JUMAT, 6 Januari, adalah pesta Tiga Raja dalam penanggalan
Cereja Katolik. Atau pesta Tiga Orang Majusi, menurut versi
Protestan.
Seperti dikisahkan dalam Injil Lukas dan Mateus, tiga orang
bijaksana dari Timur itu dituntun oleh sebuah bintang misterius
di langit, untuk menyaksikan kelahiran Yesus. Datang dari tiga
tempat yang berbeda--Afrika, India, dan Yunani--ketiga orang
majusi itu melihat bintang yang sama, yang bergerak menuju suatu
tempat di Timur Tengah. Ketiganya kemudian seperti ditarik oleh
besi berani, mengikuti gerak bintang itu, sampai akhirnya mereka
sampai di kandang sapi tempat Al-Masih dilahirkan.
Lepas dari makna simbolik kisah itu, para astronom Eropa di abad
pertengahan berusaha menjelaskan hakekat bintang itu. Di abad
ke-13, dipercayai bahwa yang dilihat oleh ketiga orang majusi
itu sesungguhnya adalah tumpang-tindihnya dua planit, Yupiter
dan Saturnus, yang saling berpapasan dalam jaraknya yang
terpendek. Ini tertera dalam dokumentasi biara Worcester di
Inggeris, tahun 1285. Empat abad kemudian, Johannes Kepler
memperhitungkan bahwa kedua planit itu berpapasan dekat sekali
tahun 7 Sebelum Masehi. Lama kemudian timbul pendapat, bukan dua
planit yang berpapasan, tapi tiga. Baru tahun 1976 Dr David
Hughes dari Universitas Sheffield, Inggeris menyanggah teori
'triple conjnction' itu dengan mengatakan, bahwa bukan tiga
planit yang saling berpapasan dalam lintasan orbit satu sama
lain yang-terdekat. Tapi hanya dua planit: mula-mula satu planit
'disalib' oleh planit kedua, yang kemudian disusul lagi lantas
disalib lagi oleh planit pertama. Sehingga kelihatannya
seolah-olah tiga. planit yang nyaris baku senggol. Dari bumi,
dengan mata telanjang kelihatannya bisa seperti satu gugusan
bintang besar yang tak berkelip-kelip.
Namun seluruh teori astronom Eropa itu ditolak bulan Desember
lalu oleh Dr David Clark, orang Selandia Baru yang bekerja pada
Observatorium Greenwich di Inggeris. Setelah membongkar-bongkar
arsip-arsip astronomi kuno dari Tiongkok dan Korea, dia
mengemukakan bahwa bintang Bethlehem itu sesungguhnya adalah
suatu ledakan bintang atau "nova" yang tampak selama 70 hari
dalam musim semi tahun 5 sebelum Masehi.
Teorinya itu -- dengan beberapa penyesuaian - didasarkannya pada
catatan astronomi yang melandasi sejarah dinasti Han di
Tiongkok. Menurut catatan itu, di musim semi tahun 7 sebelum
Masehi, tampaklah sebuah bihtang berekor atau huihsing di rasi
Capricornus. Tapi karena arah gerakan komet itu tak dijelaskan
dalam catatan astronomi itu Dr Clark percaya bahwa yang dimaksud
orang-orang Cina itu sebenarnya adalah ledakan bintang, atau
nova. Dan karena menurut catatan itu ledakan bintang kelihatan
lebih dari 2 bulan lamanya di daerah rasi Capricornus, dia
menganggapnya cocok dengan uraian Injil Markus yang menyatakan
bahwa "bintang itu naik dari cakrawala timur Bethlehem, 4« jam
sebelum matahari terbenam." Begitu dikemukakannya bersama John
Parkinson dan Richard Stephenson dalam edisi Desember 1977
jurnal Royal Astronomical Society, Inggeris.
Adapun soal perbedaan dua tahun, Clark agaknya mau berkompromi
sedikit dengan pendapat umum di kalangan sejarawan Cereja, bahwa
Yesus lahir sekitar tahun 5 sebelum Masehi. Ini didasarkan pada
catatan Mateus dan Lukas, dua penulis Injil yang menempatkan
kelahiran itu dalam masa pemerintahan Herodes, yang diperkirakan
meninggal tahun 4 sebelum Masehi. Adapun kekeliruan dalam
penanggalan modern--yang ditetapkan oleh biarawan Dionysius
Exiguius dalam tahun 533--timbul karena biarawan itu alpa
memasukkan 4 tahun pemerintahan Kaisar Agustus dari Roma.
Jadi ternyata, orang Kristen pun dalam menyelidiki
peristiwa-peristiwa falaki, terpaksa menoleh ke negeri Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini