Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA awal 1938, Adolf Hitler mengancam akan mencaplok Austria bila tak mau bergabung dengan Reich Ketiga, yang mengakhiri Republik Weimar. Begitu Kanselir Austria menyerah, pengikut Nazi setempat memaksa orang Yahudi membersihkan jalan-jalan dari simbol-simbol Austria merdeka. Penuh minat, warga melihat peristiwa itu. Ketika pengikut Nazi mencuri properti Yahudi, mereka bergabung.
Petinggi Nazi tidak menyangka bahwa jalan mereka demikian mudah. Nazi tidak menduga warga Austria bersedia mengompromikan prinsip mereka begitu cepat. Inilah kepatuhan antisipatoris--warga menyerahkan nilai dan prinsip mereka kepada penguasa baru secara gratis, bahkan sebelum diminta. "Ini tragedi politik," tulis Timothy Snyder, guru besar sejarah di Yale University, Amerika Serikat.
Kepatuhan Austria mengajari pemimpin tinggi Nazi tentang apa yang mungkin: mereka dapat bergerak lebih cepat menuju perubahan rezim sepenuhnya. Kepatuhan serupa berlangsung di Cekoslovakia, setelah pemilihan umum 1946 dimenangi Partai Komunis. Warga bereaksi terhadap situasi baru secara naluriah. Cukup banyak warga sukarela melayani rezim baru. Saat mereka sadar, gerak waktu tak bisa diputar balik.
Becermin pada pengalaman historis Eropa, Snyder menulis On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Pelajaran pertamanya: "jangan buru-buru patuh". Snyder menulis karya ini karena disaput kecemasan menyaksikan arah angin politik di negerinya, Amerika: Donald Trump tampil dengan jargon-jargon yang mengingatkan Snyder pada Eropa masa lampau--Make America Great Again. Ia mengajak warga Amerika menengok sejarah dan mengingatkan ihwal masa depan yang tidak terbayangkan.
Pengalaman Eropa mengajarkan, tulis Snyder, di negara demokrasi sekalipun tidak ada jaminan masyarakat akan terus menikmati kebebasan. Anggapan bahwa warisan demokrasi akan selalu mampu melindungi warga dan institusi demokratis bakal bertahan dengan sendirinya merupakan kekeliruan berpikir, bila bukan kenaifan. "Ini refleks sesat," tulis Snyder.
Adalah salah, kata Snyder, mengasumsikan bahwa penguasa yang menaiki kursi kekuasaan melalui institusi demokratis tidak akan mengubah atau menghancurkan institusi itu. Nazi hanya memerlukan satu tahun untuk mengonsolidasi kekuasaan dan pada akhir 1933 Jerman pun menjadi negara satu partai. Semua institusi negara direndahkan. Penguasa baru mengadakan pemilihan parlemen tanpa oposisi dan menggelar referendum untuk meneguhkan kekuasaan orde baru.
Snyder menunjukkan pelajaran-pelajaran penting dari ambruknya demokrasi Eropa ke dalam perangkap otoriter, fasis, dan komunis sembari menawarkan sejumlah kiat perlawanan--mirip buku how to untuk melindungi diri ("renungkanlah bila Anda dipersenjatai"; "waspadalah terhadap paramiliter"; "pertahankan sikap"; "lakukan kontak mata dan berbicaralah"--kiat ini adalah cara untuk mengetahui siapa yang dapat dipercaya dan yang tidak).
Jangan pernah abaikan pemakaian kata-kata, bahasa, dan simbol-simbol yang menyiratkan arah perubahan politik. Snyder meminjam wawasan filolog Victor Klemperer tentang cara Nazi mengendalikan bahasa untuk kemudian mengendalikan lainnya. Melalui kata-kata, jargon, semboyan, hingga simbol dan bendera, Hitler menggangsir kekuatan semua oposisi. Di Cekoslovakia, pedagang sayur memajang seruan "Kaum buruh sedunia, bersatulah!" sebagai cara menjauhkan diri dari masalah dengan penguasa. Ketika logika serupa menyebar cepat di masyarakat dan ruang publik dipenuhi tanda kesetiaan, gagasan tentang perlawanan tidak terpikirkan lagi.
Ketika pemimpin atau penguasa mengemas kata-kata dengan begitu meyakinkan, rakyat menerimanya sebagai kebenaran sekalipun itu mengingkari fakta. Tidak semua warga sanggup mempertahankan pikiran sendiri. Namun, Snyder mengingatkan, "Menanggalkan fakta adalah menanggalkan kebebasan." Jika tidak ada kebenaran, tidak seorang pun dapat mengkritik kekuasaan, karena tidak ada dasar untuk melakukannya. Sayangnya, penguasa punya beragam cara meringkus kebenaran.
Pertanyaan yang ditunggu: "Apakah sejarah tirani di Amerika mungkin ditulis di masa mendatang?" Hingga saat ini, kata Snyder--yang karyanya, Bloodlands: Europe Between Hitler and Stalin, meraih Penghargaan Hannah Arendt--orang Amerika percaya bahwa trauma fasisme, Nazisme, dan komunisme tidak relevan lagi. "Kita membiarkan diri menerima politik keniscayaan bahwa sejarah bergerak hanya dalam satu arah: menuju demokrasi liberal. Setelah komunisme di Eropa Timur berakhir pada 1989-1991, kita terbuai mitos tentang 'akhir sejarah'." Padahal ada kemungkinan lain.
Snyder mengingatkan bahaya dalam nasionalisme nostalgia ala Trump, Nigel Farage, ataupun Marine Le Pen. "Suasana hatinya adalah kerinduan akan momen masa lalu yang tidak pernah benar-benar terjadi selama masa-masa yang sebenarnya merupakan bencana," tulis Snyder. "Godaan masa lalu yang dimitoskan mencegah kita memikirkan berbagai kemungkinan masa depan. Kita menatap pusaran mitos siklis hingga kita terjerumus."
Lewat pelajaran yang ia sarikan dari pengalaman demokrasi Eropa, Snyder berusaha meyakinkan bahwa Amerika bukanlah pengecualian dari masa depan yang gelap. Pelajaran ini, bahkan, berlaku bagi demokrasi di mana pun.
Dian R. Basuki, Blogger indonesiana.tempo.co
On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century
Penulis: Timothy Snyder
Penerbit: Tim Duggan Books
Edisi: I, 2017
Tebal: 128 halaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo