Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Biennale Jogja 2023.
Beberapa seniman memamerkan karya di museum dan rumah warga.
SEBUAH bufet kayu tua berukir dipenuhi foto-foto tua di ruang tamu Museum Bibis di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahad, 22 Oktober lalu. Museum itu bekas tempat Letnan Kolonel Soeharto, yang kemudian pada zaman Orde Baru memimpin Indonesia, mengatur strategi menghadapi agresi militer Belanda. Foto-foto itu secara kontras menampilkan foto-foto masa muda dua eksil Indonesia 1965 yang tinggal di Eropa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini keduanya sudah sepuh. Keduanya berkisah lewat video terpisah yang ditayangkan di dua layar televisi datar yang berdampingan. Saat itu mereka dikirim bersekolah ke negara-negara sosialis, terutama di Eropa Timur, pada 1960-an. Hingga hari ini mereka “terpaksa” menghabiskan pengujung umur di Republik Cek. Seniman kontemporer asal Bandung, Vincent Rumahloine, merekam kehidupan mereka dalam bentuk video. Mereka kehilangan rumah, membangun identitas baru, juga beradaptasi dengan budaya baru. “Kisah-kisah mereka cermin dari periode sejarah yang dinamis, sekaligus tragedi kemanusiaan tentang pemisahan,” demikian Vincent Rumahloine menulis pengantar karyanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di rumah tua itu juga disajikan instalasi Jompet Kuswidananto yang bertema roh. Bunyi “ting-ting” mengusik telinga. Terlihat penampakan lima sosok tanpa kepala mengenakan pakaian pemain drum band tempo dulu. Komandannya yang paling depan mengenakan topi pet putih mirip polisi lalu lintas dengan beberapa bulu ayam disematkan di sisi depan. Yang lain ada yang mengenakan topi pet, juga serban berwarna putih, cokelat, dan hijau.
Mereka mengenakan rompi putih dan sepatu bot panjang dengan alat perkusi menggantung di dada. Sekilas memang seperti hantu. Kostum drum band mereka melayang. “Itu rombongan roh pasukan Pangeran Diponegoro atau roh pejuang kemerdekaan yang tak siap mati dalam perang,” demikian Jompet Kuswidananto menjelaskan karyanya yang berjudul Anno Domini (2011), bagian dari serial karya tentang perubahan politik dan kebudayaan Jawa seusai Perang Diponegoro, tersebut.
Selain di Museum Bibis, pameran Biennale Jogja 17 diadakan di desa. Salah satunya di sebuah rumah tua milik Mbah Somo yang sebagian sudah roboh. Mbah Somo telah meninggal. Lokasi rumahnya di Dusun Ngentak, RW 11, Desa Bangunjiwo. Rumah limasan itu sebagian berdinding kayu, sebagian anyaman bambu. Sementara bangunan kedua terletak di belakang, bangunan utama sudah tak berdinding. Atapnya meliuk nyaris menyentuh tanah. Satu-satunya dipan kayunya pun bolong tanpa kasur. Itulah rumah Mbah Somo yang meninggal beberapa tahun lalu.
Seniman Jelica Jovanovic dari Beograd, Serbia, menjadikan rumah kuno itu sebagai obyek riset dan karya seninya. Lulus studi arsitektur di negaranya, ia menjadi kolaborator untuk berbagai institusi perlindungan warisan budaya sejak 10 tahun lalu. Kali ini ia berkolaborasi dengan mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Jovanovic mempertahankan bangunan utama dari kerusakan. Mereka memperbaiki dindingnya, membuat langit-langit dari anyaman bambu. Sementara itu, kayu-kayu penyangga bangunan dan langit-langit tetap dipertahankan.
Ia mendokumentasikan proses perbaikan rumah itu dalam bentuk foto ataupun gambar desain yang dipajang di dalam rumah. Foto-foto pemugaran bangunan-bangunan cagar budaya lain di negaranya juga disertakan. “Mereka menemukan rumah itu dan menjadi lokasi untuk belajar arsitektur rumah Jawa,” ucap kurator Adelina Luft dari Rumania dalam temu media di Taman Budaya Yogyakarta pada Rabu, 4 Oktober lalu.
Kolaborasi dengan warga juga dilakukan seniman Yogyakarta dan Direktur MES 56, Anang Saptoto. Di kebun pepaya yang dikelola Sadhir, seorang warga desa, Anang mengajak mahasiswa membangun sistem pengairan dan gubuk dari bambu. Sementara itu, di samping kebun, seniman residensi asal Bukarest, Rumania, Dan Vezentan, membuat instalasi dari bambu. Ia memadukan puluhan beronjong bambu dengan batang-batang bambu. Beronjong bambu biasanya digunakan warga desa untuk menyimpan sayur.
“Saya belajar teknik buat mendirikan bambu yang menopang beronjong-beronjong itu,” tutur Vezentan, yang juga melibatkan warga setempat. Ia meyakini sejarah lokal yang diwariskan turun-temurun punya signifikansi membentuk pola kehidupan warga di sana. Sadhir diajak Anang dan Vezentan untuk berkolaborasi. Pembuatan instalasi air membutuhkan waktu dua pekan, sedangkan pembuatan instalasi bambu sekitar satu pekan. “Baik instalasi air maupun gubuk itu tetap ada di sini meskipun acara (Biennale) selesai,” kata Sadhir saat ditemui Tempo di kebun pepayanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hantu Desa dan Sejarah Lokal"