Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Astaga! kurang ajar!

Lingkaran kapur putih yang dimainkan rendra, karya bertolt brecht mengecewakan penonton. mereka merasa dikibuli, memboroskan waktu untuk menontonnya. (ter)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENONTON yang memenuhi lebih 3/4 trap tempat duduk, plus kurang dari separuh kursi di Istora Senayan pada akhir Januari yang lalu, tiba-tiba bersorak. Di panggung, Rendra dengan mengekap seekor ayam putih mulus, berjingkrak naik. Kostum yang dikenakannya jubah abu-abu dengan ikat kepala putih bak kepala penyamun dalam cerita Ali Baba -- meski tokoh yang dibawakannya bernama Azdak, juru tulis desa yang suka mencuri ayam dalam lingkaran Kapur Putihnya Bertolt Brecht. Tiba-tiba suasana berubah, santai. Diseling tepuk tangan sedikit. Lesu yang menggantung terusir entah ke mana. Pandangan mata yang semula melebar menjadi menangkap: ke arah si Azdak, ke mana pun ia bergerak. Pemain-pemain lain, yang sejak awal memang telah tidak begitu menarik (baik yang dinamakan akting terlalu lamban, kaku dan canggung), rupanya ikut juga tertarik kepada si Azdak ini: mereka lalu hanya menjadi semacam kostum -- menjadi hanya alat pelengkap untuk tampilnya pemain satu itu. Saudara pembaca, itu terjadi setelah lebih dari separuh pertunjukan berlangsung. Cerita telah sampai pada meredanya pemberontakan di sebuah propinsi negara Kaukasia. Mikael, bayi raja muda iorgi Abashvilli yang diberontak itu telah menjadi seorang bocah yang lincah dalam asuhan Grushka (Sitoresmi Rendra). Grushka ini pelayan istana yang menyelamatkannya. Penonton rupanya memang menunggu babak itu: bukan karena Azdak segera menjadi hakim oleh kalutnya suasana, tetapi karena si Azdak yang Rendra itu. Memang hanya dia -- pemain-pemain lain tak usah diperhatikan. Naskah Brecht yang memfokuskan kemenangan kasih sayang atas cinta kebendaan ini, diperankan oleh si Grushka dan Natella Abashvilli. Natella adalah isteri raja muda Giorgi yang lalim, yang terbunuh dalam pemberontakan tersebut. Natella yang lebih mencintai harta bendanya, ketika pemberontak berhasil masuk istana meninggalkan begitu saja bayinya -- sedang sejumlah kekayaannya sempat dibawanya serta. Untunglah Grushka si pelayan tak sampai hati meninggalkan bayi tersebut-dan menyelamatkannya dengan menghindar ke desa, ke rumah kakaknya. Di sana ia dikawinkan dengan seorang yang katanya telah menjelang ajal. Ini sebenarnya untuk mengusir Grushka dari rumah itu secara halus, dan juga untuk menyelamatkan status si bayi karena bagi mereka tak jelas siapa ayahnya. Namun akhirnya Grushka berhasil melarikan diri dari lelaki yang ternyata rnasih segar-bugar itu -- dan sempat membesarkan bayi tersebut. Sampai akhirnya mereka ditemukan oleh orang suruhan Natella yang mencarinya. Klimaks cerita ini ketika mereka mengajukan masalah siapa sebenarnya yang berhak atas yang bernama Mikael -- Grushka atau Natella -- karena masing-masing mengaku sebagai ibu kandung. Yang diserahi memutuskan perkara adalah si hakim kebetulan, yaitu Azdak. Nah, di sinilah pertunjukan yang semula seret jalannya ini, menjadi encer bagai air tumpah dari gelas. Azdak yang semula diperkenalkan sebagai juru tulis desa yang suka mencuri ayam, lalu sebagai hakim yang kacau dan kurang ajar, tiba-tiba saja bijaksana: ia suruh pembantunya membuat lingkaran kapur di lantai. Lalu dimasukkannya Mikael dengan mata tertutup ke dalam lingkaran itu. Kemudian dipersilakannya kedua wanita saling menarik masing-masing satu tangan Mikael. Nah, siapa yang berhasil menarik Mikael keluar, dialah yang berhak. Grushka, yang hatinya lembut -- bak sorot lampu pentas karya Rudjito malam itu -- tentu saja segan menyakiti anak yang disayanginya ini, meski sebenarnya bukan anak kandungnya. Ia rela Natella menghakinya, apabila jalan perebutannya begitu menyiksa si bocah. Azdak memutuskan dengan pasti: Grushka yang berhak atas Mikael. Nyinyir Alias Tele-tele Aha, saudara pembaca. Bila di awal tulisan ini suasana Istora telah berona dengan hadirnya Rendra, maka perlahan-lahan lesu dan muram yang telah pergi itu datang kembali. Sampai pertunjukan selesai. Mungkin sekali suasana loyo itu disebabkan adegan untuk memperkenalkan cara-cara Azdak memutuskan perkara, terlalu nyinyir alias tele-tele. Penonton yang semula bersemangat karena hadirnya Rendra, malah menggerutu oleh kekenesan pemain satu ini yang begitu jahatnya mengulur-ulur waktu. Banyak macam perkara, dari petani yang kehilangan kerbaunya sampai gadis yang diperkosa, disuguhkan. Rasanya tiada hubungan sama sekali dengan kebulatan keseluruhan, dan lebih mudah menduganya sebagai "kesenangan Rendra" -- yang memang makin lama makin "anti padat". Maka konflik yang seharusnya terjadi dalam diri Grushka, tak begitu terasa. Lalu antiklimaks. Ketika keputusan dijatuhkan hakim, terasa sebuah bola meluncur masuk gawang yang tak terjaga: tanpa kejutan. Datar, sedatar-datarnya. Itulah kemudian, ketika usai pertunjukan, seorang penonton menengok arlojinya yang menunjukkan jam 00.45. Terloncar dari mulut mungilnya: "Astaga! Kurang ajar!" Itu bisa merupakan pertanda kekaguman. Namun melihat suasana yang begitu lesu, semestinyalah yang terjadi: mereka merasa hanya memboroskan waktu untuk menonton sebuah kibul. Ternyata tiada apa-apa yang istimewa -- kecuali publikasi tentu. Adapun protes-protes sosial yang disisipkan seperti kebiasaan Rendra, masih tetap mendapat sambutan yang hangat. Meski terasa begitu basi, tapi rupanya Rendra memang tahu bahwa yang dibutuhkan penontonnya sebenarnya memang itu, dan hampir-hampir bukan kesenian. Coba. Apa tidak risi bila misalnya Rendra berteriak begini: "Apkah kalau kamu tentara tidak bisa ajak bicara?" Meski kenyataannya belum tentu tidak benar, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus