Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mula tentara main politik

Penulis : Salim Said singapore :institute of Southeast Asian Studies, resensi oleh : A. Margana singapore : institute of southeast asian studies, resensi oleh : a. margana

25 April 1992 | 00.00 WIB

Mula tentara main politik
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
THE GENESIS OF POWER, GENERAL SUDIRMAN AND THE INDONESIAN MILITARY IN POLITICS 1945-1949 Penulis: Salim Said Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1991, 186 halaman. ANGKATAN Bersenjata Indonesia sering disebut lahir sendiri, self created army. Seperti ditulis Salim Said dalam buku ini, ABRI tak dibentuk oleh pemerintah atau partai politik. Dalam sejarahnya, kelahiran ABRI lebih diwarnai pandangan luas kala itu bahwa kemerdekaan tak mungkin diraih tanpa kekuatan militer. Sebelum kemerdekaan memang ada mobilisasi oleh Jepang, yang melahirkan Pembela Tanah Air (Peta) dan Lasykar. Namun, tak berarti bahwa tentara Indonesia dibentuk Jepang. Sebab pada 19 Agustus 1945 mereka menuntut agar Peta dibubarkan. Pada 22 Agustus 1945, BKR (Badan Keamanan Rakyat) dikukuhkan. Pada 5 Oktober, selang lima minggu kemudian, Presiden Soekarno meresmikan Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) sebagai bukti kepada Sekutu bahwa Indonesia bukan kolaborator Jepang. Kemudian Bung Karno juga mengangkat pimpinan Peta, Supriyadi, menjadi Menteri Pertahanan. Sayang, Supriyadi tak pernah menduduki kursi menterinya setelah menghilang sebelum Jepang menyerah. Para pemuda yang menjadi tentara, sekitar 150 ribu orang, semula berharap agar Syahrir lebih revolusioner dalam menghadapi Belanda dengan kekuatan militer. Namun, mereka kecewa karena Syahrir memilih jalan diplomasi. Bahkan Bung Karno, sebelum mengungsikan ibu kota ke Yogya awal 1946, menunjuk Syahrir untuk berunding dengan Belanda di Jakarta. Pemerintah sejak itu berkonflik dengan militer. Pertentangan antara militer dan sipil mulai meningkat setelah Bung Karno minta Amir Syarifuddin melobi eks para perwira KNIL (tentara didikan Belanda) menyiapkan konsep pembentukan Angkatan Bersenjata. Tanggal 15 Oktober 1945, Urip Sumoharjo, salah seorang eks perwira KNIL, diangkat menjadi kepala staf Angkatan Perang, dan Muhamad Sulyadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat (ad interim) menggantikan Supriyadi yang tak muncul. Para perwira, terutama eks Peta, tambah kecewa. Pada pertemuan para perwira di Yogya, 11 Maret 1945, yang semula dirancang untuk konsolidasi berubah menjadi ajang pertentangan. Perwira-perwira eks Peta ramairamai memilih Kolonel Sudirman menjadi Panglima Besar dan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Dua hari setelah pemilihan Sudirman dan Sultan di Yogya, Syahrir di Jakarta mengumumkan penunjukan Amir Syarifuddin menjadi Menteri Hankam dan Urip Sumoharjo sebagai kepala staf Angkatan Perang. Artinya, selama sebulan ada dua Menteri Pertahanan dan dua panglima untuk militer. Instruksi dan keputusannya pun berbeda. Amir ikut jalan Syahrir, menghadapi Belanda lewat diplomasi. Sedangkan tentara tunduk pada Sudirman, yang memilih untuk bergerilya. Pertentangan militer-pemerintah ini sedikit reda setelah pemerintah mengakui dan melantik Sudirman menjadi Panglima Besar dengan pangkat jenderal penuh (21 Mei 1946). TRI diubah menjadi TNI untuk menyatukan berbagai kekuatan bersenjata yang ada. Konflik pemerintah dan militer sebenarnya tak terlepas dari sikap politik Sudirman. Pemimpin karismatik tentara itu, menurut Salim Said, dikenal sebagai go between. Ia pernah sekubu dengan oposisi di bawah Tan Malaka untuk menentang Syahrir. Dalam hal "Affair 3 Juli", misalnya, Sudirman setuju dengan isi petisi yang menuntut pembubaran kabinet Syahrir-Amir. Konflik politisi dan militer memuncak lagi ketika Presiden mengeluarkan dekrit 2 Januari 1948 tentang rasionalisasi. Posisi Sudirman diturunkan dari orang Nomor 1 dalam Angkatan Perang RI menjadi di bawah Menteri Pertahanan. Sudirman, Urip, dan sejumlah perwira menentang dekrit itu. Ketika kemudian Persetujuan Renville (awal 1948) menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Republik Indonesia Serikat, pihak militer menilainya sebagai kegagalan diplomasi. Sudirman pun minta Soekarno-Hatta agar mengungsi ke luar ibu kota karena Yogya akan diduduki Belanda. Anjuran ini ternyata tak ditanggapi "dwitunggal" itu, dan Sudirman lalu memutuskan untuk memimpin gerilya dari luar kota. Ketegangan berikutnya antara pemerintah dan militer adalah ketika Bung Karno mengumumkan gencatan senjata, yang diikuti Konperensi Meja Bundar (KMB) 23 Agustus2 November 1949 dan menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS). Militer tak setuju dengan gencatan senjata sebelum berunding. Sudirman sendiri tak terlalu lama menyaksikan hasil KMB itu. Ia meninggal 29 Januari 1950. Di bawah kepemimpinan Sudirman, militer mempunyai strategi untuk ikut serta dalam masalah sosial politik walau belum terumus seperti konsep middle way KSAD Jenderal A.H. Nasution sepuluh tahun kemudian bahwa tempat tentara dalam masyarakat adalah "bukan alat sipil bukan rezim militer. Tapi seperti kekuatan masyarakat lainnya, yang berjuang bersama mereka". Konsep ini kemudian ditafsirkan sebagai dasar dwifungsi ABRI. Buku yang didasarkan pada disertasi Salim Said untuk Ph.D. di Ohio State University, Amerika Serikat, itu menarik karena dilengkapi dengan wawancara dengan sejumlah tokoh pelakunya. Ada detail dan deskripsi yang memikat. Namun informasi yang benar-benar aktual kurang muncul. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus