Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dwiki Darmawan telah berdamai dengan dirinya sendiri. Dulu, pemusik kondang sekaligus pengelola sekolah musik itu sering tak sabaran dan pemarah. Bila menghadapi suatu persoalan, lelaki 39 tahun ini selalu mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Lantaran kurang mendalami masalah secara matang, jangan heran bila keputusannya sering kali keliru.
Kini dia lebih sabar dan bijaksana dalam menghadapi masalah. ”Sekarang saya merasa lebih mature dalam arti yang sebenarnya,” ujar pemilik Sekolah Musik Farabi itu.
Perubahan perilaku Dwiki juga dirasakan oleh Ita Purnamasari, sang istri. Ita merasa suaminya kini lebih bisa memahami dirinya. Dulu, Ita tak pernah dimintai pendapat bila Dwiki hendak memutuskan suatu persoalan. ”Sekarang dia selalu mengajak saya bicara,” katanya dengan wajah berbinar.
Kehidupan beragama dalam keluarga pun terasa lebih menyenangkan. Dwiki kini lebih dewasa dan selalu membimbing Ita untuk beribadah. Dalam bekerja pun ia menjadi lebih tegas. Jika ada karyawan yang tak disiplin, Dwiki tak segan menegur. ”Tapi ia sendiri memberi contoh bagaimana bekerja secara disiplin kepada karyawan,” ujar ibu satu anak itu. Teladan itu membuat karyawan menjadi segan sehingga etos kerja mereka berubah.
Perubahan karakter Dwiki bermula dari dua buah buku karangan Ary Ginanjar berjudul Rahasia Sukses Membangun ESQ dan ESQ Power. Seusai membaca, dan tertarik dengan isinya, ia memutuskan mengikuti pelatihan emotional and spiritual quotient (ESQ) alias kecerdasan emosional dan spiritual, yang diselenggarakan di Jakarta awal tahun ini.
Dalam pelatihan, peserta antara lain diajak menonton film tentang alam, bulan, matahari, dan bintang. Setelah itu mereka diajak memahami siapa pencipta alam semesta. Siapa saya? Saya ini mau ke mana? Apa sesungguhnya tujuan hidup tertinggi? Apa makna hidup tertinggi?
Metode pelatihan itu merupakan temuan Ary Ginanjar untuk mengasah kecerdasan spiritual. Ary, yang memiliki perusahaan asuransi, tergerak melatih kecerdasan spiritual setelah mengetahui kecerdasan tersebut punya peran besar dalam kehidupan manusia.
Sementara itu, kecerdasan intelektual (intellectual quotient/IQ), yang diajarkan di sekolah, ternyata paling tinggi hanya berperan 20 persen dalam kehidupan manusia. Bahkan rata-rata hanya memiliki peran 6 persen.
Apalagi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional (emotional quotient/EQ) lebih diarahkan pada materialisme. Semata untuk kepentingan kekuasaan dan kehidupan di dunia, sehingga membuat manusia menjadi tamak. ”Manusia menjadi kering dan hampa,” ujar Ary.
Sebaliknya, kecerdasan spiritual membuat manusia lebih peka membedakan yang benar dan yang salah. Tak salah bila pelatihan ini cocok untuk membantu upaya pemberantasan korupsi. Mau bukti? Tengoklah perubahan perilaku Arifudin. Setelah mengikuti pelatihan, karyawan swasta di Makassar, Sulawesi Selatan, itu mengembalikan rumah seharga Rp 30 juta kepada perusahaan tempatnya bekerja. ”Harta itu saya dapat dari hasil kerja manipulatif,” ujarnya.
Sebagai staf operasional di bidang ekspor dan impor, Arifudin sehari-hari mengurus barang milik klien. Atas jasanya itu, klien biasanya memberi sejumlah uang. Di sini ia kerap bermain ”kotor”. Misalnya, bila klien memberi Rp 8 juta, ia hanya menyetor Rp 3 juta ke kantor. Di waktu lain, Arifudin sebetulnya cuma memakai uang perusahaan Rp 3 juta, tapi dalam pertanggungjawaban ia meminta klaim Rp 5 juta. ”Waktu itu saya sering memanipulasi laporan,” katanya.
Dari praktek batil itulah Arifudin membeli rumah. Nah, setelah mengikuti pelatihan kecerdasan spiritual, bapak tiga anak itu menghadap bosnya dan menyerahkan rumah tersebut ke perusahaan. Ia bergeming kendati pimpinannya menyatakan rumah itu boleh menjadi miliknya. ”Saya tak tenang dengan harta yang didapat dengan jalan curang,” ujarnya.
Kematangan dan kemampuan lebih besar dalam memahami orang lain juga dirasakan bekas model Lulu Dewayanti. Presiden Direktur Look Model Agency itu kini lebih bijaksana. Bila melihat ada stafnya yang melakukan kesalahan, itu berarti ada yang salah dalam dirinya sendiri. Bisa saja dalam memberikan informasi tidak rinci atau tak melihat kapasitas orang tersebut. ”Jadi, kita harus refleksi,” katanya.
Lulu juga merasa lebih dekat pada Tuhan. Jika ada orang yang berbuat jahat kepadanya, ia cukup tahu saja, tapi tak akan membalas. Ia lebih bisa berpikir positif, membuka pikiran, dan lebih bisa mendengarkan orang sehingga menjadi lebih bijaksana dalam mengambil tindakan.
Berbeda dengan Dwiki, Lulu tak berlatih kecerdasan spiritual, melainkan mengikuti program pelatihan manajemen pribadi di Asia Works. Setelah mengikuti pelatihan tujuh tahun lalu itu, ia merasa kekuatannya ada pada kepercayaan diri. ”Bukan secara fisik, tapi eksistensi diri,” tuturnya.
Di sana ia belajar bahwa keberadaannya di dunia ini untuk membuat perbedaan. Dalam salah satu kelas yang diikutinya, sebelum lulus pun harus praktek membuat sesuatu untuk dunia. Ketika itu ia bersama kelompoknya mengunjungi panti asuhan anak-anak tunarungu yang kondisinya menyedihkan. ”Kita semua menangis,” katanya.
Anak-anak itu tak pernah keluar dari lingkungannya dan belum pernah ke kebun binatang. Lulu dan kelompoknya serta-merta membuat kebun binatang kecil. Mereka mendatangkan kuda poni, burung kakak-tua, kelinci, dan binatang lain. Tak lupa ia ikut membersihkan dan membenahi ruangan panti asuhan. ”Meski cuma sehari, dampaknya besar,” katanya.
Kelompok lainnya ada yang memperbaiki sekolah di tempat pembuangan sampah Bantar Gebang, Bekasi. Ada lagi yang membuat hiburan untuk pasien anak-anak pengidap kanker. Yang lain menyelenggarakan pengobatan gratis bagi ibu hamil dan sebagainya. ”Itu positif sekali. Di situ kita diajari agar memiliki empati yang besar,” ujar Lulu.
Pelajaran lain yang berkesan adalah ketika dilatih bagaimana melewati masa lalu. Terkadang orang tak bisa maju karena kendala masa lalunya. ”Mereka harus mampu breakthrough,” katanya. Ia pun teringat masa lalunya ketika tak bisa kuliah di Universitas Trisakti.
Lulu ingin kuliah di sana karena seusai lulus sekolah menengah atas ia tak diterima masuk Universitas Indonesia dan Universitas Parahyangan, Bandung. Padahal dua orang kakaknya lulusan kedua universitas itu. Namun, keinginan tersebut tak tercapai karena kondisi keuangan orang tuanya sedang megap-megap.
”Aku nyalahin orang tuaku, kenapa aku enggak bisa masuk Trisakti,” ujarnya. Alhasil, selepas SMA ia terpaksa bekerja. Mula-mula menjadi model dan presenter, lalu membuka perusahaan. Toh, kegagalan masa silam kerap masih membayangi. ”Kadang masa lalu itu masih ada,” katanya.
Dalam pelatihan di Asia Works, Lulu disuruh banyak berpikir dan praktek. Hingga akhirnya ia sadar kegagalannya kuliah di Universitas Trisakti bukan kesalahan orang tuanya. Ia melihat ke dirinya sendiri, kenapa tidak lulus ujian masuk ke Universitas Indonesia. ”Itu bukan kesalahan orang tua, tapi gue kurang giat belajar,” katanya.
Perubahan menjadi pribadi yang lebih baik juga dirasakan Loemongga, bekas model lainnya. Ketertarikannya mengikuti pelatihan terbit setelah melihat perubahan yang bagus pada beberapa temannya. Mereka yang semula manja menjadi lebih mandiri seusai mengikuti pelatihan.
Di sana ia diajari bagaimana mengenal diri, berikut kelemahan dan kekuatannya. Kemudian bagaimana keluar dari kelemahan tersebut. Selanjutnya, dalam program yang lain ia diminta menetapkan tujuan hidup.
Setelah mengikuti pelatihan, Loemongga merasa pola pikirnya berubah. Semula ia cenderung menyalahkan orang lain jika mengalami kejadian yang tak menyenangkan. Kini ia lebih bisa mengoreksi diri sendiri, tak gampang menyalahkan orang lain. ”Sekarang saya lebih percaya diri, bertanggung jawab, menghargai orang,” kata Presiden Direktur Asiana Lintas Cipta itu.
Dalam memimpin perusahaan, Loemongga juga merasa menjadi lebih fokus. Ia tak lagi gamang dalam mengambil keputusan. ”Jadi lebih berani,” ujarnya. Begitupun, Lulu mengakui bukan cuma Asia Works yang membuatnya berubah. Banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi, misalnya lingkungan, teman-teman, maupun buku bacaan.
Nugroho Dewanto, Lis Yuliawati, Eni Saeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo