SEKARANG Ruang Pameran TIM (26 s/d 31 Desember) diserahkan
kepada dosen dosen Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. Arsono,
Ananda Adhi Moersid, Angkama Setjadipradja, Danarto, Hildawati
Sidharta, Kaboel Suadi, Kusnadi, Syahrinur Prinka, Sulebar
Soekarman, Srihadi, Sukamto, Wiyoso Yudoseputro. 2 orang lainnya
(Sardono W. Kusumo, penari, dan Slamet A. Syukur, dosen musik)
ikut ambil bagian bersama para pengajar Akademi Seni Rupa itu.
Sardono memamerkan beberapa lukisan, sedang Slamet membeberkan
partitur Parenthesis IV di mqa.
Meski didukung banyak nama, pameran kelihatan sepi. Barangkali
maunya memang cuma menampilkan apa adanya: tidak dimaksudkan
bikin "kejutan" -- sebuah catatan akhir tahun yang tidak
membeberkan betapa sesungguhnya kekuatan yang tersimpan dalam
diri para pengajar ini. Kecuali Srihadi, Danarto dan Ananda Adhi
Moersid, kita melihat jauh dekat wajah-wajah mereka yang
sebelumnya sudah kita kenal.
Seperti Zaini
Ananda Adhi Moersid merentangkan bidang putih, seperti jalan ke
udara yang kemudian membukit-melembah dengan dua bandul yang
dinamakannya Jalur Diagonal. Karyanya yang lain bernama Segi
Tiga: juga material putih yang dibentuk menjadi segi tiga.
Konstruksi ini mengingatkan kita pada faktor ruang lingkungan,
suasana, yan dipakai sebagai bahan penciptaan oleh Seni Rupa
Baru. Kita menemukan suasana puitis dan teatral dari pendekatan
semacam ini.
Srihadi kelihatan meneruskan aquarelnya, sebagaimana pernah kita
saksikan di Balai Pajang tatkala ia memarnerkan seri
kunjungannya ke tanah Andalusia. Ia berhasil meskipun kita masih
tetap di: kasih pantai dan perahu. Bahkan salah satu lukisannya
dekat sekali dengan karya Zaini. Ia menangkap suasana, bukan
sekedar bentuk. Sementara 2 buah karya cat minyaknya
memperlihatkan kecendrungan membebaskan did dari kefasihan
pantai dan ufuk. Ia melukis perempuan yang dinamakannya Tara dan
melukis Jakarta yang pasti akan menggembirakan mereka yang
menunggununggu pelukis ini berhenti mengulang pengkajiannya pada
horison.
Yang terasa segar adalah Danarto. Pelukis yang pernah menjadi
kebanggaan Sanggar Bambu ini makin jarang muncul. Ia malah
melakukan pembaruan dalam penulisan cerita pendek. Sekarang
aktif di film sebagai direktur artistik. Ia memamerkan 5 buah
kanvas yang diletakkan berhampiran. Judulnya: Adonan-Adonan 1,
2, 3, 4, 5. Adonan satu berupa gumpalan warna biru di samping
merah, kemudian kuning, lalu putih, yang terakhir kanvas kosong.
Kesatuan ini sangat dramatis. Danarto memiliki dunia tersendiri,
tapi kadangkala terasa semakin jauh dari senilukis: seakan ia
tidak memiliki lagi ambisi mencuat di bidang itu. Padahal
potensinya besar.
Unik
Kita melihat harapan pada Sukamto yang kini lebih mengkhususkan
diri pada grafis. Dengan lima buah hasil cetak saring, ia
merupakan salah satu kekuatankini pada departemen grafis di
samping Prinka. Berbeda dengan Sulebar, yang dalam pameran ini
juga termasuk barisan tenaga muda tetapi tidak menunjukkan
sesuatu yang meyakinkan.
Ia masih saja dalam problem memindahkan kefasihan atas material
aquarel ke cat minyak, dengan hasil yang kekurangan tenaga
pesona di samping dikerjakan tanpa inspirasi. Mendingan Angkama
Setjadipradja, yang kelihatan benarbenar seorang "guru" dengan
lukisan mirip van Gogh (Lukisan Dua) tapi tanpa pretensi untuk
diakui orisinil.
Hildawati Sidharta, yang pada pameran lalu mengetengahkan
patung-patung keramik yang menarik, kini hanya diwakili satu
karya. Dalam sebuah petak yang ditaburi abu pembakaran, ia
menata bulatan-bulatan hitam. Ia juga menggarap bayangannya
dengan abu yang lebih hitam. Karena sinar lampu datang dari arah
lain, bayangan yang sesungguhnya jadi menghampar ke arah lain.
Ini menimbulkan kesan yang unik. Sayang sekali karya semacam ini
sulit dipelihara dari sentuhan atau gerayangan kaki usil.
Hamparan abu tersebut tak lagi rapih, lewat beberapa hari.
Yang mengherankan munculnya 5 buah lukisan Sardono dan partitur
Slamet itu. Sardono melukis dengan taburan cat yang semburat
pada kanvas seperti tokoh abstrak ekspresionis Amerika, Jackson
Pollock. Sedang partilut Slamet adalah partitur yang memang
jarang dilihat oleh orang di negeri ini karena tampaknya lebih
mendekati gambar. Mungkin sekali partisipasi penari dan musikus
ini dimaksud sebagai pernyataan "hubungan erat antara berbagai
cabang kesenian" di LPKJ. Ini sesungguhnya amat serius.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini