Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pam pam lala .
Nada-nada itu menyembul sekali-sekali di suatu ketinggian. Suara sopran dan tenor yang masih di ruang lingkup satu akor mayor itu mengentak kemudian menghilang, membiarkan sepi sejenak menyelimuti ruang pertunjukan Erasmus Huis. Lantas muncul suara seorang perempuan yang jernih dan berkepanjangan, mengikuti suatu garis melodi yang irit nada namun kaya pesona. Suara sang solois perlahan-lahan berkembang menjadi suatu jalinan harmoni, matriks nada-nada, ketika barisan alto, tenor, dan bariton ikut nimbrung. Masing-masing bagian berjalan di garis melodinya sendiri, namun tak saling meniadakan.
Itulah Harangzo, sebuah nomor pendek karya Zoltan Kodaly (1882-1967), seorang komponis Hungaria. Karya-karya Kodaly khusus untuk paduan suara yang pekan lalu diperkenalkan Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parahyangan di Erasmus Huis, Jakarta, memang menyodorkan aroma baru dalam permusikan kita. Komposisinya bergerak dengan semangat Zaman Romantik yang memang menyediakan ruangan luas untuk ekspresi emosi orang per orang. Artinya, di satu kesempatan suara penyanyi bisa terdengar lirih, sayup, tapi menggelegar di lain kesempatan. Namun jalinan aransemennya mendekati karya-karya Johan Sebastian Bach, seorang empu harmoni di Zaman Barok, yang menekankan elemen-elemen simetris dan keteraturan.
Lihatlah Matrai Kepek, sebuah karya Kodaly berdurasi sepuluh menit. Mukadimahnya berjalan lembut dalam anyaman barisan penyanyi sopran, alto, tenor, dan bariton. Suasana syahdu yang sudah dibangun sejak awal itu mulai berubah manakala penyanyi sopran dan bariton menggunakan mulutnya menirukan dentingan bel dan nada rendah tuba. Sejak itu, musik menggantikan nada-nada panjang dengan nada-nada pendek serta lincah, meningkahi suasana ritmis yang semakin hangat. Pada puncaknya, para penyanyi meneriakkan keriangannya dalam finale yang cukup memekakkan. Klimaks.
Hingga akhir hayatnya pada 1967, Zoltan Kodaly memang menyimpan semangat dan kreativitas luar biasa. Sepanjang hayatnya, Kodaly mendedikasikan hidupnya untuk mengumpulkan dan mengembangkan musik rakyat Hungaria, musik kaum Magyar.
Zoltan Kodaly sudah lama mati, ketika di era 2000-an ini banyak orang mengesampingkan persamaan, dan lebih terobsesi oleh unsur perbedaanatau identitas yang membeda-bedakan etnis, kebangsaan, agama, dan ras. Namun, melihat kondisi saat ia hidup, barangkali kita dapat memahami mengapa Kodaly begitu bersemangat menegakkan identitas Hungaria. Seperti orang-orang sejenisnya, semuanya berawal dari protes. Ia menyaksikan sebuah Hungaria yang tak berdaya menghadapi dominasi budaya dan militer tetangganya, Austria. Ada rasa dikhianati ketika ia melihat kelas atas Hungaria silau, mengidentikkan diri dengan Austria. Termasuk dalam cita rasa musik yang berkiblat pada Viennese Classicism atau Klasik Wina.
Klasik Wina memang salah satu puncak pencapaian musik dalam peradaban Barat. Ada sejumlah nama besar seperti Wolfgang Amadeus Mozart, Franz Joseph Haydn, atau Christoph W. Gluck, yang mewarnai zaman emas itu. Namun, sementara Austria punya kalangan aristokrat yang menyediakan pentas khusus para komponis raksasa di istananya, kekayaan musik Hungaria sebaliknya. Musik rakyat Hungaria hidup dan sehat di antara kaum jelata Magyar sendiri. Jadi, perbedaan antara Klasik Wina dan rakyat Hungaria bukan lagi sekadar perbedaan antara dua negara, melainkan perbedaan kelas. Alhasil, sampai di sini bisa disimpulkan: pertarungan untuk mengukuhkan identitas musik dan kultur Hungaria di hadapan dominasi Austria sangat tajam.
Musik Hungaria bukan Klasik Wina, bukan Gypsy, bukan pula Turki, sebagaimana sering disalahtafsirkan. Di tengah-tengah Eropa akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yang sarat dengan pertikaian politik, tumbuh kesadaran akan identitas bangsa di antara kaum cerdik-pandai Hungaria. Zoltan Kodaly, bersama-sama dengan tokoh musik Hungaria kelas dunia saat itu, Bela Bartok, meniupkan pandangan-pandangannya yang sangat nasionalistis pada gerakan kesadaran itu. Kedua tokoh musik ini tidak hanya bergerak di lingkungan akademis (baca: etnomusikologi). Selain menjadi pelindung-pembela musik rakyat Hungaria yang paling gigih, misalnya, Zoltan Kodaly menciptakan metode belajar musik yang hingga kini masih dinilai relevan.
Menyanyikan karya terbaik Zoltan Kodaly malam ituMissa Brevis, Mez Mez Mez, dan Balassi Balint Elfelejtett Cnekemerupakan bagian dari penjelajahan musikal Paduan Suara Universitas Parahyangan. Paduan suara yang meraih beberapa gelar pada Linz 2000, First Choir Olympics di Austria, dan XLV Concorso Polifonico Internazionale Guido d'Arezzo 1997 di Italia ini, telah membawakan banyak karya komponis dunia. Di bawah konduktor Avip Priatna, mereka menyanyikan karya Mozart, Haydn, Schubert, Giovani Pierluigi da Palestrina, Slamet Abdul Sjukur, atau Tony Prabowo. Ada saat untuk berkelana, ada saat pulang, menyanyikan karya-karya lokal.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo