MESKI sudah melahap biaya Rp 33juta, Jalan Sudirman di
Banjarmasin yang tergolong jalan protokol kelas I itu tak
beres-beres juga. Ada-ada saja bencana yang menimpa jalan di
kawasan Gubernuran, Gedung DPRD Propinsi, Kodam X Lambung
Mangkurat, Balai Wartawan dan sebentar lagi Mesjid Raya itu.
Pernah misalnya ketika jalan sepanjang 61/2 Km itu dihitung
mulai dari halaman Gubernuran sampai batas kota 90% selesai
diberi dinding penghalang alias turap, tiba-tiba tanah di sisi
tebing dinding-penghalang itu anjlog. Disusul rontoknya di
bagian jantung jalan dekat jembatan kecil Menuju Pasar Lama.
Padahal waktu itu uang Pelita Propinsi 1972/1973 sebesar Rp 17
1/2 juta telah dibenamkan buat pemasangan itu dinding-penghalang
antara jalan dan tepi kali Martapura.
Ada yang menyebut-nyebut jutaan ular kecil yang dinamai orang
sana puraca yang merayapi dasar sungai dan tanah jalan Sudirman
sebagai musababnya. Ada team ahli Jepang konon membenarkannya.
Betulkah? "Saya tak pernah mendengarnya", jawab Ir. Arso
Darmono, Kepala DPU Kalsel, ketika Rahmat Marlim dari TEMPO
menanyakannya. Tentu saja insinyur itu tak bisa sembarang
mengangguk dan mengiakan bisik-bisik. Meski pun koran-koran
setempat ikut meramaikannya. Apalagi Pemda Propinsi pernah
mengundang team ITB untuk meneliti kondisi tanah jalan yang
setiap penggede pusat atau tamu mancanegara yang mampir di
Banjarmasin pasti lewat di atasnya itu. Menurut penelitian
tersebut bagian atas sampai 3 meter ke bawah memang terdiri dari
tanah liat keras. Tapi setelah 6 meter ke bawah merupakan tanah
kosong bercampur air lumpur. Sedang di lapisan ketiga sampai 9
meter ke bawah terdapat tanah lembek dan selanjutnya mengeras
lagi. Baru setelah 51 meter ke bawah ditemukan batu padas dan
tanah keras. Tak ada disebut-sebut itu puraca atau biawak
raksasa mahluk halus atau apapun namanya menurut suara orang
ramai.
Di Luar Perencanaan
Tentu saja tudingan pun terarah pada CV Semut Ireng yang ketiban
anugerah membenahi itu jalan. "Segalanya telah kita kerjakan
menurut rencana yang dibuat oleh DPU sendiri. Dengan pengawas
tehnis yang kita minta", tutur Subarjo, Direktur Semut Ireng
yang haji itu. "Sudah tiga kali distoom, digilas dengan ban 8
ton tak apa-apa. Tahu-tahu, Masya Allah, anjlog lagi", keluh
Subarjo mengingat bencana rontoknya jalan yang sedang
digarapnya. Dan ia merenung-renung, "telah 100 kontrak
diselesaikannya sejak tahun 1969, belum pernah mengalami
pekerjaan seruwet ini". Menurutnya perusahaannya hampir-hampir
patah kaki karena runtuhnya Jalan Sudirman itu.
Tapi tak urung anggaran tambahan Rp 1.750.000 yang digeser dari
tahun anggaran 1974/1975 ke 1975/1976 dilimpahkan kepada CV
Semut Ireng lagi agar mneruskan pekerjaannya. Setelah didesak
dengan tersaruk-saruk Subarjo mengerjakan bagian rontok yang
terparah dekat mulut jembatan kecil Pasar Lama. "Itu hanya
sebagai pengaman, belum berarti jaminan sempurnanya pekerjaan,
seperti juga menurut pihak DPU", ujar Subarjo. Ini berarti
pembenahan jalan penting itu acak-acakan?
"Bukan acak-acakan. Tapi istilan tehnisnya uderdesign, di luar
perencanaan", tukas ir. Arso. Maksudnya "pekerjaan percobaan
yang menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Bisa berhasil
bisa tidak. Habis, keadaan mendesak". Arso juga
membanding-bandingkan tanah jalan-jalan di Banjarmasin dengan di
Jawa, Aceh dan Maluku. Menurut Arso di Banjarmasin yang tanahnya
eks rawa itu. pembuatan jalannya haruslah: diledakkan dulu, lalu
digali berjalur, ditembok tinggi, disusun batu-batu, digilas,
ditimbuni pasir, digilas, dilumeri aspal dan seterusnya. "Tapi
apa terjangkau biayanya, yang Rp 125 juta per Km? Belum
terhitung biaya peledakan dan penggalian yang Rp 30 juta per
Km?" tanya Arso yang dijawabnya sendiri: "Dengan anggaran Pemda
Propinsi, jelas tak bisa dilaksanakan". Agaknya di sinilah biang
sebabnya: biayanya sebesar naga, di tengah anggaran daerah yang
bak teri.
Jembatan Coen
Dan sementara para berwenang mengernyitkan kening terus
memecahkan perkara Jalan Sudirman, masalah jembatan Coen pun
muncul menambah kerepan. Itu jembatan tua yang sudah ciut
luasnya sekedar bisa dipakai pejalan kaki, sepeda dan beca,
ternyata kembali berperan sebagai urat nadi lalu lintas ke pusat
kota. Meski sudah dibangun jembatan baru Sudimampir dan jembatan
Pasar Lama yang oleh Rusli Yusuf Wakil Ketua DPRD Kodya dianggap
"cukup buat Banjarmasin. Jembatan yang sudah jompo itu ternyata
mengalahkan Jembatan 9 Nopember di Pasar Lama, karena dirasa
penduduk lebih strategis buat memintas ke jantung kota. Meskipun
pengendara sepeda atau penggenjot beca dan lainnya, yang
kecemplung kali Martapura di bawahnya jadi tontonan rutin di
sana. Dan barulah 3 bulan berselang pihak Kotamadya menancapkan
tanda "Tak boleh melintas" di sana, setelah orang semakin ngeri
melihat banyaknya yang kecemplung. Lalu akan didiamkan begitu?
"Andaikata penghasilan Kotamadya Banjarmasin cukup banyak, sudah
tentu akan saya bangun jembatan Coen itu", tutur Walikota Siddik
Susanto kepada pers. Dan ia menolak gagasan mengadakan jembatan
gantung, karena dianggapnya memalukan, meskipun ia enggan
melaksanakan fikiranyna sendiri,"saya berpendapat lebih baik
dibongkar saja". Sementara itu ia masih bungkam terhadap
pendapat Basuki Haryono, Kepala Lalu Lintas Angkutan Sungai
Danau dan Ferry yang mengusulkan dibuat ponton penyeberangan.
"Dengan ponton yang dibangun, jalur lalu lintas hidup terus
sementara pendapatan daerah bertambah dengan adanya pungutan di
sana. Sedang biaya yang dikeluarkan akan kembali dalam waktu
tertentu, ujar Basuki. Tapi ponton atau jembatan gantung, warga
Banjarmasin tampaknya akur saja. Yang penting hajat mereka
terpenuhi: bisa memintas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini