Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Selama Tanah Tak Menjadi Laut

Konflik tanah adat di Sumatera Utara tak juga reda. Inilah potret akibat nasionalisasi perusahaan asing puluhan tahun silam.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Emmahani, Fauzi, dan Nurdin tak mengira, peristiwa cekcok dengan tiga preman yang terjadi di Telagasari, Kecamatan Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 8 Oktober lalu, bakal berbuntut panjang. Karena kejadian itu, ketiganya ditangkap polisi dan sempat ditahan selama lima hari di kantor polisi sebelum kemudian dibebaskan. Namun, dua hari kemudian mereka kembali diciduk dan dijebloskan ke sel Polsek Tanjung Morawa. Sampai tiga pekan lalu, ketiganya masih meringkuk di kantor polisi itu.

Emmahani adalah salah satu warga yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), komunitas tempat berhimpun sekitar 70 ribu warga dari berbagai suku di Sumatera Utara yang sedang berupaya menuntut hak atas tanah adat seluas 325 hektare di sejumlah wilayah provinsi itu.

Insiden yang dialami Emmahani dan kawan-kawannya di Telagasari itu bermula dari pemagaran yang dilakukan seseorang yang mengaku sebagai pemenang atas perkara sengketa tanah seluas 41 hektare yang saat ini dihuni warga BPRPI tersebut. Warga sendiri mengaku tak merasa bersengketa dengan siapa pun di atas tanah yang mereka huni sejak 1995 itu. Pemagaran setinggi tiga meter dilakukan pada 6 Oktober 2003.

Warga pun lantas menolak pemagaran tersebut. Sekitar 300 kepala keluarga di sana membuat tangga untuk melintasi pagar tembok tersebut. Tapi tangga itu berkali-kali hilang. Tak kurang akal, warga lantas membuat lubang di bawah tembok. Para warga juga melapor ke polisi perihal pemagaran itu. Upaya ini tak sia-sia. Akhir 2004, polisi memerintahkan dibuat pintu di salah satu dinding pagar itu untuk jalan keluar-masuk warga.

Bagi BPRPI, kasus Telagasari adalah salah satu kasus menonjol yang dialami anggotanya. Pada tahun ini saja, kasus tanah sebagaimana yang terjadi di Telagasari—berkaitan dengan pemilikan tanah—terjadi pula di Kampung Denai, Desa Bandar Kalippah, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Warga yang tinggal di daerah tersebut sejak 1979 digusur oleh petugas perkebunan pada 16 April lalu. Penggusuran dilakukan dengan membakar kebun-kebun penduduk.

Menurut data BPRPI, ada sekitar 36 hektare tanaman yang ludes digasak alat-alat berat milik PT Perkebunan Negara (PTPN) II. Sekitar delapan unit rumah turut serta terbakar. BPRPI pun kemudian melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara, termasuk tentang ikut sertanya aparat Brimob saat pembakaran kebun warga itu.

Menurut aparat, masyarakat tidak berhak atas tanah tersebut karena lahan itu adalah tanah negara. Kepada Tempo, Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara Bambang Prihady juga membantah keterlibatan polisi. ”Itu hanya dibesar-besarkan, termasuk oleh media,” katanya.

Di Kampung Mabar, Labuhan Deli, juga pernah terjadi kasus serupa. Pada 2 Maret 2004 warga di sana melakukan perlawanan terhadap petugas PT Kawasan Industri Medan yang meratakan lahan warga, yang selama ini mereka anggap sebagai tanah adat, dengan menggunakan traktor. Dalam bentrokan ini, satu anggota BPRPI ditangkap aparat.

Menurut Ketua Umum BPRPI, Asnawi Nuh, munculnya konflik semacam ini karena pemerintah tak mengakui hak atas tanah adat. Padahal, kata dia, warga memiliki dasar kuat atas tanah tersebut. Dia merujuk konsesi antara pemerintah Belanda dan Kesultanan Deli Serdang untuk menyewakan lahan seluas 325 hektare. ”Dalam perjanjian itu, Kesultanan Deli mengatasnamakan masyarakat adat,” katanya.

Sekretaris Jenderal BPRPI, Alfi Sahrin, mengisahkan bahwa di masa Belanda masyarakat adat bisa tetap mengelola lahan kendati lahan tersebut sudah ditanami tembakau oleh perusahaan Belanda. ”Itulah yang disebut tanah jaluran,” kata dia. Namun, ujarnya, praktek ini berakhir setelah Indonesia merdeka, terutama setelah pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda pada 1958.

Setelah Indonesia merdeka, jumlah tanah masyarakat adat pun berkurang drastis. Semula, kata Alfi, luas tanah adat di Sumatera Utara tak kurang dari 325 ribu hektare. Namun, jumlah itu merosot sampai 125 ribu hektare setelah ada kekacauan politik pada 1960-an. Luas terus menyurut hingga menjadi sekitar 50 sampai 60 ribu hektare pada tahun 1970-an.

Pada tahun 1980-an, kata Alfi, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk membagikan sekitar 10 ribu hektare tanah, termasuk kepada masyarakat adat. “Hanya, kenyataannya, masyarakat adat tak mendapat jatah sedikit pun,” kata Alfi.

BPRPI berdiri sejak 11 April 1953. Hingga kini BPRPI memiliki tiga wilayah, masing-masing di Medan, Deli, Serdang, Binjai, dan Medan, yang keseluruhan terdiri dari 73 kampung. Tujuan BPRPI, kata Afnawi Nuh, bukanlah untuk penguasaan lahan, melainkan meminta pengakuan hak atas tanah adat. ”Kami tidak melarang negara menggunakan tanah adat, asal kami diajak bicara,” kata dia. Selain itu, mereka juga menginginkan masyarakat adat mendapat bantuan dalam kehidupan ekonomi dan pendidikan.

Afnawi menilai komitmen pemerintah kelewat kecil dalam merampungkan masalah ini. Afnawi menunjuk banyaknya bentrokan fisik yang dialami anggotanya. Menurut koordinator wilayah Medan, Efendi Albanjari, sejak tahun 2000 terjadi sedikitnya enam kali bentrokan di wilayahnya dengan pangkal masalah tanah ini. Namun, bentrokan semacam itu, ujarnya, tak membuatnya mundur. ”Sampai kapan pun, asal tanah ini tidak berubah menjadi laut,” kata Afnawi, yang mengaku pernah masuk penjara dan berpuluh kali diperiksa polisi berkaitan dengan soal tanah sejak menjadi Ketua Umum BPRPI 20 tahun lalu.

Menurut Sekretaris Pelaksana Aliansi Masyarakat Adat Nasional (Aman), Emil Kleden, konflik tanah di daerah ini muncul setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Saat itu pemerintah mengambil dan menjadikannya sebagai tanah negara. Ini tak hanya di Sumatera Utara, tapi juga di banyak wilayah Indonesia lainnya. Menurut Emil, lahan itu memang bisa menjadi tanah negara jika tidak ada alas hak dari tanah tersebut. “Hanya, dalam kasus-kasus tanah BPRPI, ada alas hak di dalamnya,” ujarnya.

Di mata pakar pertanahan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Suyitno, maraknya kasus pertanahan sekarang ini tak lepas dari terbukanya keran demokrasi. ”Ini yang memicu keberanian masyarakat untuk menuntut tanah yang mereka anggap milik mereka,” ujarnya. Dan menurut Suyitno, ini hal wajar. ”Apalagi, Undang-Undang Pokok Agraria juga mengakui adanya hak kepemilikan adat,” katanya kepada wartawan Tempo Heru Nugroho.

Bagaimana supaya konflik semacam ini pupus? Suyitno menunjuk bola itu ada di tangan pemerintah. ”Beri kesempatan masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanahnya dan tidak mengusir begitu saja,” ujarnya. Adapun Emil meminta aturan pertanahan dibenahi. ”Dilakukan harmonisasi semua peraturan perundangan yang bersentuhan dengan pertanahan,” ujarnya. Selama ini tak dibenahi, ujar kedua orang itu, konflik tanah adat terus muncul, kecuali ya itu tadi, kalau tanah musnah menjadi laut.

Abdul Manan, Bambang S., Hambali B

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus