tolong Ryan (Ben Mckenzie) mengikatkan tali baju model backless itu dalam film The O.C.?

Tapi, itu dia! Film ini full house pada hari-hari libur Lebaran. Jika hanya itu yang dikejar Sunil Soraya, yang harus diakui memiliki selera bagus untuk menciptakan adegan, maka, ya sudah: Apa Artinya Cerita? Nggak ada.

Jadi, kalau itu definisi film bagus, yok kita buang sajalah cerita bagus. Kita kejar saja semua kemampuan teknis. Cerita sekonyol apa pun akan tertutup oleh warna bagus, cahaya dahsyat, dan mobil Ferrari yang gres.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus