Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pembalasan putra pangeran guritno

Jakarta : jambatan, 1988 resensi oleh: sori siregar.

31 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANG PENUMPAS Oleh: Dukut Imam Widodo Penerbit: Jambatan, Jakarta, 1988, 200 halaman RASANYA cukup beralasan kalau H.B. Jassin mempertanyakan apakah Sang Penumpas, tokoh utama dalam kisah ini -- yang juga sekaligus menjadi judul buku -- benar-benar pernah ada d muka bumi, atau semata-mata suatu prinsip hidup yang dipersonifikasikan. Penjelasan pengarang -- melalui salah seorang tokohnya -- pada bagian akhir cerita ini tampaknya tidak dapat diterima begitu saja oleh Jassin, atau mungkin oleh banyak pembaca. Betapa tidak. Setelah dengan pintar dan meyakinkan, Dukut Imam Widodo mempermainkan rasa ingin tahu pembacanya, dengan enak ia memberi kata penutup, "Sang Penumpas" itu hanyalah khayalan belaka. Dengan kata lain, meminjam kata-kata tokoh itu, "sesungguhnya kita semua telah dirasuki bayang-bayang yang tak pernah ada. Bayang-bayang yang kita buru itu tak pernah kita temui wujudnya. Kehadirannya pernah kita rasakan, namun sebenarnya dia tak pernah ada". Kalau begitu, mengapa pengarang berani menyebut novel ini sebuah novel sejarah? Memang ia menggunakan sejumlah kepustakaan -- sebagian besar berbahasa Belanda -- yang diperolehnya dari Rijksmuseum, Amsterdam. Namun, itu tidak cukup untuk memberi predikat novel sejarah pada novel ini. Maksimal yang dapat dilakukannya hanyalah menggunakan data-data sejarah, bukan mengungkapkan sejarah itu sendiri. Memang tidak banyak pengarang Indonesia yang tertarik menggunakan data sejarah sebagai sumber orientasi. Dukut Imam Widodo adalah salah seorang dari yang tidak banyak itu. Kebetulan pula ia mempunyai kemampuan menulis yang lumayan. Dengan teknik cerita detektif, ia pun berhasil mengaduk-aduk rasa ingin tahu pembaca untuk tidak melepaskan buku ini. Ia berhasil untuk ini. Tokoh-tokohnya menarik dan hadir secara mengesankan, termasuk "bayangan" Mayor Gustaaf van den Broecke, Sang Penumpas. Sekelompok serdadu Belanda asli -- yang dipimpin mayor ini -- melakukan desersi, dan menentang Pemerintah Belanda di Batavia. Dalihnya: untuk membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Ia pun menobatkan dirinya sebagai Sang Penumpas. Peristiwa itu terjadi Oktober 1740, pada waktu hampir bersamaan dengan huru-hara orang-orang Cina -- yang kemudian ditumpas secara membabi buta dan biadab. Tapi desersi dan pemberontakan yang dilakukan Mayor Gustaaf van den Broecke sama sekali tidak ada hubungannya dengan keributan yang ditimbulkan orang-orang Cina itu. Sang Penumpas berjuang untuk kepentingan pribumi yang ditindas dan dijajah. Ini tidak terjadi begitu saja. Pembentukan pribadinya sejak kecil dan titisan darah yang diwarisinya menyebabkan ia tidak ingin bersikap lain. Kakeknya, Mayor William van den Broecke, adalah pendukung Sosrokusumo, pengikut Pangeran Jayakarta yang menentang kompeni. Istri William adalah wanita peranakan Belanda, bukan Belanda asli. Lalu anak gadisnya -- dari perkawinan itu -- menikah dengan Pangeran Guritno, putra Pangeran Sosrokusumo. Pangeran inilah ayah Gustaaf van den Broecke. Kedua kakek dan ayahnya itulah yang membentuk Gustaaf menjadi manusia yang tidak berhati nurani, bermental sekeras besi, dan cekatan dalam seni membunuh. Gubernur Jenderal sementara di Batavia, Johannes Thedens, tentu saja pusing tujuh keliling menghadapi kebiadaban pasukan Sang Penumpas -- yang jumlahnya hanya 30 orang itu. Setiap kali mereka beroperasi berarti "maut memamerkan taringnya yang mengerikan". Dia membuat darah tergenang di mana-mana. Dia ibarat serigala haus darah, tak pernah kenyang. Menyadari betapa beratnya tugas Gubernur Jenderal Thedens, Pemerintah Belanda di Amsterdam mengirimkan Kolonel Valentijn untuk membantunya. Kolonel ini ahli dan berpengalaman dalam memadamkan kekacauan. Kebetulan pula ia mengenal sepak terjang Gustaaf van den Broecke ketika masih bertugas di Negeri Belanda. Di pihak lain, Raden Suryo, yang ayahnya dibunuh oleh Gustaaf van den Broecke, khusus datang dari Kaap de Goede Hoop ke Batavia untuk membalas dendam kematian ayahnya. Lalu Cornelis van de Broecke, putra Sang Penumpas sendiri, datang pula dari Amsterdam untuk membunuh ayahnya, karena sang ayah dianggap telah mempermalukan dan menjatuhkan derajat keluarga. Kisah yang menggunakan resep cerita detektif ini pun melingkar-lingkar di antara Raden Suryo, Cornelis, Valentijn, dan Sang Penumpas yang diwakili oleh surat-surat dan buku hariannya. Agar liku-liku cerita semakin berbelit, dihadirkan pula Anne Marie, wanita misterius, putri seorang Belanda totok yang kawin dengan budak belian asal Jawa di Kaap de Goede Koop. Belanda totok ini pun bersimpati kepada perjuangan kaum pribumi dan memasok senjata untuk membantu perjuangan itu. Sebagaimana layaknya cerita-cerita detektif, novel ini pun menampilkan banyak kejadian kebetulan. Misalnya, pertemuan antara Raden Suryo dan Cornelis di kapal dengan tujuan yang sama: membunuh Sang Penumpas. Juga banyak peristiwa atau kondisi yang tidak meyakinkan, seperti adanya ruang bawah tanah tempat persembunyian Sang Penumpas -- tidak pernah diketahui kompeni. Lalu, sikap gerombolan Sang Penumpas yang memperlakukan Raden Suryo dan Cornelis dengan baik, padahal mereka tahu bahwa kedua orang itu akan membunuh pemimpin mereka. Namun, di luar semua itu, pengarang buku ini dapat memelihara ketegangan situasi yang digambarkannya dan membuat pembaca tercekam untuk terus mengikuti apa yang dituturkannya. Bahasa Belanda yang terselip di sana-sini juga memberikan nuansa yang menarik. Sori Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus