Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia seorang pelukis, juga penyair. Lukisan-lukisannya berbicara tentang awan dan kabut yang mendampingi terjal gunung, puncak yang hanya bisa dijangkau burung-burung, gunung biru yang sunyi, percakapan gaib di antara hutan, batu, sungai dan awan, dan masih banyak lagi.
Pelukis Sidik W. Martowijoyo memang tak bisa menampik apa yang telah tertanam di dalam dirinya: sebuah ”doktrin” yang tak membedakan dunia seni rupa dengan seni sastra. Ya, dalam lukisan Cina klasik, selalu ada sebait puisi dalam kaligrafi yang tersusun vertikal, di samping stempel merah, tanda tangan sang pelukis. Di atas kertas xuan, kertas khusus lukisan Cina klasik, Sidik, yang lahir pada 1937 dengan nama Ma Yung Qiang, menorehkan gambar bunga, ayam, gunung, awan, air terjun.
Dalam pameran tunggalnya yang baru saja selesai akhir pekan lalu di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta, kita bisa menangkap dua gejala: kegigihan Sidik mempertahankan bentuk klasik, plus inovasinya dengan warna dan bentuk. Sidik memang pelukis yang telah berjalan jauh. Kepada Tempo ia mengisahkan perjalanan seninya yang disertai satu interupsi panjang, 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, manakala segenap ekspresi budaya Cina dilarang.
Sidik mulai melukis kaligrafi dan klasik Cina sejak usia 9 tahun. Sewaktu rekan-rekan sesama pelukis Cina klasik berbondong-bondong meninggalkan dunia itu, Sidik tetap berlatih kaligrafi dan menulis puisi pada karton-karton seukuran kartu nama. Pada masa itu kertas xuan menghilang dari pasar, dan rekan-rekan seprofesi mengadopsi gaya barat, sekadar menjadi tukang gambar, bahkan menjadi pengusaha roti. Lee Manfong dan Lim Wamim, dua pelukis Bung Karno, tiarap, menyamarkan gaya Cina klasik mereka. ”Saya sungguh merasa sedih,” kata Sidik.
Kini, setelah pemerintahan Soeharto berakhir, Sidik memperlihatkan hasil kerja kerasnya. Ada ”Sidik muda” yang melukis ayam, ikan maskoki, gunung, dengan tinta. Sebagaimana lukisan klasik Cina, ia memindahkan obyekobyek alam itu ke dalam kertas 5 x 2 meter, dengan jarak, dengan pandangan dan ”kedinginan” seorang pelukis klasik. Sebaliknya, ”Sidik tua”. Obyeknya masih gunung, namun kali ini jarak antara si pelukis dengan obyekobyeknya seolah-olah semakin pendek. Ia mendekati obyek, menangkap kehangatan, dinamika, baik warna maupun bentuk, di dalamnya.
Di lain pihak, perlahan-lahan lukisan-lukisan klasik itu mulai menjadi abstrak. Ia masih menggunakan sapuan pit (brush stroke), kendati telah mengganti tinta satu warna dengan cat air warna-warni. Pit adalah semacam kuas yang ujungnya terbuat dari bulu binatang. Pada lukisan-lukisan Sidik, kita masih bisa mengenali gunung sebagai gunung, langit sebagai langit, rumah sebagai rumah. Pria yang kini tinggal di Yogyakarta ini memang masih sering menyerap inspirasi dari para empu lukisan klasik. Ia rajin mengunjungi Cina, mendatangi museum-museum di sana untuk menangkap energi para maestro seperti Qi Baishi, Chang Daqian, dan Xu Beihong. Hingga kini, Sidik juga berdiskusi dengan para pelukis klasik Cina yang masih hidup.
Sidik tak pernah meninggalkan cara-cara klasik. ”Ia boleh menjadi modern, menjadi kontemporer, tapi tidak menghapus hakikat Chinese painting,” demikian komentar Eddy Soetriyono, kurator, kritikus seni rupa. Dan itu menuntut penguasaan teknik yang tinggi. Pertama, sifat kertas xuan yang mudah menyerap cairan. Dengan warna cat air, bukan cat minyak, merajut warna-warna di atas xuan, harus spontan. Pit, sebagai alat pemulas cat air di atas kertas xuan, sangat peka merekam spontanitas si pelukis. Karena warna, setipis apa pun, terekam apa adanya, tanpa rekayasa. Berbeda dengan cat minyak dengan kuas dan kanvas yang memungkinkan pelapisan warna.
Ya, melukis dengan pit, dengan cat air di atas kertas xuan, adalah pekerjaan sekali jadi. ”Tak bisa ditinggal sebelum selesai,” kata Sidik. ”Saya butuh seharian tanpa jeda, bahkan untuk makan dan ke belakang.” Ditambah lagi, sebelum melukis, Sidik harus mampu mengumpulkan konsentrasi dan energi penuh. Untuk itu, ia bermeditasi.
Sidik memang tidak pernah melepaskan unsur perenungan dalam keheningan sebagai bagian dari penciptaan lukisannya. Melukis alam yang mahaluas misalnya, bagi Sidik adalah menggambarkan ciptaan yang Zat, Yang Mahakuasa. Untuk itulah kemudian lahir bentukan lukisan yang abstrak. ”Karena alam pada hakikatnya abstrak, Tuhan mencipta tanpa perlu blue print. Yang penting rasanya, esensinya,” tutur Sidik.
Nah, selain persyaratan dasar yang sulit itu, Sidik dinilai berhasil menemukan gaya lukis sendiri. Helena Spanjaard, doktor ahli sejarah seni yang tinggal di Amsterdam, Belanda, pernah diundang ke studio lukis Sidik di Yogyakarta. Spanjaard terperangah dengan cara Sidik melukis menggunakan pit raksasa, yang dicelupkan ke beberapa warna cat air sekaligus, lalu digoreskan pada kertas yang lebar secara intensif dan cepat. Geliat pit mengikuti standar kualifikasi lukisan Cina klasik, yaitu cunfa (garis dan tekstur), dianfra (pembuatan titik-titik) dan ranfa (penempatan warna). ”Tapi cara Sidik tersebut adalah temuannya sendiri dan merupakan sumbangan untuk teknik melukis Cina tradisional,” tulis Spanjaard.
Perjalanan Sidik dari kaligrafi, bunga peoni, ke lukisan alam yang abstrak, adalah perpaduan gaya Cina klasik dengan perjalanannya sendiri. Ya, ia tak meninggalkan pakem yang dipakai sejak Dinasti Song (960-1279), perpaduan seni lukis dengan seni tulis, seni sastra dengan seni rupa, seni dengan filsafat.
Hasilnya, lukisan-lukisan karya pria ramah dan banyak tawa ini berhasil memperoleh penghargaan Lukisan Cina Mutu Terbaik dalam Kompetisi Seni Lukis dan Kaligrafi Cina Sedunia di Beijing (2001) dan Nanjing (2002). Pada 2006, Sidik mendapat kesempatan berpameran tunggal di tempat yang sangat prestisius, Galeri Nasional Cina.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo