Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dua Anak Lebih… Baik?

Mengapa pertumbuhan penduduk melonjak? Buku ini memotret ragam pandangan kelompok keagamaan terhadap KB.

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peta Pandangan Keagamaan tentang Keluarga Berencana
Penulis: Lanny Octavia dkk
Penerbit: Jakarta, Yayasan Rumah Kitab dan Ford Foundation
Cetakan: I, Maret 2013
Tebal: xii + 198 halaman

Salah satu warisan terbaik rezim Orde Baru adalah keberhasilan menekan laju pertumbuhan penduduk. Keberhasilan itu ditentukan terutama oleh komitmen pemerintah dalam menyukseskan program Keluarga Berencana dan kerja sama dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Namun, sejak Orde Baru tumbang, KB pun seperti ikut centang-perenang. Laju pertumbuhan penduduk, yang dapat ditekan dari 2,31 persen (1971-1980) menjadi 1,49 persen (1990-2000), kini kembali naik. Sejak 2000, lajunya naik ke posisi 1,7 persen per tahun. Angka ini dipandang mengkhawatirkan dan belum tentu akan menjadi berkah sebagaimana impian para penyokong tesis bonus demografi.

Andai KB masih berjalan dengan baik dan berhasil, laju pertumbuhan mungkin saja bisa ditekan 0,5 persen per tahun. Namun di situlah letak masalahnya. Moto KB kini sudah berubah dari "Dua Anak Cukup" menjadi "Dua Anak Lebih Baik", dan dalam prakteknya slogan itu sering dipelesetkan menjadi "Dua Anak Lebih… Baik!" Dilihat dari angka kesuburan ibu pun, program KB kini hanya mampu bernostalgia akan sukses masa lalu.

Apa pasal? Ada hambatan komitmen dan teknis seperti desentralisasi kebijakan sebagai konsekuensi otonomi daerah, per­ubahan strategi lembaga donor/sponsor, menurunnya ketersediaan dan kualitas layanan KB, serta bermasalahnya jaminan persalinan. Namun, yang tak kalah penting, kini pun terjadi pergeseran ideologi-keagamaan ke arah penolakan yang lebih eksplisit terhadap KB.

Buku ini memetakan dan mengabarkan pandangan keagamaan berbagai kelompok Islam mutakhir berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa responden di Jakarta, Bogor, Cirebon, Yogyakarta, dan Solo. Sementara kelompok Islam yang di­ka­te­gorikan moderat, seperti Majelis Ula­ma Indonesia, Nahdlatul Ulama, Mu­ham­madiyah, dan Forum Kerukunan Umat Beragama, sudah cukup suportif, tak demikian dengan kelompok islamis lokal dan transnasional.

Pada kelompok islamis lokal semacam Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, serta islamis transnasional, semacam Hizbut Tahrir Indonesia dan kelompok Salafi-Wahabi, pembaca diajak kembali ke titik perdebatan teologis seputar KB seperti pada 1970-1980-an.

Buku ini berhasil memetakan argumen fikih-teologis, ideologis-politis, dan sosial-ekonomi yang kini digumuli berbagai kelompok terpetakan dalam menyikapi KB. Membaca berbagai argumen tersebut merupakan bagian paling mengasyikkan dari buku ini. Tim penulis berhasil mengorek data menarik dan berguna dari para responden yang mereka ajak bicara.

Pada bagian argumen teologis, kita menjumpai dalil tekstual ataupun rasional yang mereka gunakan. Para penolak menganggap KB sebagai bentuk penghilangan hak hidup seorang anak. Bagi mereka, Quran jelas dan tegas menolak itu, baik akibat dari "kemiskinan yang mendera" (min imlaq) maupun karena "kekhawatiran jatuh miskin" (khasyatu imlaq). Bagi para penolak ini, setiap makhluk melata di bumi sudah dijamin Tuhan rezekinya (QS Hud: 6). Bahkan ramainya umat akan jadi kebanggaan tersendiri bagi Nabi Muhammad di akhirat kelak (Hadis Abu Daud).

Argumen ideologis-politis dan sosial-ekonomi mereka pun unik. KB, umpamanya, dituding sebagai kebijakan tiranik (thaghut) yang mesti ditentang karena tiap muslim diklaim wajib memperbanyak jundi atau tentara (sebuah metafora untuk anak-keturunan) agar bala tentara Tuhan (jundullah) yang akan membela dan menegakkan syariat-Nya tak kalah jumlah. Dari aspek sosial-ekonomi, program KB dituding sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah yang berkewajiban (tapi gagal) dalam menyejahterakan rakyat.

Dengan membaca berbagai argumen itu, pembaca akan segera mafhum kenapa sebagian kelompok Islam justru memperlombakan jumlah anak, menggiatkan poligami, dan menganjurkan pernikahan dini. Sebagian besar argumen itu memang telah usang dan sudah pula tuntas dibahas kelompok seperti NU dan Muhammadiyah. Tapi, ya, ini tetap menantang dan menggemaskan.

Pendeknya, lewat buku ini kita bisa paham mengapa banyak petinggi partai tertentu yang tak segan punya anak lebih dari sepuluh, masih pula berpoligami, bahkan menikahi anak di bawah umur. Dari buku ini, kita pun tahu mana kelompok yang paling vokal dalam menentang Rencana Undang-Undang Pengendalian Penduduk karena itu dianggap bertentangan dengan kultur dan kebijakan kelompok mereka.

Terlepas dari persoalan akurasi beberapa data statistik, ini adalah buku yang sangat berguna bagi semua pihak yang peduli dengan laju dan dampak pertumbuhan penduduk Indonesia pasca-Orde Baru.

Novriantoni Kahar, dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus