JENAZAH dalam tebing ditemukan terkeping. Ini membuat orang merinding. Apa lagi korban itu disangka Farham Taufik, hingga warga Pelempad di Desa Meninting, Lombok Barat, geger berat. Siswa kelas satu jurusan Pariwisata di SMKK Mataram itu sudah sebulan lebih menghilang. Dan di siang pertengahan April lalu, ia kembali muncul. Padahal, seisi dusun itu ingat, mayat anak berusia 17 tahun ini sudah dimakamkam di hari pertama Lebaran. Tubuhnya terpotong-potong, kepala, tangan tanpa telapak jari, dan kaki, akibat pembunuhan. "Kampung jadi sepi. Malamnya, penduduk takut keluar rumah. Mereka menganggap yang pulang itu Farham jadi-jadian," kata Baharudin, guru mengaji Farham. Apalagi setibanya di sana ia pingsan sampai sore. Cerita pun berkembang. Ini berawal dari mayat terpotong yang ditemukan dalam jurang 50 meter di Lingkok Tato, di Hutan Pusuk Lombok Barat. Adalah Haji Abdurachim Taufik, ayah Farham, yang melihatnya sendiri. Ia syak, jenazah itu adalah anaknya yang raib. Ia sudah keliling Lombok mencari Farham. "Melihat gigi bawahnya ada yang berlubang saya yakin itu anak saya yang selama ini hilang," kata Abdurachim pada Supriyanto Khafid dari TEMPO. Setelah diperiksa di RSU Mataram, tujuh hari kemudian mayat terpotong itu diambilnya untuk dikuburkan. Farham menghilang, menurut ayahnya, karena ada ancaman dari Hasan, 35 tahun. Hasan pernah terlihat dengan kenderaannya memboncengi dua anaknya dari bekas istri pertama. Menurut Pak Haji ini, Hasan menduga Farham menyampaikan yang dilihatnya itu kepada Mahyuni, istri baru Hasan. "Saya tidak pernah mengancam. Saya hanya ingatkan agar ia tak bercerita apa-apa. Mungkin Mahyuni cemburu, menyangka saya akan kembali lagi kepada istri terdahulu," kata Hasan kepada TEMPO. Farham, anak keempat Abdurachim dari istri kedua, bercerita bahwa kepergiannya itu memang karena takut tinggal di Mataram. Dengan bekal Rp 10 ribu ia berniat ke Bali. Di pelabuhan Lombok ia bertemu Manisah, pencatut. Lalu diajaknya Farham tinggal di rumahnya di Penarukan. "Karena rumahnya berupa kamar kecil, saya lalu dititipkan di rumah Haji Mahyudin," tuturnya. Selama di sana ia menyabit rumput. Berat badannya merosot dari 50-an kilo menjadi 40-an kilo. Tingginya 153, hingga tampak ceking. "Baru kemarin saya berniat pulang," cerita Farham di bawah tenda di depan rumahnya. Tenda itu semula digunakan menampung tamu untuk membaca tahlil, pada malam sebelum ia pulang. Di terminal Kebon Roek, sebelum turun dari bemo, ia bertemu Muhidah. Kawannya di Tsanawiyah itu memberitahukan bahwa Farham dianggap mati, dan sudah dikubur. "Karena kaget saya akhirnya pingsan," kata Farham, tanpa senyum. Ia pingsan sejak pukul 11 siang hingga magrib. Ayahnya sedang ke pasar membeli sapi untuk kenduri sembilan hari penguburan jezanah yang dianggap Farham tadi. Tahu anaknya pulang, kemudian dua sapi yang disiapkan untuk itu ditambah lagi seekor. "Niat menyelamati tetap saya lakukan. Syukur alhamdulillah ia kembali," kata Abdurachim. Akan halnya Hasan, ia terpaksa minta perlindungan Ketua LKMD Kelurahan Ampenan Utara, Ismail, yang juga Peltu CPM. "Saya menderita. Dan nama baik saya tercemar, karena berita tuduhan pembunuhan itu sudah tersebar," ujar makelar dan tukang pijat di kawasan wisata Senggigi itu. Kini ia memikirkan untuk mengajukan keberatannya. Dalam pada itu Letda Daud Migo dari Polres Lombok Barat menganggap Abdurachim bersalah. "Ia mengambil jenazah tanpa sepengetahuan kami," ujarnya. Tapi terlepas dari urusan Farham versus Hasan, maka yang jadi PR buat polisi: mengungkapkan siapa gerangan korban yang pengebumian jenazahnya sudah diurus Abdurachim. Dan siapa pula pelaku pembunuhan sadis itu? Ed Zoelverdis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini