NURHAYATI resah. Sudah tiga pekan terakhir desanya dipenuhi pasukan berpakaian loreng dan bersenjata lengkap. Pasukan Tentara Nasional Indonesia itu tengah mengepung anggota Gerakan Aceh Merdeka yang terperangkap di rawa-rawa Desa Cot Trieng, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara. Dan perempuan berusia 40 tahun itu cemas jika kontak senjata benar-benar terjadi. Sambil menggandeng anaknya, dia bercerita sempat mengungsi ke desa tetangga ketika tentara memasuki desanya. Tapi akhirnya dia kembali bersama penduduk lainnya setelah pengepungan tak kunjung selesai.
Ketegangan di Aceh memang memuncak belakangan ini. Drama pengepungan itu sudah berlangsung tiga pekan. Namun belum ada tanda-tanda TNI akan merangsek masuk. Sebaliknya, tak ada tanda-tanda GAM akan mendesak keluar.
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan pengepungan akan berlangsung sampai akhir bulan Ramadan. Batas waktu itu diberikan sesuai dengan rencana perundingan damai antara Indonesia dan GAM di Jenewa. Jika GAM tetap menolak menandatanganinya, TNI akan menggempur basis operasi mereka.
Pihak GAM, sebaliknya, berpendapat pengepungan tidak bisa menjadi dalih memaksa suatu pihak ke meja perundingan. Mereka hanya akan berdamai jika TNI menarik kepungannya.
Bagaimanapun, suasana tanpa baku tembak tapi menegangkan itu membuat warga sipil bingung: haruskah mereka mengungsi atau justru bertahan dan melanjutkan aktivitas sehari-hari?
Memang ada warga yang masih mengungsi. Tapi sebagian besar warga memilih tetap bertahan. Seorang nenek yang hidup dari berjualan bahan-bahan pokok tetap membuka kedainya. Begitu pula pemilik kebun kelapa di desa terpencil yang berjarak 18 kilometer ke arah barat daya dari Lhokseumawe itu. Tanpa ragu dia mengayuh sepedanya, mengangkut puluhan butir kelapa, melewati patroli pasukan TNI yang memenuhi jalan-jalan desanya.
Yang berbeda justru situasi Desa Keutapang, Kecamatan Nisam. Hampir 200 orang warga desa yang terletak di balik Cot Trieng ini mengungsi ke Pesantren Nurul Mubin dan Mutakalibi serta sebuah sekolah dasar.
Hal ini memancing kecurigaan Komandan Resor Militer 011/Lilawangsa, Aceh Utara, Kolonel Infanteri A.Y. Nasution. Soalnya, jarak Keutapang dengan titik pengepungan mencapai tiga kilometer, sedangkan Cot Trieng hanya satu kilometer. Seharusnya penduduk Cot Trieng-lah yang mengungsi, bukan Keutapang.
Tapi penduduk Keutapang punya alasan kuat. Masalahnya, banyak tentara yang berjaga di daerahnya menjadi sasaran tembak GAM dari rawa-rawa, sehingga mereka memilih mengungsi saja. Apalagi kontak senjata sering terdengar di malam hari, membangunkan mereka dari tidur.
TNI menduga kuat rawa gambut itu menjadi markas Panglima GAM Muzakkir Manaf. Sumber TEMPO di lingkungan militer mengatakan Manaf sering mondar-mandir di desa itu. "Hampir seluruh masyarakat di desa ini mengenal Muzzakir Manaf. Itu artinya mobilitas Panglima GAM itu cukup tinggi di tempat ini," katanya.
Keyakinan adanya beberapa tokoh pemimpin GAM di rawa-rawa gambut itulah yang membuat TNI enggan beranjak pergi. Tak aneh pula jika hampir seribu orang personel bersenjata dikerahkan ke desa kecil itu. TNI mengaku menurunkan delapan sampai sembilan satuan setingkat kompi dari berbagai satuan organik yang ada di Aceh. Sementara itu, Brimob mengerahkan satu kompi.
Tapi juru bicara GAM Sofyan Daud, yang mengaku terkepung di rawa Cot Trieng, membantah pemimpin mereka ikut terkepung di situ. "Panglima kami berada di tempat yang aman," kata Daud. Tapi keterangan ini pun belum bisa dipercaya. Soalnya, Manaf tak pernah menampakkan diri setelah pengepungan. Padahal, sebagai Panglima GAM mestinya dia tak akan tinggal diam melihat anak buahnya terkepung.
TNI punya dasar untuk curiga. Pada 11 November lalu, Front Pembebasan Aceh-Sumatera mengeluarkan pernyataan pers yang isinya mengancam akan menyerang TNI jika TNI tidak mundur dari Cot Trieng sampai batas waktu 24 jam terhitung dari pukul 10.00 tanggal 16 November 2002. Siaran pers itu ditandatangani oleh Teungku Isnandar Al-Pase, wakil juru bicara Teuntara Neugara Atjeh. Bila Manaf berada di tempat aman seperti dikatakan Daud, mengapa bukan dia sendiri yang menandatanganinya?
Berharap mendapat buruan besar, saat ini TNI menempatkan ratusan orang prajurit membentuk pagar betis untuk mencegah adanya pasukan GAM yang keluar dari rawa itu. TNI membuat tawaran akan mengampuni anggota GAM yang menyerahkan diri.
Tapi GAM berkeras bertahan dan tidak akan menyerah. Padahal kecil kemungkinan mereka bisa lolos dari situ. Sebab, pengepungan juga didukung beberapa buah tank marinir yang moncongnya diarahkan ke rawa. Belum lagi helikopter dan beberapa pesawat OV-10 Bronco yang mengawasi dari udara.
Kalaupun ada anggota GAM yang berhasil melewati lapisan pertama pengepungan ini, mereka masih harus menghadapi tiga lapis pertahanan TNI lainnya. Pengepungan dilakukan sampai radius 20 kilometer dari rawa. Di garis terluar, ditempatkan pasukan penutup. Mereka bertugas memblokir kawasan itu.
Kepala Staf Umum Markas Besar TNI Letjen Djamari Chaniago mengakui sebenarnya mereka sudah siap menyerang GAM, tinggal menunggu lampu hijau dari pemerintah. "Kalau sekarang pemerintah mengatakan sikat, akan saya sikat," ujarnya.
Namun pemerintah pusat tampaknya hati-hati memperhitungkan kemungkinan korban di kalangan sipil jika serangan dilakukan. Sofyan Daud dari GAM mengatakan semula memang ada 120 warga desa yang tinggal bersama mereka di rawa, tapi sekarang sudah pergi. Hasil pengamatan TNI menunjukkan hasil yang berbeda. Mereka yakin ada penduduk desa yang tinggal di sana. Pekan lalu, Menteri Koordinator Politik Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pihak GAM telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan menjadikan warga sipil sebagai tameng.
Tapi benarkah para pemimpin elite GAM berada di rawa itu? Sofyan Daud memang mengatakan rawa itu kini dipertahankan oleh 600 personel GAM. Anehnya, Daud, yang berkali-kali dihubungi lewat telepon satelitnya, tak menunjukkan sikap tertekan akibat pengepungan. Terkadang dia malah tertawa cekikikan. Juru bicara GAM itu mengaku masih sehat walafiat di lokasi pengepungan. "Saya tetap melaksanakan puasa. Hanya salat tarawih yang tidak kami kerjakan karena berjaga-jaga," ungkapnya.
Tjandra Dewi, Zainal B. (Lhokseumawe), Yuswardi A. S. (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini