Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pembantu rumah tangga di perumahan mewah Villa Bukit Mas, Kelurahan Dukuh Pakis, Surabaya, Jawa Timur, kini punya acara spesial. Setiap Sabtu dan Senin, menjelang pukul tujuh malam, mereka selalu menantikan kedatangan mobil Daihatsu Espass silver.
Seperti pada Senin dua pekan lalu. Puluhan perempuan belia yang sudah bersiap di balai rukun warga setempat sigap menyerbu begitu mobil yang ditunggu-tunggu tiba. Dengan cekatan mereka membuka pintu samping dan bagasi, lalu memindahkan bangku-bangku dan meja lipat kecil.
Setelah beres, mereka duduk rapi mengeluarkan buku dan alat tulis. Malam itu adalah saatnya belajar bahasa Inggris. Melalui video yang diletakkan di bagasi mobil, ibu guru Ramadhani Wuri Pramesti menayangkan adegan percakapan dalam bahasa Inggris.
Setelah selesai, Wuri meminta murid-muridnya menirukan percakapan bahasa Inggris, dimulai dengan memperkenalkan diri. ”My Name is Fitria. I come from Guyangan, Nganjuk,” kata Siti Fitria, 16 tahun, dengan logat Jawa medok. Percakapan berlanjut, ditimpali celoteh dan tawa cekikikan para siswa yang hampir semuanya pembantu rumah tangga.
Itulah sekolah bergerak (mobile school) yang diselenggarakan Sanggar Alang@lang. Sanggar yang berdiri sejak 21 April 2006 ini menamakan kegiatan tersebut Program Bimbingan Belajar Anak Perawan. Perawan adalah singkatan dari perempuan rawan, yaitu perempuan yang lemah secara ekonomi dan sosial, seperti pembantu rumah tangga, sehingga mudah dieksploitasi pihak lain. ”Kami khawatir mereka menjadi korban perdagangan manusia atas nama memberi pekerjaan,” ujar Wuri, koordinator mobile school.
Sanggar Alang@lang memang tidak asing dengan kasus-kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga. Bukan hanya kekerasan fisik yang mereka tangani, tapi juga pemerasan. Wuri bercerita, Februari tahun lalu mereka menemukan perempuan belasan tahun berusaha melahirkan anak sendirian di tepi Kali Surabaya, sekitar 100 meter dari kantor Alang@lang. Anak perempuan itu dilarikan ke klinik bersalin. Malangnya, dalam persalinan, nyawa ibu muda, yang belakangan diketahui berprofesi sebagai pembantu, tidak tertolong. Namun, bayinya selamat dan diadopsi seorang dokter di Surabaya.
Selain mengajar para pembantu rumah tangga, Sanggar juga membuka sekolah alternatif bagi kaum terpinggirkan lainnya, seperti anak keluarga miskin, anak yatim dan telantar. Awalnya, mereka adalah komunitas belajar anak jalanan yang digelar di pinggiran Terminal Bus Joyoboyo, Surabaya, sejak 2001. Belakangan, komunitas yang diprakarsai Didit Hape, seorang seniman dan reporter senior di TVRI Surabaya, berkembang menjadi sekolah alternatif.
Dengan mengadopsi sekolah berjalan di beberapa negara seperti Peru, Filipina, dan Belgia, Sanggar Alang@lang kemudian memilih ”menjemput bola”. Mereka mendatangi lokasi dan mencari pembantu rumah tangga di sejumlah kawasan permukiman kelas atas seperti perumahan elite Villa Bukit Mas, Kelurahan Dukuh Pakis, Surabaya Barat, Perumahan Simpang Darmo Permai Selatan, Kelurahan Lontar, juga para keluarga di Kelurahan Gunungsari dan Sawunggaling.
Pada mulanya upaya mengajak seorang pembantu keluar dari rumah gedong majikannya untuk bersekolah tidaklah mudah. Sebelum membujuk si Inem belajar, para pekerja Sanggar harus mengurus izin ke pengelola kompleks perumahan. Mereka juga harus berulang kali menjelaskan kepada para majikan, padahal para tuan dan nyonya ini jarang di rumah. Para majikan juga gampang curiga terhadap kegiatan sosial, apalagi yang gratis seperti sekolah bergerak itu.
Akhirnya, semua itu bisa dilewati. Sanggar pun berhasil mendata jumlah pembantu rumah tangga di Villa Bukit Mas, yaitu 250 orang; 37 orang di antaranya berusia 12-16 tahun. Para pembantu remaja tersebut rata-rata baru setahun bekerja di Surabaya. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak tahu alamat rumah tempat mereka bekerja, nomor telepon, hingga nama majikan.
Di Villa Bukit Mas, sekolah bergerak memiliki 35 siswi, di Simpang Darmo Permai Selatan 17 siswa, dan 38 siswa di Kelurahan Gunungsari dan Sawunggaling. Mereka belajar setiap Sabtu dan Senin, pukul 19.00–21.00 WIB, setelah pekerjaan di rumah selesai. Jika hari terang, mereka memilih duduk di kursi lipat di pinggir jalan utama perumahan. Bila hujan, mereka ”mengungsi” ke balai RW atau tempat beratap lainnya.
Para guru umumnya adalah mahasiswa fakultas psikologi dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya. Sekolah bergerak ini sendiri termasuk pendidikan luar sekolah dengan program Keaksaraan Fungsional, yaitu proses belajar membaca, menulis, dan berhitung yang dipadu dengan keterampilan. Kegiatan ini biasanya berjalan enam bulan, dan setelahnya, si murid mendapat sertifikat dari dinas pendidikan setempat.
Proses belajar yang dikembangkan Sanggar Alang@lang pun menyenangkan. Para murid diajar melalui metode dialog dan permainan. Materinya rupa-rupa, seperti membaca, berhitung, dan menulis. Mereka juga tak hanya diajari cas-cis-cus bahasa Inggris, tapi juga cang-cing-cong bahasa Mandarin. Maklum, kebanyakan majikan mereka dari etnis Tionghoa yang biasa menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin. Ada juga pelajaran keterampilan seperti menjahit, menyulam, dan memasak.
Yang menarik, para pembantu rumah tangga ini juga diajari sadar hak asasi. Mereka mendapat pelatihan bertindak, seperti melapor ke polisi jika menjadi korban kekerasan majikannya. ”Pokoknya, kurikulum dibuat sesuai dengan kebutuhan mereka,” kata Wuri.
Hampir setahun program ”Inem kembali bersekolah” ini berjalan, Wuri sudah melihat hasilnya. Fitria, misalnya, berani menyatakan pendapat. Ia juga lebih tahu apa yang harus dilakukan ketika sang majikan kedatangan tamu. ”Misalnya kalau ada tukang ledeng datang, mereka tidak langsung disuruh masuk, tapi ditanya nama dan alamatnya sesuai KTP,” kata Wuri.
Kiprah Sanggar Alang@lang pun makin luas terdengar. Dukungan dan bantuan berdatangan, seperti dari lembaga swadaya masyarakat internasional Save The Children, Dinas Pendidikan Jawa Timur, Pemerintah Kota Surabaya, dan sebuah perusahaan alat-alat elektronik.
Sebenarnya, model sekolah bergerak, dengan guru mendatangi lokasi para murid, juga diterapkan di tempat lain. Muridnya kebanyakan perempuan buta aksara, anak-anak jalanan atau kelompok terpinggirkan lainnya. Pemandangan sekolah bergerak dapat dilihat di beberapa kawasan di Bandung seperti di Pasar Caringin, perempatan Dago-Merdeka, Jalan Supratman, dan Jalan Gatot Subroto. Bahkan di Jawa Barat telah dikembangkan sekolah bergerak dengan menggunakan sepeda motor dengan boks di belakang untuk mengangkut peralatan sekolah.
Para pembantu rumah tangga yang belajar di sekolah Sanggar Alang@lang mungkin tidak akan lancar berbahasa Inggris dan Mandarin sebagaimana siswa di sekolah biasa. Namun, gadis seperti Fitria mengaku menjadi lebih percaya diri dan punya keterampilan bila sudah tidak menjadi pembantu rumah tangga. Fitria tahu apa yang dia mau. ”Sekarang cukup, saya bisa beli bedak dan makan sendiri,” katanya.
Widiarsi Agustina, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo