HARIAN Pikiran Rakyat Bandung 6 Juni 1978 memuat berita duka. Tiga buah sanggar tari, bersama Sangar Tari Herlina, Cibogo Indah dan Karang Panineungan tiga-tiganya di Kabupaten Bandung, ditutup. Alasan yang santelterdengar moral. Nyonya Seriawati, pemilik Sangrar Tari Cibogo Indah (52 tahun) bersimbah air mata. Ia mengandaikan penutupan itu bagai lampu lalu lintas yang tiba-tiba: pet. Penghidupan itu rupa-rupanya amat besar artinya. "Padahal kami menjaga sekali layanan, agar para penggemar ketuk tilu benar-benar puas. Selama waktu tugas, kami tidak mengijinkan anggota kami dibawa tamu. Tanggung jawab kami adalah selama jamjam dibuka -- setelah usai, kami tidak bertanggung jawab lagi terhadap anak-anak kami, apalagi kebanyakan penari bukan penduduk sini," dalihnya. Memang, sanggar tari tersebut tidak seperti umumnya sanggar kesenian yang kita kenal. Ia lebih menyerupai sebuah klab dalam gaya pribumi. Di dalam sanggar disuguhkan ketuk tilu. Para tamu selain melihat dan mendengar diperkenankan ikut ngibing. "Banyak yang datang ke sini, suami-isteri yang sudah bosan berdansa di klab malam dan mendapat kenikmatan ngibing ketuk tilu, kadang hampir tiap malam mereka datang ke sini," kata Dahman Setia Permana, manager Herlina. Ia dengan terus terang menyatakan apa yang dilakukannya adalah usaha dagang. Ketuk Tilu sekarang sudah menjadi hiburan rakyat Priangan yang hampir sama dengan bajidor Subang atau cikeruhan Sumedang. Dinamalian ketuk tilu karena para penari digiring oleh tiga buah bonang. Mulanya tarian ini dilakukan secara sakral untuk upacara rituil. Lama-lama sifat sakralnya kendor, lalu menjadi tari pergaulan. Dan dalam pergaulan kelas bawah timbul banyak peluang untuk menyeret tarian tersebut sebagai kesempatan mengumbar nafsu. Ada juga yang mengatakan, semasa zaman kolonial ketuk tilu sengaja digalakkan supaya rakyat pontang-panting meminjam uang tuan tanah. Sebab di dalam ketuk tilu, para pengibing memiliki kebiasaan memasukkan uang ke dalam kutang para penari. Sebagai jasa. Lama-lama memang tidali hanya sebagai jasa untuk menemani ngibing, tapi juga sebagai uang panjar untuk main cinta. Tahun 1961, Raden T.A. Sunan mencoba mengembangkan ketuk tilu. Ia menumbuhkan sebuah konsep yang matang. Bekas Bupati Ciamis yang dianggap berwibawa itu telah mempergelarkan ketuk tilu di Universitas Padjajaran. Konsep matang ini ternyata mengandung maksud mencegah kontak asmara antara penari ronggeng dengan kaum lelaki. Para ronggeng hanya menyanyi. Tari hanya diserahkan kepada kaum lelaki, tempatnya terpisah dari ronggeng. Konsep ini rupa-rupanya dapat sedikit mengangkat derajat ketu tilu di mata orang terhormat. Sejak itu ketuk tilu populer lagi. Dalam resepsi-resepsi, orang tidak malu lagi menggelarkan. Tetapi dari segi mutu ada yang menyatakan: ketuk tilu modern itu bersifat gampangan. Geraknya hanya yang mudah-mudah saja. Lalu bermunculanlah bermacam "sanggar". Di mana secara tetap orang yang ingin ngibing tidak perlu menunggu hari resepsi segala. Sementara itu dari pemuka-pemuka kesenian muncul pernyataan yang ingin menyelamatkan ketuk tilu. Mereka mengatakan bahwa ketuk tilu sudah diselewengkan. "Kesenian tradisionil yang mengutamakan spontanitas dan impro visasi itu sekarang diarahkan. Hanya bentuknya saja yang diambil," kata salah seorang yang berwenang di sana. Tentang penutupan sanggar tari tadi seorang staf Diparda bagian Bina Wisata Kabupaten Bandung menyatakan sebagai instruksi langsung dari Gubernur. Karena dinilai ada unsur-unsur negatif -- meskipun tidak disangkal bahwa belum ada bukti konkrit. Memang ada selentingan soal booking-bookingan. Dan hal itulah yang akan dilarang keras seandainya permintaan para pemilik sanggar untuk buka kembali akan diizinkan nanti. Penutupan sanggar 25 Mei 1978 tersebut menyebabkan 15 orang karyawan dan 15 orang penari Herlina tak diperlukan lagi. Sementara Nyonya Seriawati pemilik Cibogo Indah di Kecamatan Ciputat, Desa Citatah, Kampung Cibo -- hanya mengutarakan betapa pontang-pantingnya ia menerabas hutan yang masih angker untuk dijadikan sebuah sanggar. Ia menyatakan juga bahwa justru Pemda-lah yang mendorong dia mendirikan sanggar tersebut. Ia punya izin dari Kepolisian dan Diparda. "Maksud kami baik," kata nyonya itu yang tak juga hilang sedihnya. Ketuk tilu untuk sementara mungkin akan pingsan lagi. Barangkali saja ia sudah terlalu dimaksiatkan atau setidaknya dikomersiilkan, sehingga sekarang tidak berani lagi diaku sebagai kekayaan budaya -- sebelum dibersihkan lagi. Sementara di kalangan rakyat tidak ada problim apa-apa. Tarian pergaulan itu tetap digemari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini