* IMPIAN NYOMAN SULASTRI DAN HANIBAL * POTI WOLO Oleh: Gerson Poyk Penerbit: Karya Grafika Utama, Jakarta, 1988, 155 halaman dan 90 halaman GERSON Poyk (lahir di Rote, Timor, 1931) adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik di negeri ini. Cerpennya Oleng Kemoleng -- dimuat dalam majalah Horison, Juli 1968 diakui sakti. Ia menampilkan warna lokal, bahasanya yang lentur kadang bisa begitu mengharukan. Sebagai wartawan, pemenang dua kali Hadiah Adi Negoro, ia banyak melakukan petualangan. Khususnya di Bali, ia punya kenangan tersendiri. Kombinasi sastrawan dan wartawan itulah yang agaknya melahirkan novel: Impian Nyoman Slastri dan Hanibal. Impian Sulastri menceritakan asmara Hanibal, seorang wartawan, intelektual yang ditimbuni oleh buku-buku: Freud, Jung, Gibran, Camus, Sartre, Kierkegaard, Jasper, Kant, Feuerbach, Hegel, Marx, Lenin, Mao, Alexis de Tocqueville, dan Takdir Alisjahbana -- dengan seorang penjaga warung dari desa Bedaulu. Kombinasi yang unik. Buku ini terdiri dan tiga bagian. Bagian pertama menceritakan perkenalan, kemudian perkembangan cinta. Sulastri kewalahan melihat Hanibal yang misterius. Di samping sudah terikat perkawinan, ia juga dekat dengan Barbara, mahasiswi teater dari Iowa yang sedang mempelajari teater di Bali. Bagian kedua adalah buku harian Hanibal, yang menjelaskan siapa dia. Sedangkan bagian ketiga, yang terdiri dari dua halaman, adalah akhir cerita. Sulastri memilih Hanibal, yang berusaha mendirikan majalah berbahasa Inggris di Bali. Mereka menikah di catatan sipil, kemudian berbulan madu di bibir kawah Gunung Batur, Kintamani. Di sana Hanibal akan menulis buku Ecce Homo, yang sudah ditunggu oleh sebuah penerbit. Gerson tak punya kesulitan untuk bercerita. Segalanya mengucur begitu lancarnya nyaris bualan. Mengapa? Karena segala yang ingin dikatakannya langsung jadi. Sebagai contoh: bagian pertama, yang merupakan penuturan Sulastri ini (wanita Bali, penjaga warung), lebih merupakan renungan seorang wartawan "ibu kota": "... Dia tidak mengetahui bahwa semua ini nuansa romantis yang sekaligus suatu taktik ekonomi pedagang kopi pedesaan yang miskin .... Aku seorang gadis yang masih sangat murni .... Cubit-mencubit cuma sekelumit romantik pedesaan Bali. Ini juga sebuah irama iseng yang bisa menarik turis untuk duduk di warung di pedesaan Bali. Lebih dari mencubit paha, tak usyeh yeah! (halaman 28). "Aku sangat sedih melihat anak-anak SD di desaku bermain dengan mainan plastik buatan Jepang atau Hongkong atau Taiwan. Aku ingin agar anak-anak didikku tumbuh dalam kekayaan citra negeri sendiri, negeri kepulauan, negeri perairan" (halaman 47). Sementara itu, Barbara, mahasiswi dari Iowa, hadir begitu lemah dan cengeng. Ia membuat pengakuan di depan Sulastri: ".... Selama di Amerika Serikat, akulah yang mendampingi (Hanibal), Nyoman .... Tetapi memang, aku dianggapnya cuma nomor. Ah, barangkali aku percaya juga pada nasib. Ini sudah nasibku. Ini korban peradaban. Aku seorang sarjana tetapi perempuan nomor sekian" (halaman 87). Sedang tokoh Hanibal, yang kelihatan begitu jantan, ugal-ugalan, dan jago: "Aku menambil pisau lipat dan kubakarkan ke api sekali lagi. Kutikamkan ke telapak kiriku. Darah mengucur. Kuambil darahku dengan ibu jariku, ibu jari kananku, lalu aku cap saja itu dengan cap jempolku yang sudah dilengketi darahku sendiri" (halaman 101) -- tak bisa mencegah kita untuk menyamakannya dengan penulis sendiri. Apakah ini kesengajaan Gerson? Usahanya untuk mengejek pembaca? Jelas terbayang, kelompok pembaca yang dibidiknya adalah kelas ibu rumah tangga yang tak suka berpikir. Anak-anak muda yang bertabiat menelan. Serta pembaca lain yang hanya butuh hiburan gombal. Kalau benar, ini adalah bukti kemerosotan apresiasi yang luar biasa. Novel Poti Wolo, kua ide jauh lebih kukuh dari Sulastri. Novel tipis ini merupakan pengembaraan seorang lelaki yang sedang dibius, karena kakinya nyaris diamputasi. Imajinasinya mengembara seperti Alice bermimpi tentang negeri ajaib. Dalam khayal seperti itu, segalanya memang bisa terjadi. Di situ segala bualan jadi sah. "Keedanan" Gerson di sini mendapat wadah yang pas. Tetapi masalahnya kemudian, untuk apa keedanan itu. Membaca Poti Wolo mengingatkan saya pada novel 1984-nya George Orwell. Samar-samar ada kesan penulis ingin bicara tentang "penguasa absolut". Kata absolut yang juga dijumpai dalam novel Sulastri agaknya sedang menjadi obsesi penulis. Dalam novel ini, seperti tokoh sentral 1984, tokoh Gerson bertemu dengan seorang wanita dan melakukan percintaan yang terlarang. Tetapi sesudah itu? Saya sulit menemukan apa yang hendak dijotos oleh Gerson. Tiba-tiba saja, setelah capai membual (sekali ini dalam arti melakukan pengembaraan spiritual), Gerson memutuskan mimpi dan gampang saja: orang itu sadar kembali dan kakinya tak dipotong. Apakah ini juga kesengajaan? Bahwa Gerson ingin mengejek plot? Bahwa tidak selamanya harus ada kesimpulan? Bahwa cerita pun tidak perlu. Yang ada hanya nuansa-nuansa, hanya rangsang-rangsang. Imajinasi sebagai imajinasi. Pengembaraan batin murni yang tidak mesti ada apa-apanya? Seandainya Gerson ini seorang Danarto atau Iwan Simatupang atau Budidarma, saya berani memastikan: ya Gerson memang mengejek. Dia ingin mengembalikan imainasi kepada imajinasi. Ini adalah karya pembaruan. Tetapi karena referensi saya tentang Gerson adalah novelnya Sang Guru dan cerpennya Oleng Kemoleng, kesimpulan saya: Gerson dalam kedua novel ini kurang meyakinkan. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini