Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Banyak Dan Sepi

Dosen-dosen lpkj mengadakan pameran lukisan di tim 26-31 des 1977. menampilkan karya arsono, ananda adhi moersid, angkama setjadipradja, danarto, hildawati sidharta, srihadi dll. pengunjung pameran sepi. (sr)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG Ruang Pameran TIM (26 s/d 31 Desember) diserahkan kepada dosen dosen Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. Arsono, Ananda Adhi Moersid, Angkama Setjadipradja, Danarto, Hildawati Sidharta, Kaboel Suadi, Kusnadi, Syahrinur Prinka, Sulebar Soekarman, Srihadi, Sukamto, Wiyoso Yudoseputro. 2 orang lainnya (Sardono W. Kusumo, penari, dan Slamet A. Syukur, dosen musik) ikut ambil bagian bersama para pengajar Akademi Seni Rupa itu. Sardono memamerkan beberapa lukisan, sedang Slamet membeberkan partitur Parenthesis IV di mqa. Meski didukung banyak nama, pameran kelihatan sepi. Barangkali maunya memang cuma menampilkan apa adanya: tidak dimaksudkan bikin "kejutan" -- sebuah catatan akhir tahun yang tidak membeberkan betapa sesungguhnya kekuatan yang tersimpan dalam diri para pengajar ini. Kecuali Srihadi, Danarto dan Ananda Adhi Moersid, kita melihat jauh dekat wajah-wajah mereka yang sebelumnya sudah kita kenal. Seperti Zaini Ananda Adhi Moersid merentangkan bidang putih, seperti jalan ke udara yang kemudian membukit-melembah dengan dua bandul yang dinamakannya Jalur Diagonal. Karyanya yang lain bernama Segi Tiga: juga material putih yang dibentuk menjadi segi tiga. Konstruksi ini mengingatkan kita pada faktor ruang lingkungan, suasana, yan dipakai sebagai bahan penciptaan oleh Seni Rupa Baru. Kita menemukan suasana puitis dan teatral dari pendekatan semacam ini. Srihadi kelihatan meneruskan aquarelnya, sebagaimana pernah kita saksikan di Balai Pajang tatkala ia memarnerkan seri kunjungannya ke tanah Andalusia. Ia berhasil meskipun kita masih tetap di: kasih pantai dan perahu. Bahkan salah satu lukisannya dekat sekali dengan karya Zaini. Ia menangkap suasana, bukan sekedar bentuk. Sementara 2 buah karya cat minyaknya memperlihatkan kecendrungan membebaskan did dari kefasihan pantai dan ufuk. Ia melukis perempuan yang dinamakannya Tara dan melukis Jakarta yang pasti akan menggembirakan mereka yang menunggununggu pelukis ini berhenti mengulang pengkajiannya pada horison. Yang terasa segar adalah Danarto. Pelukis yang pernah menjadi kebanggaan Sanggar Bambu ini makin jarang muncul. Ia malah melakukan pembaruan dalam penulisan cerita pendek. Sekarang aktif di film sebagai direktur artistik. Ia memamerkan 5 buah kanvas yang diletakkan berhampiran. Judulnya: Adonan-Adonan 1, 2, 3, 4, 5. Adonan satu berupa gumpalan warna biru di samping merah, kemudian kuning, lalu putih, yang terakhir kanvas kosong. Kesatuan ini sangat dramatis. Danarto memiliki dunia tersendiri, tapi kadangkala terasa semakin jauh dari senilukis: seakan ia tidak memiliki lagi ambisi mencuat di bidang itu. Padahal potensinya besar. Unik Kita melihat harapan pada Sukamto yang kini lebih mengkhususkan diri pada grafis. Dengan lima buah hasil cetak saring, ia merupakan salah satu kekuatankini pada departemen grafis di samping Prinka. Berbeda dengan Sulebar, yang dalam pameran ini juga termasuk barisan tenaga muda tetapi tidak menunjukkan sesuatu yang meyakinkan. Ia masih saja dalam problem memindahkan kefasihan atas material aquarel ke cat minyak, dengan hasil yang kekurangan tenaga pesona di samping dikerjakan tanpa inspirasi. Mendingan Angkama Setjadipradja, yang kelihatan benarbenar seorang "guru" dengan lukisan mirip van Gogh (Lukisan Dua) tapi tanpa pretensi untuk diakui orisinil. Hildawati Sidharta, yang pada pameran lalu mengetengahkan patung-patung keramik yang menarik, kini hanya diwakili satu karya. Dalam sebuah petak yang ditaburi abu pembakaran, ia menata bulatan-bulatan hitam. Ia juga menggarap bayangannya dengan abu yang lebih hitam. Karena sinar lampu datang dari arah lain, bayangan yang sesungguhnya jadi menghampar ke arah lain. Ini menimbulkan kesan yang unik. Sayang sekali karya semacam ini sulit dipelihara dari sentuhan atau gerayangan kaki usil. Hamparan abu tersebut tak lagi rapih, lewat beberapa hari. Yang mengherankan munculnya 5 buah lukisan Sardono dan partitur Slamet itu. Sardono melukis dengan taburan cat yang semburat pada kanvas seperti tokoh abstrak ekspresionis Amerika, Jackson Pollock. Sedang partilut Slamet adalah partitur yang memang jarang dilihat oleh orang di negeri ini karena tampaknya lebih mendekati gambar. Mungkin sekali partisipasi penari dan musikus ini dimaksud sebagai pernyataan "hubungan erat antara berbagai cabang kesenian" di LPKJ. Ini sesungguhnya amat serius. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus