Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Semua berniat pulang

Kisah pembebasan bekas tahanan g-30-s/pki dari pulau buru dan penyambutan keluarganya di surabaya & jakarta. diantaranya terdapat buyung saleh, prof. soeprapto dan tom anwar. (tk)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPAT di hari Natal, Minggu pagi 25 Desember pekan kemarin, 2 kapal LST Teluk Tomini dan Teluk Langsa merapat di bandar Gapura Surya, Tanjung Perak, Surabaya. Di geladag tampak beberapa bungkusan, gulungan tikar, genangan air dan minyak. Di dek, di bawah tenda darurat dari terpal, sejumlah bekas tahanan duduk dengan raut tak berdarah. Mereka adalah 1.500 bekas tahanan G-30-S dari pulau Buru yang dipulangkan ke Jawa. Beberapa perwira ABRI sempat berpelukan dengan mereka, karena ternyata tetangga di kampung. Dua hari kemudian mereka baru diturunkan dari kapal. Dengan tikar lusuh di punggung, baju dan celana longgar, seorang lelaki tua tergopoh menuruni tangga LST Teluk Langsa. Sampai di dermaga, ia menepuk tanah 3 kali. "Aku wis balik nok Suroboyo" (saya sudah kembali ke Surabaya), ia bergumam. Eseis Buyung Saleh yang laris dikerumuni wartawan berkata, "kami bagaikan pengantin pria menyongsong pengantin puteri menuju pelaminan." Lewat televisi, Sumiyati melihat adiknya menaiki tangga LST Teluk Tomini. Dan di Surabaya, dengan menyewa kapal Rp 125 seorang, ia mengelilingi LST itu. Dari bawah, Abdurachman (kini 30), sang adik dan bekas mahasiswa IKIP Surabaya itu duduk di buritan. Sumiyati berputar-putar mengelilingi LST Teluk Tomini. Mereka saling melambai. Akhirnya, 329 dari 1.500 bekas tahanan pulau Buru sampai juga di Jakarta. Rabu tengah hari 28 Desember 1977 lalu, berdesakan dalam 4 di antara 7 gerbong KA Gaya Baru, mereka turun di stasion Senen. Sementara mereka dikumpulkan di peron, ribuan keluarga penjemput berjubel pada jarak 20 meter berbataskan rel. Sertu Dick Anand Ys dari Kodam V Jaya mendekati seorang wanita yang berdesak-desak di pinggir pagar besi. "Mencari siapa bu?" tanyanya. "Itu, yang di sana kok seperti Muhidi, adik saya. Tolon pak, apa benar dia," kata si wanita. Sertu Dick menyeberang mendekati seorang pemuda bekas tahanan, lalu kembali ke seberang lain. Katanya: "Itu bukan Muhidi, bu. Menurut para bekas tahanan itu, Muhidi masih di pulau Buru." Bekas tahanan itu mulai dipisahkan menurut wilayah Kodim masing-masing sebelum diijinkan pulang. Seorang bekas tahanan tua sekitar 70-an kebingungan. Ia mengenakan kacamata, berpeci hitam lusuh. Bajunya longgar. Bungkusannya tampak berat. Dengan hati-hati ia memegangi biola yang dibungkus dengan kain. Kapten Noery dari Kodim 0501 membantunya. Sejak orang tua itu turun dari kereta api, sang kapten menemaninya duduk di kursi panjang. Ia bertanya dengan ramah. Baik di Surabaya maupun Jakarta, prajurit-prajurit TNI sering tampak menolong para bekas tahanan yang berusia lanjut. Prof Soeprapto berkacamata, berpeci hitam butut. Baju putihnya tampak kumal, di kain lehernya berbintik hitam dimakan keringat. Ritsluitingnya rontok, sebiji peniti mengancing bajunya. Celananya longgar, berkaos kaki warna biru dengan sandal jepit. Ia membawa tas hitam kecil, sebuah ember, cangkir minum. Pundak kiri menyandang gulungan tikar. Siang itu, Iwan (24) menjemput bapaknya: Prof. Soeprapto. Ia anak kelima, mahasiswa FH Unair Surabaya. Bercelana jeans coklat, ia mengenakan jaket coklat US Army. Di tangannya 2 kaleng Cocacola. Pacarnya yang mungil, menemaninya: Aniek. Ia membawa sekaleng tembakau pipa Erinmore untuk calon mertuanya. Begitu Soeprapto turun dari truk di Kodim 0501 Jakarta Pusat, Iwan menangkap tubuh ayahnya. Di rumah menantunya di Kebayoran Baru, Soeprapto tak lupa memeriksakan kesehatan. Dan di hari-hari pertama ia sempat membuka-buka album lama. Orangtua yang beranak 11 itu kini baru tahu, cucunya sudah 11 orang. Di antara para bekas tahanan, yang tampak paling gembira dan gesit adalah Tom Anwar (56) bekas wartawan Bintang Timur. Ia menyandang ransel cukup besar di punggung. Mengenakan topi dan berbaju lusuh, giginya tampak menguning. Itu tak menghalanginya buat tertawa. Ia dijemput oleh adiknya, El-Hakim. Sementara kemenakan perempuannya, Adek yang kelas II SMA, sibuk membidikkan kamera mini Rollei, seorang anak lelaki menangis. Ia Dipta Dewantara (13) anak bungsu bung Tom. "Saya ditangkap ketika Dipta baru berumur 8 bulan," kata Tom dari atas truk menuju Kodim Jakarta Selatan. "Pamannya yang memberi tahu keadaan saya." Menjelang sore, Tom berkumpul kembali dengan keluarganya di kompleks perumahan wartawan, Tebet Barat Dalam. Langsung ia mandi. Ibunya, Haji Sitti Rahmah (77) - saudara sepupu wartawan B.M. Diah itu--tak puas-puasnya menciumi anaknya. Sementara isteri Tom, Lionny (50) tampak amat tenang, kelima anaknya (semua lelaki) tampak amat gembira. "Bapak tak usah jadi wartawan lagi, ah. Saya aja yang menggantikan," kata Batara (21) anak sulungnya. Ia mahasiswa FIS-UI jurusan publisistik. Sehari sebelumnya anak-anak Tom memasang beberapa piakat di tembok: Welcome home, our dearest Bung Tom The past belongs to God.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus