PENONTON yang memenuhi lebih 3/4 trap tempat duduk, plus kurang
dari separuh kursi di Istora Senayan pada akhir Januari yang
lalu, tiba-tiba bersorak. Di panggung, Rendra dengan mengekap
seekor ayam putih mulus, berjingkrak naik. Kostum yang
dikenakannya jubah abu-abu dengan ikat kepala putih bak kepala
penyamun dalam cerita Ali Baba -- meski tokoh yang dibawakannya
bernama Azdak, juru tulis desa yang suka mencuri ayam dalam
lingkaran Kapur Putihnya Bertolt Brecht.
Tiba-tiba suasana berubah, santai. Diseling tepuk tangan
sedikit. Lesu yang menggantung terusir entah ke mana. Pandangan
mata yang semula melebar menjadi menangkap: ke arah si Azdak, ke
mana pun ia bergerak. Pemain-pemain lain, yang sejak awal memang
telah tidak begitu menarik (baik yang dinamakan akting terlalu
lamban, kaku dan canggung), rupanya ikut juga tertarik kepada si
Azdak ini: mereka lalu hanya menjadi semacam kostum -- menjadi
hanya alat pelengkap untuk tampilnya pemain satu itu.
Saudara pembaca, itu terjadi setelah lebih dari separuh
pertunjukan berlangsung. Cerita telah sampai pada meredanya
pemberontakan di sebuah propinsi negara Kaukasia. Mikael, bayi
raja muda iorgi Abashvilli yang diberontak itu telah menjadi
seorang bocah yang lincah dalam asuhan Grushka (Sitoresmi
Rendra). Grushka ini pelayan istana yang menyelamatkannya.
Penonton rupanya memang menunggu babak itu: bukan karena Azdak
segera menjadi hakim oleh kalutnya suasana, tetapi karena si
Azdak yang Rendra itu. Memang hanya dia -- pemain-pemain lain
tak usah diperhatikan.
Naskah Brecht yang memfokuskan kemenangan kasih sayang atas
cinta kebendaan ini, diperankan oleh si Grushka dan Natella
Abashvilli. Natella adalah isteri raja muda Giorgi yang lalim,
yang terbunuh dalam pemberontakan tersebut. Natella yang lebih
mencintai harta bendanya, ketika pemberontak berhasil masuk
istana meninggalkan begitu saja bayinya -- sedang sejumlah
kekayaannya sempat dibawanya serta. Untunglah Grushka si pelayan
tak sampai hati meninggalkan bayi tersebut-dan menyelamatkannya
dengan menghindar ke desa, ke rumah kakaknya. Di sana ia
dikawinkan dengan seorang yang katanya telah menjelang ajal. Ini
sebenarnya untuk mengusir Grushka dari rumah itu secara halus,
dan juga untuk menyelamatkan status si bayi karena bagi mereka
tak jelas siapa ayahnya. Namun akhirnya Grushka berhasil
melarikan diri dari lelaki yang ternyata rnasih segar-bugar itu
-- dan sempat membesarkan bayi tersebut. Sampai akhirnya mereka
ditemukan oleh orang suruhan Natella yang mencarinya.
Klimaks cerita ini ketika mereka mengajukan masalah siapa
sebenarnya yang berhak atas yang bernama Mikael -- Grushka atau
Natella -- karena masing-masing mengaku sebagai ibu kandung.
Yang diserahi memutuskan perkara adalah si hakim kebetulan,
yaitu Azdak. Nah, di sinilah pertunjukan yang semula seret
jalannya ini, menjadi encer bagai air tumpah dari gelas. Azdak
yang semula diperkenalkan sebagai juru tulis desa yang suka
mencuri ayam, lalu sebagai hakim yang kacau dan kurang ajar,
tiba-tiba saja bijaksana: ia suruh pembantunya membuat lingkaran
kapur di lantai. Lalu dimasukkannya Mikael dengan mata tertutup
ke dalam lingkaran itu. Kemudian dipersilakannya kedua wanita
saling menarik masing-masing satu tangan Mikael. Nah, siapa yang
berhasil menarik Mikael keluar, dialah yang berhak. Grushka,
yang hatinya lembut -- bak sorot lampu pentas karya Rudjito
malam itu -- tentu saja segan menyakiti anak yang disayanginya
ini, meski sebenarnya bukan anak kandungnya. Ia rela Natella
menghakinya, apabila jalan perebutannya begitu menyiksa si
bocah. Azdak memutuskan dengan pasti: Grushka yang berhak atas
Mikael.
Nyinyir Alias Tele-tele
Aha, saudara pembaca. Bila di awal tulisan ini suasana Istora
telah berona dengan hadirnya Rendra, maka perlahan-lahan lesu
dan muram yang telah pergi itu datang kembali. Sampai
pertunjukan selesai. Mungkin sekali suasana loyo itu disebabkan
adegan untuk memperkenalkan cara-cara Azdak memutuskan perkara,
terlalu nyinyir alias tele-tele. Penonton yang semula
bersemangat karena hadirnya Rendra, malah menggerutu oleh
kekenesan pemain satu ini yang begitu jahatnya mengulur-ulur
waktu. Banyak macam perkara, dari petani yang kehilangan
kerbaunya sampai gadis yang diperkosa, disuguhkan. Rasanya tiada
hubungan sama sekali dengan kebulatan keseluruhan, dan lebih
mudah menduganya sebagai "kesenangan Rendra" -- yang memang
makin lama makin "anti padat". Maka konflik yang seharusnya
terjadi dalam diri Grushka, tak begitu terasa. Lalu antiklimaks.
Ketika keputusan dijatuhkan hakim, terasa sebuah bola meluncur
masuk gawang yang tak terjaga: tanpa kejutan. Datar,
sedatar-datarnya.
Itulah kemudian, ketika usai pertunjukan, seorang penonton
menengok arlojinya yang menunjukkan jam 00.45. Terloncar dari
mulut mungilnya: "Astaga! Kurang ajar!" Itu bisa merupakan
pertanda kekaguman. Namun melihat suasana yang begitu lesu,
semestinyalah yang terjadi: mereka merasa hanya memboroskan
waktu untuk menonton sebuah kibul. Ternyata tiada apa-apa yang
istimewa -- kecuali publikasi tentu.
Adapun protes-protes sosial yang disisipkan seperti kebiasaan
Rendra, masih tetap mendapat sambutan yang hangat. Meski terasa
begitu basi, tapi rupanya Rendra memang tahu bahwa yang
dibutuhkan penontonnya sebenarnya memang itu, dan hampir-hampir
bukan kesenian. Coba. Apa tidak risi bila misalnya Rendra
berteriak begini: "Apkah kalau kamu tentara tidak bisa ajak
bicara?" Meski kenyataannya belum tentu tidak benar, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini