Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faris Al Faisal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZA GUDNY FARISDOTTIR hanya bisa memandangi keindahan musim dingin dari kaca jendela yang ditempeli embun. Bocah perempuan berusia 7 tahun itu sebenarnya sudah rindu bermain bola salju di pelataran Gereja Hallgrimskirkja sambil memandangi puncak bangunannya yang menunjuk langit. Ayahnya pernah berjanji akan datang pada saat salju benar-benar menebal di Kota Reykjavik, Islandia. Namun, saat seluruh Kota Reykjavik telah dibungkus salju dan kerut dingin es, ayahnya belum datang juga. Bahkan keberadaannya kini hilang secara misterius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minggu lalu, Za Gudny menelepon ayahnya yang bekerja di Kota Edinburgh. Dalam sambungan seluler itu, ayahnya akan pulang tiga hari lagi. Namun, ini sudah lewat tiga hari dari hari yang dijanjikan, ayahnya tak kunjung datang. Berkali-kali ia mencoba menghubungi ayahnya, tapi nomor telepon yang ditujunya selalu terputus. Ibunya, Zamira Junaididottir, pun ikut cemas memikirkan suaminya. Kabar yang beredar menyebut, di Edinburgh, cuaca tiba-tiba menjadi ekstrem. Musim dingin dengan badai salju menimbun sebagian kota. Beberapa warga menjadi korban karena fenomena alam yang tak biasa itu. Segala alat komunikasi dan transportasi yang menghubungkan Kota Edinburgh tak berfungsi untuk beberapa hari ke depan. Hanya sepenggal harapan dan sepotong doa, semoga suaminya, Faris Fauzison, terlindungi dan bisa selamat hingga kembali berkumpul dengan keduanya.
"Apa kita hanya duduk-duduk di rumah, Bu?"
"Apakah pantas, saat ayahmu tak ada kabar berita, kita keluar untuk bersenang-senang, Nak?"
"Kita keluar bukan untuk bersenang-senang, Bu."
"Lantas, untuk apa?"
"Kita mencari kabar tentang ayah."
"Di mana? Ke mana?"
Za Gudny tak menjawab. Matanya yang bening kebiruan menitikkan air kesedihan. Sedih yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata yang ringkas. Sebab, bagi anak-anak sekecil itu, kesedihan bisa muncul mendadak karena keinginan yang tak terpenuhi. Maka tak heran jika anak-anak lebih cepat menangis dibandingkan dengan orang dewasa.
Di pinggiran Kota Edinburgh, di sebuah rumah batu, seorang kakek tua bernama Jhonur Davidson menyalakan kayu bakar di tungku penghangat ruangan. Beberapa hari yang lalu, ia dan cucu perempuannya yang sudah gadis, bernama Zinnia Jhondottir, menemukan seorang lelaki yang tertimbun salju di jalanan. Separuh tubuhnya hampir membeku dan tak dapat bergerak. Kakek dan cucu itu lalu membawa lelaki tersebut ke rumahnya. Tak ada pilihan lain karena jalanan menuju rumah sakit atau klinik telah tertutup salju tebal. Terlalu berisiko jika memaksakan untuk melintasi gunungan salju.
Tubuh lelaki itu kini masih terbaring lemah. Ia masih belum banyak bicara karena lidahnya masih kaku untuk digerakkan, bahkan sebagian alat geraknya belum tangkas benar sekalipun untuk bergeser dari duduknya.
"Ah, sebaiknya Tuan Farisir Fauzison beristirahat saja, berselimut atau menghangatkan tubuh dekat-dekat dengan tungku penghangat. Cuaca masih belum menentu, bahkan bisa jadi bertambah buruk," ucap Zinnia.
"Apa sudah kau beri sup oatmeal, Zinnia?" tanya Kakek Jhon sambil menyalakan sebatang rokok.
"Sudah, Kek," jawab Zinnia sambil membereskan mangkuk dan gelas untuk dibawanya ke belakang. Sebentar kemudian, gadis cantik berambut pirang itu telah kembali.
"Apakah keadaan Kota Edinburgh sudah pulih, Kek?"
"Wali kota dan tim penanggulangan bencana sepertinya sudah berbuat maksimal, tetapi salju seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Barangkali kita mesti bersabar."
Mendengar pembicaraan kakek dan cucu, Farisir Fauzison tiba-tiba teringat anak dan istrinya. Tentu keduanya sedang menunggu kedatangannya. Za Gudny dan Zamira tentu cemas dan tak tahu keadaannya sekarang. Menyedihkan memang ketika tak bisa memberikan kabar kepada keluarga. Entah berapa lama ia akan tinggal di rumah itu menunggu salju mencair.
DARI kejauhan, Gereja Hallgrimskirkja seperti istana diselimuti salju. Bentuknya artistik berupa organ raksasa dengan menara tingginya. Di halamannya yang luas, Za Gudny melangkah meninggalkan tapak-tapak sepatunya di jalanan bersalju. Langkahnya menuju tangga menara lalu perlahan menaiki ketinggiannya. Sepanjang memanjat, matanya selalu menuju jalanan yang memungkinkan jika ayahnya pulang akan kelihatan dari tempatnya berdiri.
Setahun yang lalu, bersama ayah dan ibunya, Za Gudny menikmati keindahan musim dingin dengan bermain bola-bola salju. Konon, permainan ini sudah ada di Eropa sejak abad pertengahan. Dan, bagi keluarga Farisir Fauzison, mereka merawat tradisi itu setiap datang musim dingin. Meskipun tampak sederhana, diperlukan waktu yang tepat untuk melaksanakannya. Sebab, bola-bola salju dibuat dari bulatan salju yang terus digelindingkan. Makin lama kian besar. Bola-bola salju itu dikenal dengan nama crust.
"Kau tahu Za Gudny," kata ibunya saat itu, "crust ini dapat dibuat snowmanorang-orangan salju."
"Bagaimanakah caranya, Bu?" Za Gudny penasaran. Namun ibunya justru menunjuk ke arah ayahnya yang tengah menyusun bulatan-bulatan bola salju.
"Lihatlah, Za, ayahmu sedang membuatnya!"
Za Gudny tertegun. Ia lalu tersenyum melihatnya. "Seperti boneka?"
"Boneka salju, Za," kata ayahya.
"Wah, indah sekali! Seperti panda." Za Gudny mendekati boneka salju. Tangannya mengelus-elus kepala boneka. Ayah dan ibunya tersenyum.
"Apa kamu suka, Za?" tanya Ayahnya. Lelaki itu duduk berlutut meminta jawaban putri satu-satunya itu.
"Suka, suka sekali! Tapi sayang tak ada mata, hidung, dan mulutnya," ujar Za Gudny.
"Tak berbaju juga, iya kan, Za?" kata ayahnya kemudian.
"Iya, tak pakai topi juga syal," ujar Za Gudny.
"Wah, kamu cerdas Za," ucap ibunya bangga.
"Lain waktu kita akan membuatnya dengan semau kita. Kita bisa menambahkan mata, hidung, mulut, memberinya baju, syal, topi, dan aksesori lainnya," kata ayahnya.
Za Gudny mengusap air matanya yang meleleh. Ia masih menyimpan dan mengingat percakapan itu. Kembali pandangannya menyapu bersih halaman dan jalanan di sekitar Gereja Hallgrimskirkja. Sekalipun musim salju, cahaya matahari hari itu berhasil menerobos udara dingin. Orang-orang keluar dari rumahnya untuk bermain salju. Za Gudny melihatnya dan ia bertambah rindu. Ah Ayah, mengapa tak pulang?
ZAMIRA Junaididottir cemas. Za Gudny tak ada di rumah. Semula ia menduga putri tercintanya sedang bermain boneka di dalam kamarnya. Namun, saat ditengok, dia tak ada. Ia segera meraih mantel dan topi lalu keluar mencari anaknya.
Rupanya matahari muncul juga, batinnya gembira. Ia berpikir sejenak. Lalu diputuskan untuk mencari Za Gudny di halaman Gereja Hallgrimskirkja. Anak itu pasti bermain-main di menaranya, pikirnya.
Di halaman gereja tampak ramai dengan orang-orang yang ingin beribadah, berkunjung, ataupun bermain salju. Semula, Zamira Junaididottir akan langsung menuju menara untuk mencari Za Gudny, tapi ia urungkan sejenak. Entah mengapa ia ingin sekali berdoa. Menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan. Langkahnya kemudian telah memasuki ruang peribadatan gereja.
Siang belum sepenuhnya diturunkan dari langit, sejenak Zamira Junaididottir menjadi hamba Kristus yang lebur dalam bacaan mazmur-mazmur Daud ke dalam isyarat hatinya yang menghujan air mata. Segenap permohonannya ia sampaikan dengan khusyuk dan menggenapkannya dengan iman. Lonceng besar gereja berdentang pelan digoyang burung-burung yang juga menikmati keindahan musim dingin.
Zamira Junaididottir meninggalkan gereja menuju menara. Ia baru saja melintasi seorang lelaki bertopi yang sedang asyik membuat snowman. Ia sebenarnya ingin melongok wajah lelaki itu, tapi perasaannya belum tenang jika belum bertemu Za Gudny. Sehingga ia tak lagi memedulikannya.
Dia mendaki tangga-tangga menara itu. Zamira Junaididottir berpapasan dengan beberapa orang yang hendak turun dari menara. Ia bisa saja bertanya tentang keberadaan Za Gudny di puncak sana. Namun, pemikiran itu ditepisnya. Sampai di puncak, Zamira tak melihat siapa-siapa kecuali seorang bocah perempuan yang terus menatap seseorang di bawah sana. Bukankah seseorang itu adalah lelaki yang dilewatinya sebelum naik ke menara tadi, pikir Zamira.
"Za Gudny, siapa yang kamu lihat, Nak?"
"Oh Ibu, rupanya Ibu ada di sini."
"Ibu cemas, makanya Ibu mencarimu. Apa yang kamu lihat di bawah sana?"
"Sepertinya orang itu sedang membuat boneka salju."
"Iya benar, Za."
"Apa Ibu kenal?"
"Entahlah, Ibu tak sempat melihat wajahnya."
"Sepertinya Za kenal. Ayo Bu kita turun."
Keduanya turun dari menara. Tangan Za Gudny menarik-narik lengan ibunya agar bisa berjalan lebih cepat. Selama perjalanan menuruni tangga, tak ada percakapan lain kecuali ucapan Za Gudny, cepat Bu, Za yakin orang itu yang kita tunggu.
Boneka-boneka salju telah berdiri menyambut Za Gudny dan Zamira. Jumlahnya belasan. Keduanya terpana melihatnya. Namun lelaki itu justru duduk membelakanginya sambil terus memadat-madatkan bulatan salju.
"Ayah, Ayah Farisir Fauzison?"
Lelaki itu menghentikan pekerjaannya. Ia berdiri perlahan lalu membalikkan tubuhnya. Za Gudny dan ibunya terkesiap.
"Ini boneka-boneka salju untukmu Za," ucapnya luruh.
Za Gudny dan ibunya segera menghambur ke arah lelaki itu. Ketiganya berpelukan dengan bertangisan.
"Maafkan Ayah karena baru bisa pulang."
"Tak apa Ayah, tak apa."
"Asal Ayah pulang, kami sudah senang. Terima kasih Tuhan, engkau mengabulkan doa-doa kami."
Farisir Fauzison kemudian menceritakan semuanya. Za Gudny dan ibunya menyimak. Sesekali mata mereka berkaca-kaca.
"Tapi Ayah selalu ingat dengan boneka salju."
Za Gudny tersenyum bahagia. Ia memeluk ayah dan ibu seperti tak mau lepas lagi.
Indramayu, 2019.
Faris Al Faisal lahir dan tinggal di Indramayu, Jawa Barat. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu dan Forum Masyarakat Sastra Indramayu. Menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya antara lain kumpulan cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek (Karyapedia Publisher, 2017), novelet Bingkai Perjalanan (LovRinz Publishing, 2018), dan antologi puisi Dari Lubuk Cimanuk ke Muara Kerinduan ke Laut Impian (Rumah Pustaka, 2018).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo