KETERLIBATAN remaja dengan alkohol senantiasa mengkhawatirkan. Masalah ini pernah dibicarakan dalam Rapat Menteri Bidan Ekuin, 1981. Waktu itu pemerintah cemas melihat kenakalan remaja, lalu memutuskan untuk melancarkan razia. Pelaksananya: Kopkamtib. Namun, kecanduan alkohol di kalangan remaja ternyata tak pernah surut, malah menjadi-jadi. Mengapa? "Kami tak bisa berbuat banyak," kata seorang pejabat di Markas Besar Polri yang tak mau disebutkan namanya. "Tidak ada dasar hukum untuk menertibkan mereka." Menurut pejabat itu, polisi baru bisa bertindak bila para remaja itu sudah ribut dan berbuat onar. "Sampai kini belum ada peraturan yang membolehkan polisi merazia komplotan teler," kata pejabat berpangkat kolonel itu. "Dalam KUHP, mabuk-mabukan cuma disinggung di pasal 492, dan hanya dikategorikan sebagai tindakan yang diancam denda Rp 25." Inilah sanksi hukum yang benar-benar ketinggalan jaman. Di berbagai negara -- sebagian Eropa dan Amerika Serikat -- para remaja dilarang keras mengkonsumsi alkohol. Mereka dilarang masuk ke nite club dan pub yang menjual minuman keras. Bahkan tidak diperbolehkan membelinya di supermarket. Distribusi dan konsumsi alkohol di banyak negara diatur dalam undang-undang. Menjual alkohol tanpa izin, mabuk di tempat umum, mengendarai kendaraan di bawah pengaruh alkohol, bahkan menenteng minuman beralkohol tanpa kemasan, semuanya terkategori melanggar hukum. Dan polisi berwenang untuk menindaknya. Peraturan macam inilah yang tak sepotong pun ada di sini. Lembaga yang berhak mengatur minuman keras hingga kini terpecah-pecah. Departemen Perdagangan mengeluarkan izin penjualan, sementara izin produksi keluar dari Departemen Kesehatan. "Kalau dicari-cari, tugas mencegah akibat alkohol akhirnya jadi tanggung jawab pemerintah daerah," ujar pejabat Departemen Perdagangan yang tak mau disebutkan namanya itu. Contoh: sebaiknya jangan beri izin pada toko atau warung yang terletak dekat sekolah untuk menjual minuman keras. Namun, sebenarnya pengawasan perdagangan alkohol hanyalah masalah kecil. Volume penjualan alkohol yang mempunyai izin produksi resmi ternyata tidak besar. Peningkatan penjualan bir lima tahun terakhir ini, misalnya, rata-rata hanya 2%. Ancaman alkoholisme justru datang dari minuman beralkohol yang tidak mempunyai izin produksi. Sebagian besar tidak dijamin aman dan mengandung kadar alkohol yang sangat tinggi. Termasuk di sini pola mengkonsumsinya di kalangan masyarakat bawah, tempat tingkat kegelisahan sangat tinggi. Gejala inilah yang kini merajalela, sementara polisi tak bsa berbuat apa-apa. Jis, Gunung Sarjono, Ahmadie Thaha (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini