Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Asal Usul Julukan Paus Sastra Indonesia Kepada HB Jassin

Kritikus sastra HB Jassin wafat pada 11 Maret 2000. Mendapat julukan paus sastra Indonesia ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

11 Maret 2021 | 16.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hans Bague Jassin atau lebih kita kenal dengan nama HB Jassin wafat pada 11 Maret 2000 dalam usia 83 tahun.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

H.B Jassin lahir di Gorontalo, Sulawesi Selatan pada 13 Juli 1917. Ia dikenal sebagai seorang kritikus dan dokumentasi sastra Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena reputasinya, HB Jassin dijuluki Paus Sastra Indonesia. Bukan tanpa alasan, julukan ini diberikan karena jasanya sebagai kritikus dan esais termasyhur di Indonesia. Julukan ini diperkuat dengan dengan banyaknya tulisan H.B. Jassin yang berupa kritik dan esai di berbagai media massa cetak.

Di dalam Buku H.B Jassin Perawat Sastra Indonesia disebutkan bahwa sebenarnya Paus Sastra bukan merupakan julukan pujian, melainkan ejekan. Gayus Siagian kesal karena Jassin seperti Paus yang pemimpin tertinggi umat Katolik di seluruh dunia. Di mana, semua umat Katolik pasti akan mendengar dan menuruti perkataannya. Dalam perayaan Paskah dan Natal, misalnya, khotbah Paus pun dinanti-nanti.

Di dalam ulasannya, Jassin sering menyebut-nyebut karya dan penulis yang pantas untuk diperhitungkan. Apabila ada karya pengarang baru yang diulas dan dinyatakan baik oleh Jassin, semua orang akan mengamininya. Itulah mengapa Jassin dikatakan layaknya Paus di Vatikan.

Ia mulai menulis resensi sastra saat bersekolah di Sekolah Hollandsch-Inlandsche di Gorontalo. Sekolah ini merupakan sekolah bahasa Belanda untuk orang Indonesia asli. Di sinilah Jassin mulai banyak membaca.

Jassin pindah ke Medan mengikuti keluarganya. Di Medan pulalah jassin berkenalan dengan Chairil Anwar.

Usai menyelesaikan studinya di HBS Medan, ia kembali ke Gorontalo. Sebelum itu, ia singgah ke Jakarta menemui Sutan Takdir Alisjahbana. Sutan Takdir ialah pengarang terkenal yang bekerja di Balai Pustaka, penerbit dan percetakan yang didirikan oleh Belanda. Mereka berdiskusi soal kesusastraan, bahasa, kebudayaan, dan sebagainya. Sesampainya di Gorontalo, Jassin bekerja di kantor warga setempat tanpa dibayar.

Tak lama, Sutan Takdir menawari Jassin bekerja sebagai Redaktur Buku di Balai Pustaka. Sutan Takdir selaku Direktur Eksekutif terkesan dengan Jassin. Di dalam buku berjudul H.B Jassin Perawat sastra Indonesia, Sutan Takdir mengatakan bahwa orang sepintar Jassin pasti akan berguna untuk Balai Pustaka.

Namun, Jassin rupanya tidak langsung menerima tawaran tersebut, karena ayahnya memintanya untuk bekerja di Gorontalo saja. Akhirnya Jassin bekerja sebagai tenaga sukarela di Kantor Asisten Residen.

Jassin hanya bertahan 5 bulan. Setelah itu, ayahnya membolehkan Jassin untuk pergi ke Jakarta pada 1940. Di Balai Pustaka, Jassin bertugas membuat ulasan buku-buku sastra.

Di Balai Pustaka, Jassin bekerja sampai tahun 1947. Ia tetap memilih bekerja di lingkungan majalah kesusastraan dan kebudayaan. Di antaranya ada Mimbar Indonesia (1947—1966), Zenith (1951—1954), Bahasa dan Budaya (1952—1963, Kisah (1953—1956), Seni (1955), Sastra (1961—1969), dan Horison (1966--2000).

Pada tahun 1953, Jassin mengajar di Fakultas Sastra UI. Karena saat itu Jassin belum bergelar sarjana, ia diminta untuk berkuliah juga di fakultas itu. Jadi, ia menjadi dosen sekaligus mahasiswa di Fakultas Sastra UI. Pada tahun 1957, ia lulus. Ia terbang ke Amerika Serikat untuk memperdalam ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale. Sepulang dari Amerika Serikat pada 1959, Jassin sempat berhenti mengajar dan kembali mengajar dua tahun kemudian. Jassin kembali berhenti dari Fakultas Sastra pada tahun 1964.

Berbekal pengetahuannya soal gaya menulis banyak pengarang, Jassin mengelompokkan pengarang-pengarang Indonesia ke dalam angkatan-angkatan. Ada Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66. Angkatan Pujangga Baru meliputi pengarang dan penyair yang karyanya terbit sebelum Indonesia merdeka, yang kebanyakan terbit di majalah.

Lalu Angkatan 45 meliputi pengarang dan penyair yang karyanya muncul antara tahun 1942 sampai tahun 1945. Karya-karya mereka dianggap lebih liar dan lebih berani dibanding angkatan sebelumnya. Sedangkan Angkatan 66 merupakan pengarang atau penyair yang menulis antara tahun 1962 sampai tahun 1968. Umumnya, angkatan ini menyajikan gambaran permusuhan antara kelompok sastrawan pendukung PKI dan penentang PKI.

Antologi ini kemudian disetujui dan diterima banyak orang. Sebab, ketika itu Jassin adalah satu-satunya orang yang menulis kritik sastra secara terus-menerus.

Di antara buku-buku kritik Jassin yang diterbitkan atas inisiatifnya sendiri seperti Angkatan 45 (1951), Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (4 jilid, 1954—1967), Chairil Anwar Pelopor Angkatan ‘45 (1956), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik (1963), dan Heboh Sastra 1968: Sebuah Pertanggungjawaban (1970).

Pada hari ini 21 tahun lalu, tepatnya 11 Maret 2000, Hans Bague Jassin atau HB Jassin wafat dalam usia 83 tahun. Jassin wafat di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kemiliteran.

ANNISA FEBIOL

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus