Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Matinya willy

Karya: arthur miller terjemahan: titiek maliyati ws sutradara: w sihombing. (ter)

11 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naskah: Arthur Miller Terjemahan: Tatiek Maliyati WS Sutradara: W. Sihombing Produksi: Teater Lembaga. *** WILLY Loman (Bambang S. Santoso), seorang pedagang keliling, menemukan kebrengsekan hidupnya tatkala ia mulai tua dan terhimpit oleh impian-impian besar pada masa lalu. Cita-citanya untuk menjadi seorang pedagang yang kaya, hanya sampai pada kenyataan yang pahit. Usia tua menyebabkan ia tidak sukses lagi di antara langganan-langganan barunya--setelan langganan-langganannya yang lama pensiun atau mati. Hasil yang terbesar dalam kariernya barangkali adalah karena dia berhasil menjadi seorang tukang mimpi di samping mencicil rumah yang ditempatinya. Kemajuan tata kota tiba-tiba membuat lingkungan n1mah itu tidak menyenangkan lagi untuk ditempati. Pada setiap kesempatan Willy selalu menyesali dirinya kenapa tidak memenuhi ajakan abangnya Ben (Ruslan Umbaran) untuk membuka daerah baru di Alaska dan menjadi kaya. Ben yang sukses itu selau muncul pada saat ia menyesali kenyataan. Terlebih-lebih karena orang yang dipujanya itu mati terlalu cepat. Pelacur Kesalahan Willy yang lain adalah karena dia memuja anak sulungnya Biff (Gandung Bondowoso) sehingga anak itu sendiri tidak pernah siap untuk memasuki kehidupan. Sementara rekan bermainnya Bernard (Suwanto Erlangga) kemudian berhasil menjadi seorang pengacara, Biff masih mencari-cari dirinya dan hanya berhasil sampai pada kesimpulan bahwa ia seorang kleptomania. Pada akhirnya kepada keluarganya ia harus mengakui segala kebohongan yang pernah dilakukannya, karena kebiasaan sejak kecil dalam keluarga itu untuk berbicara tentang impian-impian besar, bukannya kenyataan. Sebelum pergi dari rumahnya kembali, setelah ia mencuri pulpen dari seorang kaya yang semula diharapkannya memberi pinjaman duit, ia mengakui bahwa pengembaraannya yang lalu bukan pengembaraan mencari nafkah, tetapi dia telah disekap dalam penjara karena mencuri pakaian. Happy (Eddy de Rounde) adik Biff juga tak dapat memenuhi lamunan bapaknya (dan lamunannya sendiri) untuk menjadi pedagang besar. Ia memang selalu mempunyai usul-usul yang besar. Tetapi anak muda inipun seorang tukang mimpi kelas kakap yang sudah rela menipu dirinya sendiri dalam pekerjaan dengan alasan untuk sedikit memberikan hiburan pada harapan-harapan bapaknya. Dengan berbohong tentang kedudukannya dalam perusahaan, ia pun tak pernah bisa dekat dengan Willy, karena orang tua itu lebih menganggapnya seorang pemalas daripada seorang yang malang. Dua kakak beradik Happy dan Biff ini menjelang akhir kisah diusir oleh Linda sang ibu (Ennie A Yusuf) karena dianggapnya hanya tambah merusakkan Willy yang lebih dicintainya dari apa saja di atas dunia. Dia tidak pernah tahu bahwa Willy pada suatu saat pernah kepergok oleh Biff di Boston bersama-sama seorang pelacur (Lena Simanjuntak) Kejadian tersebutlah yang awalnya mematahkan semangat Biff untuk meneruskan pelajarannya ke Universitas. Karena anak itu begitu terpukul melihat kenyataan orang yang dipuja-pujanya itu. Kocak Sementara itu muncul pula tokoh Charley (Budi Setiawan), ayah Bernard Ia orang yang kasar kocak tetapi baik hati. Tokoh yang lebih sederhana dan tidak pernah bermimpi, sebagai warga yang diperlukan oleh sebuah kota besar. Dia menempuh kehidupan dengan mata terbuka dan berhasil seringkali menolong Willy pada saat orang tua itu dipecat oleh majikannya Howard Wagner (Afrizal Anoda) juga potret seorang pekerja yang sibuk. Willy pada akhirnya tak dapat menguasai dirinya kembali. Ia mulai mencoba untuk membunuh diri dan menyimpan sebuah pipa dalam gudang yang kiranya hendak dipergunakannya untuk menghirup gas manakala diperlukan. Dengan cara mati tabrakan ia boleh mendatangkan duit tiba-tiba dari uang asuransi jiwanya. Tetapi Linda memberitahukan bahwa perusahaan asuransi sudah mendapat bukti-bukti bahwa ia melakukan hal tersebut dengan sengaja. Tatkala pada akhirnya Willy membunuh diri dengan melarikan mobilnya secara ngawur - puncak dari segalanya adalah tangis keluarga itu di atas nisan. Tak seorang pun sahabatnya datang. Lalu orang boleh teringat pada apa yang dikatakan Biff: "Willy adalah orang yang tak pernah tahu siapa dia darl yang telah membiarkan dirinya dimakan oleh impian-impian yang mustahil". Naskah Arthur Miller yang terkemuka dalam khazanah pentas Amerika ini memakan waktu lebih dari 4 jam Di bawah tangan sutradara Sihombing, para mahasiswa Akademi Teater LPKI mencoba menampilkannya di Teater Tertutup TIM untuk lima malam pertunjukan (mulai 27 Nopember). Dengan penggarapan yang tak tanggung-tanggung pada set -- untuk ukuran pementasan di TIM pada masa ini -- Sihombing telah menunjukkan kerjanya yang lama dipersiapkan dan bernafsu. Tidak saja panggung dibuat menjadi interior rumah Willy yang berloteng, tapi juga bahagian depan panggung yang bolong ditutupi dengan level dan dipergunakan untuk melangsungkan adegan-adegan flash back. Sebagaimana diketahui Arthur Miller pernah membawa udara segar dalam struktur penulisan naskah (pada masa itu) dengan caranya yang lincah menyusun adegan-adegan, sehingga bingkai pentas menjadi dinamis dalam dimensi waktu. Kadang-kadang ada adegan yang saling menumpuk antara kenangan Willy pada Ben, dengan masa kininya di mana ia sedang main kartu dengan Charley. Apalagi sandiwara ini dimulai dengan suasana yang sudah memuncak, tatkala Willy sudah mulai kehilangan akal menghadapi kebangkrutannya. Sebuah tragedi rumah tangga kecil yang hendak dikemukakan oleh Arthur Miller ditangkap dengan baik oleh Hombing yang kelihatan menguasai seluruh permainan para mahasiswanya. Dibandingkan dengan penampilannya dahulu dalam Musuh Masyarakat, yang hanya menonjolkan target membuat tempo permainan ketat, Hombing kali ini lebih berhasil. Seluruh pemainnya tergarap merata dengan kasting yang tepat, sehingga ada terasa suasana kompak yang mengalir dalam seluruh pertunjukan. Warna dari masing-masing pemain dibiarkan pula muncul, sehingga kita tidak terpaksa melihat robot-robot. Meskipun panggung selalu sibuk dengan perang mulut, toh beberapa adegan sempat ditahan menjadi hening, sementara pemain Budi Setiawan yang kocak dan potensiil berhasil memberikan humor-humor yang segar. Suka Mengeluh Bambang B. Santoso sebagai Willy di samping memperlihatkan ketekunan bermain mungkin mengalami keraguan apakah dia harus memainkan Willy orang Amerika atau Willy pribumi. Keraguan yang ternyata tidak diselesaikan oleh Hombing, tetapi diserahkan pada para pemainnya sendiri. Di sini terjadi ketidak seragaman yang membuat suasana tidak tergarap dengan teliti, sehingga akibatnya yang lain adalah kekurang intiman dari pemainnya sendiri pada "warna" tokoh-tokoh itu. Hal ini selalu tidak dilewatkan oleh seorang Teguh Karya misalnya. Mungkin sekali Hombing mengabaikan "warna" ini karena menganggapnya tidak begitu perlu. Tetapi konsekwensinya kemudian adalah bahwa kedua pemain wanitanya sebagai misal, Ennie A. Yusuf (Linda) dan Lena Simanjuntak (pelacurl tak sempat hadir dengan "akar" hidup tokoh yang hendak diungkapkannya. Ennie misalnya hanya menunggu, meskipun ia telah bermain dengan sungguh-sungguh serta memiliki stamina dan ekspresi yang baik. Artinya ia hanya hidup pada saat berdialog, selepasnya tak ada kehidupan lagi, sehingga terasa juga ada suasana untuk lebih banyak menyelamatkan plot cerita bukan penampilan karakter padahal ini drama kejiwaan. Ini pula yang menyebabkan secara psikologis beberapa dialog yang kesleo dari mulut beberapa pemain cepat-cepat diralat oleh pemainnya dengan pengucapan yang benar - hal mana seharusnya bisa dilaksanakan dengan cara yang lebih pintar manakala ada "akar" kehidupan peran sesudahnya berdialog. Sebaliknya tokoh Biff misalnya yang disampaikan oleh Gandung kadangkala menjadi terlalu dramatik karena perhatiannya hanya tertuju pada analisa karakter yang pas, sementara Eddy (Happy) berusaha bermain dengan wajar dan manis seringkali tersipu-sipu sendiri. andung yang berusaha memberikan analisa yang baik pada tokohnya jadi terlibat lebih banyak pada soal penyampaian analisa itu secara fisik. Ini menyebabkan permainannya menjadi kering. Tapi terlepas dari ini, Hombing telah memimpin anak buahnya dengan baik, kendatipun pada malam ke-3 petugas lampu sering ngawur. Yang agak mengherankan adalah penonton. Kalau sering kita dengar pertunjukan kontemporer alias absurd alias yang mengada-ada alias yang eksperimen atau apa saja namanya kekurangan penonton, mengapa pertunjukan yang realistis semacam ini, dengan tema keluarga yang banyak juga hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di Jakarta mesti kekurangan penonton juga? Barangkali publikasi kurang. Atau memang orang suka mengeluh sekarang. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus