Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukan naga, bukan buaya, tapi biaya

Jalan sudirman di banjarmasin yang sudah menghabis kan biaya besar itu anjlog tiba-tiba. cv semut ireng yang membenahi jalan itu dituding. jembatan coenpun perlu perhatian. (kt)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI sudah melahap biaya Rp 33juta, Jalan Sudirman di Banjarmasin yang tergolong jalan protokol kelas I itu tak beres-beres juga. Ada-ada saja bencana yang menimpa jalan di kawasan Gubernuran, Gedung DPRD Propinsi, Kodam X Lambung Mangkurat, Balai Wartawan dan sebentar lagi Mesjid Raya itu. Pernah misalnya ketika jalan sepanjang 61/2 Km itu dihitung mulai dari halaman Gubernuran sampai batas kota 90% selesai diberi dinding penghalang alias turap, tiba-tiba tanah di sisi tebing dinding-penghalang itu anjlog. Disusul rontoknya di bagian jantung jalan dekat jembatan kecil Menuju Pasar Lama. Padahal waktu itu uang Pelita Propinsi 1972/1973 sebesar Rp 17 1/2 juta telah dibenamkan buat pemasangan itu dinding-penghalang antara jalan dan tepi kali Martapura. Ada yang menyebut-nyebut jutaan ular kecil yang dinamai orang sana puraca yang merayapi dasar sungai dan tanah jalan Sudirman sebagai musababnya. Ada team ahli Jepang konon membenarkannya. Betulkah? "Saya tak pernah mendengarnya", jawab Ir. Arso Darmono, Kepala DPU Kalsel, ketika Rahmat Marlim dari TEMPO menanyakannya. Tentu saja insinyur itu tak bisa sembarang mengangguk dan mengiakan bisik-bisik. Meski pun koran-koran setempat ikut meramaikannya. Apalagi Pemda Propinsi pernah mengundang team ITB untuk meneliti kondisi tanah jalan yang setiap penggede pusat atau tamu mancanegara yang mampir di Banjarmasin pasti lewat di atasnya itu. Menurut penelitian tersebut bagian atas sampai 3 meter ke bawah memang terdiri dari tanah liat keras. Tapi setelah 6 meter ke bawah merupakan tanah kosong bercampur air lumpur. Sedang di lapisan ketiga sampai 9 meter ke bawah terdapat tanah lembek dan selanjutnya mengeras lagi. Baru setelah 51 meter ke bawah ditemukan batu padas dan tanah keras. Tak ada disebut-sebut itu puraca atau biawak raksasa mahluk halus atau apapun namanya menurut suara orang ramai. Di Luar Perencanaan Tentu saja tudingan pun terarah pada CV Semut Ireng yang ketiban anugerah membenahi itu jalan. "Segalanya telah kita kerjakan menurut rencana yang dibuat oleh DPU sendiri. Dengan pengawas tehnis yang kita minta", tutur Subarjo, Direktur Semut Ireng yang haji itu. "Sudah tiga kali distoom, digilas dengan ban 8 ton tak apa-apa. Tahu-tahu, Masya Allah, anjlog lagi", keluh Subarjo mengingat bencana rontoknya jalan yang sedang digarapnya. Dan ia merenung-renung, "telah 100 kontrak diselesaikannya sejak tahun 1969, belum pernah mengalami pekerjaan seruwet ini". Menurutnya perusahaannya hampir-hampir patah kaki karena runtuhnya Jalan Sudirman itu. Tapi tak urung anggaran tambahan Rp 1.750.000 yang digeser dari tahun anggaran 1974/1975 ke 1975/1976 dilimpahkan kepada CV Semut Ireng lagi agar mneruskan pekerjaannya. Setelah didesak dengan tersaruk-saruk Subarjo mengerjakan bagian rontok yang terparah dekat mulut jembatan kecil Pasar Lama. "Itu hanya sebagai pengaman, belum berarti jaminan sempurnanya pekerjaan, seperti juga menurut pihak DPU", ujar Subarjo. Ini berarti pembenahan jalan penting itu acak-acakan? "Bukan acak-acakan. Tapi istilan tehnisnya uderdesign, di luar perencanaan", tukas ir. Arso. Maksudnya "pekerjaan percobaan yang menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Bisa berhasil bisa tidak. Habis, keadaan mendesak". Arso juga membanding-bandingkan tanah jalan-jalan di Banjarmasin dengan di Jawa, Aceh dan Maluku. Menurut Arso di Banjarmasin yang tanahnya eks rawa itu. pembuatan jalannya haruslah: diledakkan dulu, lalu digali berjalur, ditembok tinggi, disusun batu-batu, digilas, ditimbuni pasir, digilas, dilumeri aspal dan seterusnya. "Tapi apa terjangkau biayanya, yang Rp 125 juta per Km? Belum terhitung biaya peledakan dan penggalian yang Rp 30 juta per Km?" tanya Arso yang dijawabnya sendiri: "Dengan anggaran Pemda Propinsi, jelas tak bisa dilaksanakan". Agaknya di sinilah biang sebabnya: biayanya sebesar naga, di tengah anggaran daerah yang bak teri. Jembatan Coen Dan sementara para berwenang mengernyitkan kening terus memecahkan perkara Jalan Sudirman, masalah jembatan Coen pun muncul menambah kerepan. Itu jembatan tua yang sudah ciut luasnya sekedar bisa dipakai pejalan kaki, sepeda dan beca, ternyata kembali berperan sebagai urat nadi lalu lintas ke pusat kota. Meski sudah dibangun jembatan baru Sudimampir dan jembatan Pasar Lama yang oleh Rusli Yusuf Wakil Ketua DPRD Kodya dianggap "cukup buat Banjarmasin. Jembatan yang sudah jompo itu ternyata mengalahkan Jembatan 9 Nopember di Pasar Lama, karena dirasa penduduk lebih strategis buat memintas ke jantung kota. Meskipun pengendara sepeda atau penggenjot beca dan lainnya, yang kecemplung kali Martapura di bawahnya jadi tontonan rutin di sana. Dan barulah 3 bulan berselang pihak Kotamadya menancapkan tanda "Tak boleh melintas" di sana, setelah orang semakin ngeri melihat banyaknya yang kecemplung. Lalu akan didiamkan begitu? "Andaikata penghasilan Kotamadya Banjarmasin cukup banyak, sudah tentu akan saya bangun jembatan Coen itu", tutur Walikota Siddik Susanto kepada pers. Dan ia menolak gagasan mengadakan jembatan gantung, karena dianggapnya memalukan, meskipun ia enggan melaksanakan fikiranyna sendiri,"saya berpendapat lebih baik dibongkar saja". Sementara itu ia masih bungkam terhadap pendapat Basuki Haryono, Kepala Lalu Lintas Angkutan Sungai Danau dan Ferry yang mengusulkan dibuat ponton penyeberangan. "Dengan ponton yang dibangun, jalur lalu lintas hidup terus sementara pendapatan daerah bertambah dengan adanya pungutan di sana. Sedang biaya yang dikeluarkan akan kembali dalam waktu tertentu, ujar Basuki. Tapi ponton atau jembatan gantung, warga Banjarmasin tampaknya akur saja. Yang penting hajat mereka terpenuhi: bisa memintas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus