ALI Sadikin kesal lagi. 'Saya tidak mengerti, sejak Indonesia
merdeka tidak ada Menteri PDK yang bisa menertibkan Perguruan
Tinggi di Indonesia", kata Gubernur DKI itu dalam pertemuan yang
diselenggarakan oleh Universitas Trisakti (swasta) di hotel
Aryaduta, 19 Pebruari yang lalu. Katanya, mungkin di seluruh
dunia hanya Jakarta yang memiliki banyak Perguruan Tinggi.
Menurut catatan yang diperolehnya dari Prof. Slamet Iman
Santoso, Kepala Kordinator Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS)
wilayah II, yang membawahi Jakarta, ibukota Republik itu
memiliki sekitar 125 universitas dan akademi. Ada universitas
yang hanya terdiri dari dua fakultas dengan jumlah mahasiswa 87
orang. "Ini namanya Perguruan Tinggi Siluman", tambah Gubernur
lagi. Mengulang pernyataan yang pernah diucapkan Menteri PDK,
Syarif Thayeb, Ali Sadikin juga menuduh banyaknya Perguruan
Tinggi Swasta (PTS) yang dikomersiilkan. "Dikomersiilkan oleh
avonturir-avonturir yang menipu para calon mahasiswa", katanya.
Toh terhadap PTS-PTS, hampir belum ada langkah penertiban yang
berarti: Memang sudah ada pembekuan sejumlah PTS yang dianggap
tidak memenuhi syarat di beberapa wilayah KOPERTIS. Misalnya
pembekuan sejumlah fakultas atau akademi di Palembang dan
Jakarta, Juni tahun lalu. Juga di beberapa kota di Jawa Tengah
dan Timur. Namun tindakan penutupan itu banyak disebut orang
"bagaikan membunuh mayat". Tidak sedikit PTS yang terkena
tindakan itu, sebenarnya memang sudah mati. Tindakan serupa yang
dilakukan terhadap tak kurang dari 30 fakultas dan akademi dari
16 Perguruan Tinggi di KOPERTIS VI (termasuk Jawa Timur), awal
tahun ini pun sama saja. "Tindakan itu hanya menutup yang
sebetulnya tidak ada", ujar I.B. Alit, Sekretaris KOPERTIS VI
kepada Anshari Thayib dari TEMPO . Dari ditindaknya awal tahun
ini ada 9 (dari 16 PTS) yang dibekukan sampai ke akar-akarnya.
Misalnya IKIP Merdeka Surabaya (terdiri dari tiga fakultas),
Universitas Kahuripan Madiun (tiga fakultas), Universitas 17
Agustus cabang Madiun dan Pamekasan (masing-masing dua
fakultas), Universitas Katolik Atmajaya Malang (empat fakultas),
Universitas Achmad Yani Banjarmasin (tiga fakultas). Mereka ini
sudah tidak pernah mengadakan kegiatan akademis. Beberapa di
antaranya sudah tidak aktif lagi sejak tahun 1967. Sementara
hampir rata-rata PTS itu tidak pernah memiliki gedung sendiri.
Kenapa Tak Mampu?
Tentu saja ada berbagai alasan, kenapa PTS tersebut tidak mampu
bertahan hidupnya. Namun tidak sedikit karena alasan mutu yang
kurang baik. Walaupun mencap jelek terhadap PTS, "tidak bisa
digeneralisir begitu saja", ujar Anton Priyatno Pejabat
Sekretaris Universitas Surabaya (swasta). Anton memang melihat
adanya PTS yang bermotif komersiil. Mereka sering
berpindah-pindah tempat kuliah, sementara prasarana fisik maupun
mutu kurikulum jauh dari syarat-syarat yang ditentukan. Tapi
kenapa misalnya Universitas Atmajaya di Malang itu turut mati?
Bukankah di Jakarta, universitas Katolik itu memiliki kampus
yang memadai dan termasuk PTS yang diminati banyak calon
mahasiswa? Menurut Alit, berdasarkan kabar-kabar yang
didengarnya: pembikinan cabang di Malang itu, kurang disetujui
pusatnya. Sehingga dana yang tersedia dipakai untuk memperkual
pusat saja.
Bagaimana tindakan dari Departemen PDK? Walaupun selama ini
sudah ada Undang-Undang Perguruan Tinggi (nomor 22 tahun 1961)
yang mestinya bisa menertibkan PTS-PTS itu, pelaksanaannya
memang belum nampak. Bahkan ketika Perguruan Tinggi masih di
bawah Direktorat Perguruan Tinggi, keluhan sukarnya menindak
terhadap PTS-PTS yang buruk pernah muncul. Jangankan mengontrol
PTS yang belum terdaftar, PTS yang sudah terdaftar pun nyaris
tidak pernah ada pengawasan. "Tenaga untuk mengawasi PTS itu
sangat, kurang", ujar Kusnadi ketika masih menjabat Direktur
Perguruan Tinggi. Dan dengan struktur Departemen PDK yang baru
-- ada Direktorat Perguruan Tinggi Swasta -- apakah alasan itu
masih akan terdengar?
Rencana Induk
Setidaknya berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh
Direktorat Perguruan Tinggi Swasta dengan fihak PTS-misalnya
pertemuan dengan para pimpinan yayasan PTS, tahun lalu -- bisa
dianggap langkah-langkah permulaan. Bahkan penataran bagaimana
membikin rencana induk, yang sudah dilaksanakan di seluruh
wilayah KOPERTIS (sehingga diharapkan pada akhir Maret ini semua
PTS sudah bisa menyerahkan rencana induk pengembangannya kepada
pemerintah) diharap bisa memaksa setiap PTS dan fihak yayasannya
melakukan kerjasama yang lebih erat. Sebab yayasanlah yang harus
membiayai PTSnya. Sehingga rencana induk yang mesti disusun
untuk jangka waktu 8 tahun itu, bisa disesuaikan dengan
kemampuan yang ada pada yayasannya. "Jadi antara rencana dan
kemampuan harus disesuaikan", ujar Prof. Soekisno Hadikoemoro,
Direktur Perguruan Tinggi Swasta.
Agaknya, dengan uasha yang kini tengah dijalankan, Direktorat
PTS juga mengharapkan keuntungan lain: inventarisasi seluruh PTS
yang ada. Sehingga bantuan pemerintah yang tidak banyak itu,
bisa disalurkan kepada PTS yang memang benar-benar memerlukan.
Menurut catatan Soekisno, kini terdapat 232 PTS dengan berbagai
statusnya. Dari jumlah itu yang mampu berkembang karena memiliki
perlengkapan minimal, semacam gedung dan peralatan kuliah serta
staf pengajar, "hanya 10 sampai 15 buah PTS saja", ujar
Soekisno. Tapi apakah dengan begitu lantas penilaian akan bisa
dilakukan lebih ketat terhadap misalnya PTS-PTS yang cenderung
tidak bermutu? Selama ini menurut Direktur PTS itu, penilaian
hanya dilakukan apabila diminta oleh PTS yang meminta penaikan
status (misalnya dari status "Terdaftar" ke status "Diakui" atau
dari "Diakui" ke status "Disamakan"). Itupun dengan biaya dari
si PTS yai bersangkutan. Meskipun begitu, "kita sudah
merencanakan akan melakukan penilaian kepada setiap PTS setiap
tahunnya", ujar Soekisno lagi. Mungkin nanti penutupan terhadap
sesuatu PTS akan lebih banyak. Tapi soalnya: selama banjir siswa
begitu rupa, selama perguruan tinggi masih dianggap keren,
selama anak lulusan SLA tak bisa cari kegiatan lain, yah.....
Banyak pemuda bersikap: daripada nganggur, lebih baik masuk PTS
biarpun ngawur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini