Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Biografinya

Letjen (purn), biografinya. tahun 1965 dikenal sebagai komandan rpkad yang berhasil menumpas g.30.s pki. kini sesudah pensiun menjadi manggala tetap bp-7. (tk)

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKSI massa makin memuncak menjelang 11 Maret 1966. Para demonstran yang bergerak mendekati Istana Presiden menyuarakan tiga tuntutan rakyat: bubarkan PKI, turunkan harga, rombak kabinet. Di antara massa yang unjuk perasaan di sekitar Istana, terlihat orang-orang bertubuh kekar. Mirip anggota ABRI, tapi tanpa pangkat dan tanda pengenal. Dan orang-orang tanpa tanda pangkat itulah yang membuat Presiden Soekarno lantas terbang ke Bogor. Tak lama kemudian, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret yang bersejarah itu. Tapi, siapa persisnya orang-orang tanpa tanda pangkat itu? Kita tidak rela bila massa yang bergerak menjadi korban peluru tidak semena-mena dan barisan Cakrabirawa, pengawal Presiden. Maka, RPKAD saya keluarkan, untuk mengingatkan pasukan Cakra bila perlu. Memang, satuan kecil RPKAD saat itu tak menggunakan atribut komando, baik tanda pangkat, baret, maupun yang lain-lain. Itu rupanya yang membuat laporan yang diterima Presiden Soekarno mengatakan "tentara telah menjadi liar". Gampang ditebak, yang berbicara itu memang Letnan Jenderal (purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo, yang kala itu sebagai Komandan RPKAD (kini Kopassandha). Sarwo, ketika itu masih kolonel, dulu populer sebagai komandan yang dengan cepat dantangkas mematahkan perlawanan PKI. Misalnya, bagaimana RPKAD merebut kembali RRI Jakarta dan pangkalan udara Halim Perdanakusuma, hampir tanpa korban. Tapi kini sang komandan tak lagi di garis depan. Sarwo, bersama istri dan dua anaknya yang terakhir, lebih sering terlihat di rumah hijau di kompleks perumahan militer di Cijantung, Jakarta Timur. Dan hampir-hampir dengan jadwal kehidupan yang rutin. Menyerempet-nyerempet maut boleh dibilang tak lagi jadi bagian hidupnya. Bahkan hobi yang dulu digemari, terjun payung ("Saya ini perwira tinggi pertama yang melakukan terjun bebas"), sudah lama ditinggalkannya. Saya dulu suka atletik, sepak bola, berenang, tenis, berburu, terjun. Tapi tidak sampai jadi jempolan, dan semua saya sesuaikan dengan situasi dan kondisi. Misalnya, ketika kecil saya belajar silat karena kalah berkelahi. Saya belajar berenang, sesudah dtbohongt teman-teman dan saya hampir mati tenggelam. Menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan Sarwo di zaman pendudukan Jepang masuk Seinendan (pasukan pemuda). Dari sinilah anak Kepala Rumah Gadai Purworejo, Jawa Tengah, jatuh cinta pada dunia militer. Dan ternyata, pemuda yang lahir pada 25 Juli 1925, anak bungsu dari empat bersaudara, memang berbakat jadi tentara. Bahkan di zaman Jepang namanya populer sebagai penembak tepat dengan mortir 3 inci. "Pernah saya bertaruh dengan seorang tentara Jepang, dan saya menang," ceritanya, di rumahnya, pekan lalu. Sejak itu karier Sarwo terus menanjak. Dari komandan pasukan BKR di zaman revolusi, naik menjadi komandan kompi, dan 1962 orang yang siap "menyerahkan hidup untuk bangsa dan negara" ini menjadi Kepala Staf RPKAD. Tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai komandan kesatuan baret merah, komandan ke-6 dalam sejarah pasukan elite yang dibentuk pada 1952 itu. Sarwo memang pas sebagai komandan. Bukan cuma di dunia militer, juga di rumah, sampai sekarang. Wijiasih Cahyasari, atau Nyonya Chairil Irwan, putri sulungnya, bisa bercerita. "Setiap acara keluarga semua harus ikut, tak ada yang tidak. Dan Papi yang menentukan waktunya, dipilih pada hari semua anaknya bisa datang," tutur putri itu. Jadi, dalam keluarga ini pun berlaku hari-H, dan tanpa kecuali semua anggota - termasuk Letnan Satu Kopassandha Pramono, anak kelimanya - harus muncul. Disiplin militer, "harus taat kepada atasan, apa pun bunyi perintah itu," sedikit banyak terbawa pula ke rumah. Sebagai komandan, Sarwo pernah menolak perintah atasan. Inilah ceritanya, mengenai show of force ABRI 12 Maret 1966. Dalam hati, menurut Sarwo, sebenarnya ia agak heran diadakannya pawai ini. ("Bayangkan tank-tank dengan ban rantai besinya berialan-Jalan mengelilingi kota, jelas akan merusakkan aspal jalanan"). Toh, dia laksanakan juga perintah itu. Tapi menjelang pawai unjuk kekuatan itu diberangkatkan, datang perintah untuk membatalkannya. Di sinilah Kolonel Sarwo Edhie mempertaruhkan nama dan jabatannya. Waktu itu, baru saja saya perintahkan "jalan" dan para komandan satuan sudah menggulung petanya, siap berangkat dengan tank-tank mereka, masa saya disuruh menarik perintah. Lebih baik saya dipecat. Tapi memang itulah pawai yang paling kacau yang pernah saya pimpin. Sarwo ternyata tak dipecat. Setahun kemudian dia malah diangkat sebagai Panglima Kodam II Bukit Barisan. Tahun 1968 ia bertugas sebagai Pangdam XVII Cenderawasih, dengan misi khusus menyukseskan penentuan pendapat rakyat. Sukses di Irian Jaya, ia diangkat sebagai Gubernur Akabri Umum dan Darat (1970-1973). Di sini pangkatnya menjadi mayor jenderal. Dan inilah hubungan terakhirnya dengan dunia militer. Sarwo Edhie kemudian diangkat menjadi duta besar untuk Korea Selatan. Tentu, bagi seorang yang-biasa bergerak di lapangan dan tiba-tiba harus berkantor. mula-mula agak kikuk juga. Menurut Retno Cahyaning Tyas, anak keenam yang kini masih ikut di Cijantung, hal kekikukan itu pernah terlontarkan pada suatu pertemuan keluarga. "Tapi Bapak kemudian bisa menyesuaikan diri, kok," kata Retno lewat telepon. Maklum, tentara komando 'kan harus bisa mengatasi segala medan. Bagi yang mengenal Sarwo Edhie, ia tak banyak berubah - selain sedikit tampak gemuk. Guratan otot dan tonjolan rahangnya masih mencerminkan seorang yang siap beraksi. Sorotan matanya masih tajam, mencerminkan kewaspadaan setiap saat. Tapi Sarwo bukan tipe pejuang yang tidak memperhatikan soal berpakaian. Ia ingin selalu serapi mungkin di mana pun berada. Di rumah, tak pernah Sarwo muncul dengan kaus dan celana pendek. Ia selalu mengenakan kemeja dan celana panjang. Kini, sebagai manggala tetap di BP-7, selepas sebagai inspektur jenderal di Deplu tahun lalu, Sarwo biasa berangkat kerja pukul 07.00 bila ada penataran P-4. Bila tidak, cukup santai, ia berangkat pukul 09.00, dengan mobil dan sopir pribadi - Wirto, nama sopir itu, dari Majenang, Jawa Barat. Sore dan malam hari waktunya dihabiskan dengan membaca surat kabar, dan nonton televisi. Atau, ngobrol dengan anak dan istri. Tentang rumah dinas militer, yang dulu, 1965-1966, dijadikan tempat berkumpul oleh para aktivis 1966, menurut Sarwo, "dari rumah inilah lahir istilah lasykar." Tapi bukan karena itu bila ia bersama Sunarti Sri Hadiyah, putri Yogya yang dinikahinya pada 1949, kini masih kerasan di situ. "Rezeki belum ada, untuk bikin rumah pribadi" katanya. "Bagi saya, lebih baik tidak memiiki daripada memiliki sesuatu, tapi sebenarnya bukan haknya, baik dari segi yuridis, historis, kultural, maupun moral." Suasana rumah dinas itu rapi dan sederhana. Kemewahan yang tampak di rumah itu bila memang boleh disebut mewah - adalah koleksi keris, mandau, pedang, lalu berbagai guci hadiah sewaktu Sarwo menjadi duta besar. Bukan untuk menonjolkan hadiah-hadiah itu bila dipajang di ruang tamu, tapi untuk menghargai pemberi hadiah. Seperti juga bukan atas kemauan Sarwo Edhie sendiri, bila ia begitu populer pada pertengahan 1960-an. Dan sebenarnya tantangan 1960-an bagi Sarwo bukanlah yang terberat. "Perjuangan terberat adalah melawan Belanda dulu. Kami harus melawan tentara profesional dengan persenjataan yang tak seimbang," tutur kakek delapan cucu ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus