Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

PTS = Perguruan Tinggi Siluman?

Ali Sadikin menyatakan bahwa PTS di Indonesia belum tertib, walau sudah ada undang-undang perguruan tinggi no. 22 tahun 1961. namun pelaksanaannya belum tampak.

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALI Sadikin kesal lagi. 'Saya tidak mengerti, sejak Indonesia merdeka tidak ada Menteri PDK yang bisa menertibkan Perguruan Tinggi di Indonesia", kata Gubernur DKI itu dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Universitas Trisakti (swasta) di hotel Aryaduta, 19 Pebruari yang lalu. Katanya, mungkin di seluruh dunia hanya Jakarta yang memiliki banyak Perguruan Tinggi. Menurut catatan yang diperolehnya dari Prof. Slamet Iman Santoso, Kepala Kordinator Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS) wilayah II, yang membawahi Jakarta, ibukota Republik itu memiliki sekitar 125 universitas dan akademi. Ada universitas yang hanya terdiri dari dua fakultas dengan jumlah mahasiswa 87 orang. "Ini namanya Perguruan Tinggi Siluman", tambah Gubernur lagi. Mengulang pernyataan yang pernah diucapkan Menteri PDK, Syarif Thayeb, Ali Sadikin juga menuduh banyaknya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang dikomersiilkan. "Dikomersiilkan oleh avonturir-avonturir yang menipu para calon mahasiswa", katanya. Toh terhadap PTS-PTS, hampir belum ada langkah penertiban yang berarti: Memang sudah ada pembekuan sejumlah PTS yang dianggap tidak memenuhi syarat di beberapa wilayah KOPERTIS. Misalnya pembekuan sejumlah fakultas atau akademi di Palembang dan Jakarta, Juni tahun lalu. Juga di beberapa kota di Jawa Tengah dan Timur. Namun tindakan penutupan itu banyak disebut orang "bagaikan membunuh mayat". Tidak sedikit PTS yang terkena tindakan itu, sebenarnya memang sudah mati. Tindakan serupa yang dilakukan terhadap tak kurang dari 30 fakultas dan akademi dari 16 Perguruan Tinggi di KOPERTIS VI (termasuk Jawa Timur), awal tahun ini pun sama saja. "Tindakan itu hanya menutup yang sebetulnya tidak ada", ujar I.B. Alit, Sekretaris KOPERTIS VI kepada Anshari Thayib dari TEMPO . Dari ditindaknya awal tahun ini ada 9 (dari 16 PTS) yang dibekukan sampai ke akar-akarnya. Misalnya IKIP Merdeka Surabaya (terdiri dari tiga fakultas), Universitas Kahuripan Madiun (tiga fakultas), Universitas 17 Agustus cabang Madiun dan Pamekasan (masing-masing dua fakultas), Universitas Katolik Atmajaya Malang (empat fakultas), Universitas Achmad Yani Banjarmasin (tiga fakultas). Mereka ini sudah tidak pernah mengadakan kegiatan akademis. Beberapa di antaranya sudah tidak aktif lagi sejak tahun 1967. Sementara hampir rata-rata PTS itu tidak pernah memiliki gedung sendiri. Kenapa Tak Mampu? Tentu saja ada berbagai alasan, kenapa PTS tersebut tidak mampu bertahan hidupnya. Namun tidak sedikit karena alasan mutu yang kurang baik. Walaupun mencap jelek terhadap PTS, "tidak bisa digeneralisir begitu saja", ujar Anton Priyatno Pejabat Sekretaris Universitas Surabaya (swasta). Anton memang melihat adanya PTS yang bermotif komersiil. Mereka sering berpindah-pindah tempat kuliah, sementara prasarana fisik maupun mutu kurikulum jauh dari syarat-syarat yang ditentukan. Tapi kenapa misalnya Universitas Atmajaya di Malang itu turut mati? Bukankah di Jakarta, universitas Katolik itu memiliki kampus yang memadai dan termasuk PTS yang diminati banyak calon mahasiswa? Menurut Alit, berdasarkan kabar-kabar yang didengarnya: pembikinan cabang di Malang itu, kurang disetujui pusatnya. Sehingga dana yang tersedia dipakai untuk memperkual pusat saja. Bagaimana tindakan dari Departemen PDK? Walaupun selama ini sudah ada Undang-Undang Perguruan Tinggi (nomor 22 tahun 1961) yang mestinya bisa menertibkan PTS-PTS itu, pelaksanaannya memang belum nampak. Bahkan ketika Perguruan Tinggi masih di bawah Direktorat Perguruan Tinggi, keluhan sukarnya menindak terhadap PTS-PTS yang buruk pernah muncul. Jangankan mengontrol PTS yang belum terdaftar, PTS yang sudah terdaftar pun nyaris tidak pernah ada pengawasan. "Tenaga untuk mengawasi PTS itu sangat, kurang", ujar Kusnadi ketika masih menjabat Direktur Perguruan Tinggi. Dan dengan struktur Departemen PDK yang baru -- ada Direktorat Perguruan Tinggi Swasta -- apakah alasan itu masih akan terdengar? Rencana Induk Setidaknya berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Swasta dengan fihak PTS-misalnya pertemuan dengan para pimpinan yayasan PTS, tahun lalu -- bisa dianggap langkah-langkah permulaan. Bahkan penataran bagaimana membikin rencana induk, yang sudah dilaksanakan di seluruh wilayah KOPERTIS (sehingga diharapkan pada akhir Maret ini semua PTS sudah bisa menyerahkan rencana induk pengembangannya kepada pemerintah) diharap bisa memaksa setiap PTS dan fihak yayasannya melakukan kerjasama yang lebih erat. Sebab yayasanlah yang harus membiayai PTSnya. Sehingga rencana induk yang mesti disusun untuk jangka waktu 8 tahun itu, bisa disesuaikan dengan kemampuan yang ada pada yayasannya. "Jadi antara rencana dan kemampuan harus disesuaikan", ujar Prof. Soekisno Hadikoemoro, Direktur Perguruan Tinggi Swasta. Agaknya, dengan uasha yang kini tengah dijalankan, Direktorat PTS juga mengharapkan keuntungan lain: inventarisasi seluruh PTS yang ada. Sehingga bantuan pemerintah yang tidak banyak itu, bisa disalurkan kepada PTS yang memang benar-benar memerlukan. Menurut catatan Soekisno, kini terdapat 232 PTS dengan berbagai statusnya. Dari jumlah itu yang mampu berkembang karena memiliki perlengkapan minimal, semacam gedung dan peralatan kuliah serta staf pengajar, "hanya 10 sampai 15 buah PTS saja", ujar Soekisno. Tapi apakah dengan begitu lantas penilaian akan bisa dilakukan lebih ketat terhadap misalnya PTS-PTS yang cenderung tidak bermutu? Selama ini menurut Direktur PTS itu, penilaian hanya dilakukan apabila diminta oleh PTS yang meminta penaikan status (misalnya dari status "Terdaftar" ke status "Diakui" atau dari "Diakui" ke status "Disamakan"). Itupun dengan biaya dari si PTS yai bersangkutan. Meskipun begitu, "kita sudah merencanakan akan melakukan penilaian kepada setiap PTS setiap tahunnya", ujar Soekisno lagi. Mungkin nanti penutupan terhadap sesuatu PTS akan lebih banyak. Tapi soalnya: selama banjir siswa begitu rupa, selama perguruan tinggi masih dianggap keren, selama anak lulusan SLA tak bisa cari kegiatan lain, yah..... Banyak pemuda bersikap: daripada nganggur, lebih baik masuk PTS biarpun ngawur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus