Perdamaian belum datang di Aceh. Tapi kehadiran lima orang asing di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh, pekan lalu tak hanya menerbitkan optimisme, tapi mungkin satu-satunya peluang untuk menghentikan konflik berdarah menahun di Serambi Mekah itu.
Mereka adalah anggota tim orientasi Henry Dunant Center, sebuah lembaga bermarkas di Swiss yang dalam beberapa tahun terakhir aktif merujukkan Tentara Nasional Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Jika perdamaian dapat dicapai, lembaga itu akan ikut terlibat dalam Joint Security Committee atau Komisi Keamanan Bersama, yang akan menjadi satu instrumen untuk memantau dan memelihara kesepakatan.
Henry Dunant Center mengirimkan tim. Pier Gorman, salah satu anggota tim, adalah mantan perwira militer Inggris berpangkat mayor yang pernah bertugas dalam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia, Kosovo, dan Sierra Leone.
Jika kesepakatan damai diteken, Gorman dan kawan-kawan akan membentuk sebuah tim pemantau gencatan senjata yang beranggotakan personel TNI, GAM, dan dari Henry Dunant.
Dua tahun lalu, tim serupa telah dibentuk untuk memantau kesepakatan "Jeda Kemanusiaan" yang ditandatangani Indonesia dan pemimpin GAM Hasan Tiro. Tapi tidak efektif. Selama masa gencatan senjata itu, 2 Juni hingga 8 Desember 2000, tercatat korban tewas 393 orang dengan korban sipil 278 orang. Sisanya, 74 anggota TNI/Polri dan 41 orang GAM. Akhirnya tim itu pun dibekukan.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengakui, gagalnya Jeda Kemanusiaan karena TNI/Polri tak sepenuhnya mendukung karena dianggap lebih menguntungkan GAM.
Sekarang tim itu hendak dihidupkan lagi. Tapi apa yang menjamin pelanggaran di masa lalu tidak berulang?
Harus diakui ada beberapa perubahan dalam konsep komisi yang baru. Wirajuda mengatakan nantinya akan ada sekitar 350 orang pemantau asing yang ditempatkan di Aceh. Mereka semua akan dikoordinasi oleh Henry Dunant, dan dipilih dari delapan negara.
Indonesia menghendaki para pemantau dipilih dari Asean. Alasannya, mereka mengerti persoalan dan mendukung penyelesaian masalah Aceh secara damai dalam konteks negara kesatuan. Sayangnya, Asean bukan pilihan favorit GAM, yang terutama sangat curiga terhadap Malaysia dan Singapura.
Hampir pasti bahwa para pemantau datang dari kalangan berlatar belakang militer. Tapi mereka dilarang membawa senjata, dan hanya bertugas mengamati. "Yang penting ada mata dan telinga dari pihak ketiga," kata Wirajuda.
Konsep ini memang meniru model tim pemantau dalam perjanjian gencatan senjata antara pemerintah Filipina dan kelompok separatis Moro. Waktu itu, sebagai tim pemantau, Indonesia mengirimkan 16 orang tentara tak bersenjata.
Keterlibatan aktif pemantau asing ini memang sudah lama diidamkan kelompok GAM sendiri. Teuku Kamaruzzaman, salah satu juru runding GAM, menilai adanya peningkatan kualitas pada komisi baru ini dibandingkan dengan yang terdahulu. Dia menilai komisi pemantau lama tak efektif karena tidak mengikutsertakan secara aktif pihak ketiga.
Wirajuda juga optimistis komisi ini akan lebih berhasil. "Soalnya sudah ada konsensus termasuk dengan TNI dan Polri," katanya. Menurut Wirajuda, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sudah menyatakan oke dengan tim internasional ini.
Tjandra Dewi, Yuswardi A. Suud (Aceh), Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini