YANG sudah-sudah diskusi hasil-hasil perlombaan penulisan naskah
drama yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta
dilaksanakan sesudah kerepotan Festival Teater Remaja.
Naskah-naskah tersebut yang sekaligus dijadikan naskah wajib
dalam tingkat final, seyogyanya hendak dibeberkan oleh fihak
penelaah untuk dihadapkan pada para pemain dan sutradara yang
mengerjakannya di atas pementasan. Hasilnya diharapkan menjadi
bagian dari peristiwa teater yang menghasilkan dokumen-dokumen
tahunan. Tetapi ternyata kemudian bahwa minat dari para pengikut
festival untuk berdiskusi kurang sekali. Meskipun mereka suka
juga hadir tetapi mereka lebih suka diam. Salah seorang malah
berkata: "Bagi saya diskusi tidak penting, yang penting adalah
pementasan". Akibatnya setiap, diskusi hanya merupakan medan
bagi mereka yang biasa ngomong dan ternyata orangnya itu-itu
juga.
27 Nopember yang lalu diskusi tersebut diubah: diadakan
menjelang festival. Rupanya ada kandungan maksud untuk memancing
orang bicara, karena para pengikut festival mungkin butuh
informasi untuk penggarapan yang sedang dipersiapkannya. Dalam
kesempatan ini Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad telah
membacakan kertas kerjanya yang meneliti naskah itu baik secara
umum maupun satu per satu. Sejumlah besar remaja, para pengikut
festival muncul dan mendengarkan dengan tertib kedua pembicara.
Tetapi sampai pada kesempatan diskusi, tak terkabul harapan
tercapainya dialog timbal balik. Malahan seorang dari yang hadir
menyatakan keheranannya kenapa diskusi diadakan sebelum
festival. "Kan hal tersebut bisa mempengaruhi nanti penggarapan
mereka, padahal mereka diharapkan tidak hanya menyusu tapi
mencari sendiri?" tanyanya.
Tak Peduli
Wahyu Sihombing moderator dan juga anggota Dewan Pekerja Harian
DKJ menjelaskan bahwa diskusi tersebut diadakan dengan alasan
yang sangat praktis, yakni menolong memberikan informasi untuk
memudahkan para pengikut festival bekerja. Sama sekali tidak
dimaksudkan untuk harus diikuti. "Setiap grup masih tetap bebas
untuk melakukan penafsiran", kata Hombing. Dijelaskan pula bahwa
diskusi yang dilakukan sesudah festival dianggap tidak mencapai
maksudnya. "Kalau sekarang juga kurang efektif nanti akan
dilakukan 2 bulan sebelum festival kalau itu juga tidak efektif
mungkin tidak usah ada diskusi", katanya.
Lalu muncul pula salah seorang sutradara remaja yang menyatakan
betapa perlunya diskusi. "Tidak begitu soal apa diskusi diadakan
sesudah atau sebelum pementasan. Yang penting bahwa diskusi itu
perlu sekali", katanya. Sementara itu Ikranagara dari Teater
Saja menyokong diadakannya diskusi sebelum festival, hanya saja
ia mengeluh karena kertas kerja baru dibagikan pagi itu juga.
"Kebanyakan yang hadir diam karena belum siap untuk bicara",
kata Ikra. Ia juga mengusulkan agar lembaga diskusi dikukuhkan
dan diperluas menjadi diskusi di mana pengarang-pengarang naskah
juga diajak untuk berbicara.
"Kenapa mereka tidak terlibat untuk bicara, apakah mereka segan
atau tidak peduli", tanya salah seorang yang hadir setelah
kerepotan yang memakan waktu 3 jam itu berakhir. Ada beberapa
kemungkinan untuk jawaban pertanyaan tersebut. Mungkin karena
telaah yang dilakukan lebih bersifat telaah sastra yang pasti
akan memikat perhatian pengarang-pengarang atau pembaca naskah
sandiwara. Sedangkan yang hadir kebanyakan sutradara dan para
pemain yang perhatiannya tertuju bagaimana mengangkat naskah
itu dalam pementasan khususnya ke Teater Tertutup dan Teater
Arena - sesuai dengan undian yang ada di tangan mereka atau
mungkin juga karena belum biasa dengan lembaga diskusi,
meskipun banyak yang hendak mereka tentang atau usulkan atau
setujui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini