Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bukan kentang dan daging saja

Oleh : ratih harjono. jakarta : gramedia pustaka utama, 1991. resensi oleh : bambang bujono.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Bukan kentang dan daging saja
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEORANG Asia suatu hari berada di tengah keramaian pertokoan Adelaide, Australia. Tibatiba ia merasa aneh, ketika melihat seorang lelaki Aborigin gondrong ngeloyor di tengah keramaian. Orangorang di sekitar acuh tak acuh. Si Aborigin, seperti kecapekan, tiba-tiba bersandar di tiang listrik, lalu mengeluarkan teriakan tak jelas. Bahkan, ketika itu orang-orang sekeliling tetap acuh tak acuh. Mungkin hal seperti itu sudah sangat biasa terjadi. Yang menjadi masalah bagi si orang Asia itu, dengan segala referensi yang dimilikinya, tiba-tiba ia melihat si Aborigin seperti korban perampokan. Orang-orang putih itulah perampoknya. Ia pun jadi bertanyatanya, siapa sebenarnya tuan rumahnya. Salah satu problem penting Australia sampai kini memang itu: bagaimana mengintegrasikan Aborigin yang sudah berdiam di benua ini, konon, sejak 40.000 tahun yang lalu, dengan orang-orang putih yang datang ke Benua Kanguru baru sekitar 220 tahun yang lalu, yang kemudian mengubah Australia seperti sekarang ini: sebuah negeri maju dengan tingkat hidup tinggi, yang lebih berkiblat ke Eropa daripada Asia. Padahal, Australia jauh dari Eropa. Masalah Aborigin itulah, antara lain, yang dibicarakan dalam buku Suku Putihnya Asia ini. Sebuah pembahasan yang menarik karena penulis, Ratih Hardjono, 32 tahun, orang Indonesia yang berdarah Australia dari ibunya, yang berdiam di Australia sejak ia berusia sekitar 18 tahun. Dan mungkin karena ia bukan Aborigin dan juga bukan orang putih Australia, ia melihat masalah itu dengan cukup adil. Maka, ia tak terjebak dalam pandangan stereotip bahwa orang putih datang dan lalu membantai orang Aborigin. Di pihak Aborigin, pada masa lalu, pun kadang, sengaja atau tidak, ada upaya menyalakan api permusuhan yang lalu menutup jalan musyawarah. Arthur Phillip, kapten kapal pertama yang membawa ribuan tahanan Inggris ke Australia, suatu ketika memenuhi undangan kaum Aborigin dengan niat baik. Tapi, ia hampir saja tewas karena tombak seorang warga kulit hitam Australia itu. Ini jelas bukan salah Phillip, karena konon Bennelong, si pengundang, akhirnya minta maaf (halaman 5). Keseimbangan pandangan dan keterlibatan langsung (ada wawancara dan reportase untuk menambah, atau mengecek, atau untuk mengaktualisasikan masalah) penulisnya tampaknya yang menjadikan buku ini berharga. Yakni berharga bagi pembaca untuk tak jatuh pada pandangan sama sekali positif atau sama sekali negatif pada Australia. Sesuatu yang saya duga, antara lain, muncul karena pekerjaan penulis: sejak 1986 Ratih menjadi wartawan harian Kompas. Seperti kita semua tahu, salah satu prinsip pemberitaan media massa adalah peliputan yang mencakup semua pihak yang bermasalah. Maka, penulis meluangkan waktu mengunjungi sendiri Redfern, perkampungan Aborigin di dekat Sidney. Mewawancarai sendiri seorang tetua Aborigin yang bekas penjahat nomor wahid, yang entah kenapa di hari-hari tuanya kini kembali menjadi peminum. Banyak lagi laporan dari tangan pertama. Tambahan inilah rasanya yang menjadikan buku ini bukan sekadar hasil riset perpustakaan, tapi sebuah tulisan yang tetap enak diikuti oleh mereka yang sudah paham tentang Australia, dan tak terlalu berat bagi mereka yang baru mencoba kenal dengan Benua Kanguru itu. Juga dengan jelas penulis menyampaikan bagaimana perubahan sikap politis pemerintah Australia dari menutup benua ini hanya untuk kulit putih menjadi untuk semua bangsa. Yang terakhir itu baru diputuskan di awal tahun 1970an oleh PM Gough Whitlam. Dan di pertengahan 1980an, PM Robert Hawke menegaskan pentingnya kawasan Asia-Pasifik bagi Australia. Secara implisit diakui bahwa mestinya Australia lebih dekat ke Asia. Konon, hal kedekatan ke Asia itu sudah terlebih dulu dirasakan oleh senimanseniman Australia. Lepas dari soal kualitas, di sebuah kompleks kesenian "pinggiran" di Adelaide, seorang teaterwan mementaskan cerita Joko Tarub. Beberapa tahun lalu, beberapa karya sastra Indonesia diterjemahkan oleh Harry Aveling, seorang pengamat sastra Australia. Dan kabarnya kini ada kecenderungan museum seni rupa Australia untuk mengangkat kurator yang berorientasi ke Asia daripada ke Eropa dan Amerika. Dari segi makanan, kini tak cuma ada daging dan kentang, tapi juga kebab dari Timur Tengah, nasi, masakan Cina dan Jepang, juga masakan India. Yang menarik adalah pengalaman Ratih sendiri. Ia, tulisnya, ketika masuk Australia pertama kali, 1978, merasa kikuk di depan loket imigrasi di bandara. Soalnya ia merasa pegawai imigrasi itu bersikap kaku dan penuh curiga. Lalu, ketika ia baru kembali dari Indonesia belum lama ini, ia menyaksikan satu pemandangan yang sungguh menarik. Di depannya di loket imigrasi bandara sebuah keluarga imigran asal Asia sedang menunggu pemeriksaan suratsurat. Berbeda dengan yang dialami penulis 14 tahun yang lalu, pegawai imigrasi itu dengan ramah memberi ucapan selamat datang kepada imigran itu, dan sungguh di luar dugaan, tiba-tiba ia berdiri dan menyalami anggota keluarga pendatang termuda, sekitar lima tahun, dengan bersahabat. Bila buku ini sengaja ditulis untuk pembaca awam, sehingga pembahasan masalah memang di permukaan, meski dicoba memandangnya dari segala aspek, hal elementer yang terlupakan adalah tiadanya peta dan sedikitnya foto ilustrasi. Bambang Bujono SUKU PUTIHNYA ASIA, PERJALANAN AUSTRALIA MENCARI JATI DIRINYA Oleh: Ratih Hardjono Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, 289 halaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus