Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FRANS Seda sedang sakit ketika menerima delegasi Dana Moneter Internasional (IMF), di bawah pimpinan Tun Thin, yang berkunjung ke rumah di Jalan Sriwijaya. Selama sehari penuh Tim Ekonomi dan Ketua Presidium Kabinet, Jenderal Soeharto, telah berdiskusi dengan mereka tentang rencana rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi Indonesia pada 1966 itu. Utang Indonesia ke luar negeri menumpuk tinggi, tak mungkin dibayar dengan devisa hasil penerimaan negara yang kian merosot akibat ekspor turun dan inflasi sangat tinggi. Karena itu, utang baru bisa dibayar kalau ekonomi dipulihkan dulu.
Dari hasil pembangunan kelak, utang bisa dicicil. Karena itu, perlu kredit luar negeri baru untuk mendorong pembangunan agar bisa mencicil utang. Kerja sama dengan negara-negara kreditor tentu diperlukan. Dan IMF menawarkan diri membantu Indonesia menanggulangi utang. Namun ini memerlukan dukungan politik pemerintah, yang ketika itu masih dipimpin Presiden Soekarno, dengan pelaksana harian Presidium Kabinet yang terdiri atas Jenderal Soeharto selaku ketua dan Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, serta Idham Chalid sebagai anggota.
Tanggung jawab kebijakan keuangan 1966-1968 berada di tangan Menteri Keuangan Frans Seda. Tim Ekonomi bisa menyusun program berdasarkan perhitungan data dan statistik. Tapi mereka tak punya wewenang politik. Mungkinkah Indonesia kembali masuk ke lembaga-lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, dan IMF, serta menjalankan kebijakan kredit luar negeri setelah Presiden Soekarno secara lantang pernah mengucap ”Go to hell with your aid”?
Di rumah Jalan Sriwijaya inilah pertama kalinya saya melihat pergumulan hati dalam diri Frans Seda. Selaku ekonom, dia memahami sepenuhnya kegawatan krisis ekonomi yang sedang kita hadapi. Tapi dia juga mengenal hati sanubari Presiden Soekarno. Masyarakat ramai ketika itu sedang mencaci-maki Bung Karno.
Frans Seda punya banyak pengalaman indah dengan Bung Karno. Pada 1936, ketika duduk di kelas II Schakel School di Ende, Flores, Frans Seda ditugasi menyambut kedatangan Bung Karno di sekolah. Sejak itu, ia ikut dalam gelombang semangat nasionalisme yang dibangkitkan Bung Karno dengan cerita-cerita kepada anak-anak di Ende. Semangat nasionalisme ini membawa Frans Seda merantau ke Jawa untuk kemudian ikut berjuang dalam revolusi 1945 di Muntilan. Dia kemudian dipilih Presiden Soekarno menjadi Menteri Perkebunan (1964-1966), Menteri Pertanian (1966), dan Menteri Keuangan (1966-1968)—dilanjutkan oleh Presiden Soeharto menjadi Menteri Perhubungan (1968-1973).
Di tangan Frans Sedalah terletak beban kewajiban meyakinkan Presiden Soekarno dan para menteri ”Orde Lama” untuk mengubah haluan kebijakan pembangunan nasional, 180 derajat, dari semula xenophobia menjadi lebih bersahabat dengan negara-negara kreditor Barat—mengubah pola kerja ”tanpa anggaran” menjadi bekerja dengan ”anggaran berimbang”: pengeluaran anggaran ditentukan oleh kemampuan naiknya penerimaan anggaran. Kebijakan keuangan ini mengharuskan pemotongan anggaran negara secara drastis. Pada pundak Frans Seda dipikulkan tanggung jawab bisa meyakinkan para menteri dan jajaran departemennya agar menerima program rehabilitasi dan stabilisasi ini.
Di samping menggarap dukungan politik di dalam negeri, penting juga peran Menteri Keuangan Frans Seda membuka jalan ke luar negeri: merintis pembentukan konsorsium negara kreditor yang bersahabat membantu Indonesia mengatasi krisis ekonomi. Konsorsium ini terbentuk pada 1968 dengan nama Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Pemerintah Belanda dianggap paling mengenal Indonesia sehingga bisa menjadi pintu masuk merangkul negara-negara Eropa. Amerika Serikat dan Jepang dianggap perlu ikut serta dalam konsorsium mengingat kekuatan ekonomi mereka yang besar di masa itu.
Posisinya selaku Menteri Keuangan dalam menyelesaikan masalah politik utang luar negeri sangat penting. Dia juga menjabat Ketua Partai Katolik di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan selama pemerintahan Soekarno sangat anti-Barat. Pribadi Frans Seda yang memuat perpaduan identitas rohani Katolik dalam jiwa nasionalis Indonesia membuat ketokohannya kredibel di mata negara-negara kreditor. Jadi jasa Menteri Keuangan Frans Seda dalam membangun dukungan politik dalam dan luar negeri untuk menanggulangi kemelut krisis ekonomi Indonesia (1966-1968) sungguh besar.
Setelah Ketua Tim Ekonomi Widjojo Nitisastro membentangkan betapa rumitnya usaha penanggulangan krisis ekonomi dari sudut ekonomi dan politik, Frans Seda bangkit dari posisi berbaring, lalu berdiri tegak, dan dengan senyum lebar berkata, ”Kalian telah membangkitkan semangat berjuang sebagai obat penyembuh penyakit saya. Saya terima tantangan yang kita hadapi. Mari kita bekerja.” Sejak itu, mulailah roda program rehabilitasi dan stabilisasi bergelinding sampai terkendalinya laju inflasi (1968), dan membuka kesempatan Indonesia memasuki tahap Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Manusia Frans Seda adalah perpaduan unsur-unsur anak Flores, beridentitas rohani Katolik, dan berwarga nasional Indonesia. Sebagai anak Flores yang dibesarkan oleh ayah yang seorang guru, Frans Seda digembleng dalam asrama sekolah rakyat di Ndao, tak jauh dari Ende, tempat kelahirannya. Pendidikan sekolah beragama Katolik mengantar Frans Seda ke dalam spiritualitas hidup prihatin bersama gereja dengan ciri khas ”doa, tapa, dan kerja keras” sebagai cara beragama dan bergereja di Flores. Frans Seda muda dikirim ke Muntilan, belajar menjadi guru di sekolah Romo Frans van Lith. Masa belajarnya terhenti akibat perjuangan revolusi 1945 yang aktif dia ikuti. Dan berkembanglah dalam jiwa Frans Seda semangat nasionalisme Indonesia.
Semangat Flores yang gandrung pada pendidikan tersalurkan dalam kegiatan Frans Seda memimpin kaum awam Katolik membangun Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya atau ”the spirit prevails”, roh yang jaya sejak 1 Juni 1960, dengan modal Rp 500 masa itu. Semangat yang mendorong lahirnya universitas ini adalah melibatkan diri aktif dalam proses mencerdaskan bangsa dan menegakkan motif keadilan sosial.
Cinta tanah-asal Flores, cinta agama Katolik, dan cinta tanah air adalah ciri-ciri menonjol dalam diri pribadi Frans Seda. Di tempat kelahirannya, Frans Seda membangun Soa Wisata atau rumah wisata, yang dijadikannya pusat penggerak ekonomi pertanian, perikanan, peternakan, hortikultura, serta pelatihan pemuda mengembangkan jasa-jasa hotel, restoran, dan pariwisata.
Beliau juga duduk mewakili Indonesia dalam kerja sama Timor Gap antara Indonesia dan Australia (Northern Territory) mendorong pembangunan Indonesia bagian timur. Selaku Menteri Perhubungan (1968-1973), dia mengembangkan pelayaran dan penerbangan perintis dengan subsidi pemerintah untuk menutup ketertinggalan pembangunan Indonesia bagian timur dari Indonesia bagian barat.
Dalam mengembangkan agama Katolik, dia terpilih menjadi anggota Komisi Kepausan Iustitia et Pax (1984-1989) dan anggota bidang Sinode I/Awam di Roma. Ia mendampingi Sri Paus Paulus I dalam kunjungannya ke Indonesia (1970) dan menjadi Ketua organizing committee bagi kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (1988). Frans Seda menunjukkan suksesnya dua kunjungan itu, membuktikan bahwa kerukunan hidup beragama dalam masyarakat Indonesia bisa ditegakkan.
Pada suatu kesempatan, kami sekeluarga mengunjungi keluarga Frans Seda di Soa Wisata, Ende, dan duduk di tepi pantai. Ketika matahari mulai terbenam dan memancarkan keindahan merah warna langit, berpadu dengan kebiruan warna laut, terdengar petikan alat musik sasando mengiringi suara perempuan menyanyikan lagu kesayangan Frans Seda: ”Bo lele bo, baik lebih baik, tanah Flores lebih baik….”
Emil Salim,
Mantan anggota Tim Penasihat Ekonomi Presiden (1966)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo