PERSEROAN Terbatas adalah tungku usaha yang aman dalam dapur bisnis. Dengan sifat laibilitas (liability) risiko yang "terbatas", PT dapat membuat nyenyak tidur para pendirinya, aman dari kekhawatiran tergerogotinya harta pribadi mereka dalam ihwal bisnis. Kelahiran Undang-Undang Perbankan 25 Maret lalu mengingatkan kita kembali akan sentralnya peranan Perseroan Terbatas, yang populer dengan singkatan PT itu. Pasal 21 UU No. 7 tahun 1992 itu menyebutkan, usaha perbankan dapat dilakukan oleh PT, Perusahaan Perseroan, Koperasi dan Perusahaan Daerah. Untuk kolom ini, kita keluarkan dulu Perusahaan Daerah karena matra aktivitasnya bersifat lokal. Mengenai Koperasi fungsinya telah jelas. Ia menampung asas usaha kekeluargaan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Dan menurut GBHN, Koperasi adalah salah satu aktor dalam dunia usaha. Selain Koperasi, dunia usaha diemban oleh Negara dan Swasta. Negara menyalurkan kegiatan usahanya lewat tiga macam bentuk BUMN. Satu di antaranya, yang relevan untuk perbincangan di sini ialah Perusahaan Perseroan, jamak dikenal sebagai Persero. Berdasarkan undang-undang, Persero tiada lain adalah PT, hanya modalnya saja yang berasal dari Negara RI. Tapi usahanya sama dengan PT: mencari laba. Akan halnya Swasta semua orang tahu: umumnya bergiat melalui PT. Pada skala kecil memang ada usaha perorangan, Firma dan Commanditaire Vennootschap (CV). Jadi PT itulah tungku utama dunia usaha selain Koperasi w namun yang terakhir ini punya sisipan misi tertentu. Tapi biar utama, pengaturannya amat memelas. Coba kita lihat. Koperasi telah ada undang-undangnya sejak 1967, bahkan kabarnya kini akan direvisi lagi. Dan mana ada urusan badan usaha yang punya Menteri tersendiri seperti Koperasi. Nah, PT sendiri masih menyandarkan diri pada Wetboek van Koophandel, diindonesiakan dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Ini hukum warisan Belanda, tapi tentu bukan salah Belanda kalau kita masih memakai ketentuan yang hanya berisi 21 pasal itu. Di negara asalnya sendiri, hukum perseroannya sudah berubah dan menangkap aspirasi zaman. Lalu-lintas bisnis dewasa ini tampaknya bukan mainan KUHD lagi. Hampir tiap hari terdengar berita PT-X bergabung dengan PT-Y (merjer), sementara PT-A dan PT-B meleburkan diri serta membentuk PT-C (konsolidasi). Esoknya, PT-K diwartakan mengambil alih PT-L (akuisisi). Sepintas urusan PT adalah masalah Rapat Umum Pemegang Saham, sebagai organ tertinggi PT. Ini tentu saja tidak benar. Ada berbagai pihak luar yang berkepentingan. Dari masyarakat ada kreditur, tenaga kerja, pemegang saham minoritas dan, yang kurang diperhatikan selama ini, konsumen. Dari deretan otoritas publik, ada instansi pajak dan pemberi perizinan. Lalu-lintas ini tambah ramai dengan aktifnya pasar modal dengan segala instrumen kelengkapannya. *** Upaya bukan tak ada. Sejak 1976 Departemen Kehakiman telah menyiapkan satu naskah Rancangan Undang-undang (RUU) PT, sebagai pengganti hukum perseroan yang ada dalam KUHD. Entah kenapa soal RUU PT ini lama tenggelam, walaupun Menteri Kehakiman dalam berbagai kesempatan kerap mengimbau agar RUU PT cepat menjadi UU. Yang menarik, awal bulan lalu soal RUU PT ini tersinggung lagi ketika tersiar pembantahan antara Menteri Kehakiman dan pihak Sekretariat Kabinet tentang apakah RUU PT masuk prioritas atau tidak (Kompas, 2 dan 6 Maret 1992). Sebetulnya, sebelum berita perbantahan di atas, tahun lalu muncul RUU PT yang baru, kali ini hasil rekaan Kantor Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan (EKUIN). Mungkin terdorong oleh suasana deregulasi dan visi pragmatis orang bisnis, RUU ini tidak mendetil. Jika RUU versi Departemen Kehakiman punya 159 pasal, yang RUU versi Menko EKUIN hanya punya 60 pasal. Bahkan ada 2 pokok masalah yang kelihatan revolusioner, dan karena itu amat berbeda dengan RUU buatan Departemen Kehakiman. Pertama, PT dapat didirikan oleh satu orang saja. Kedua, Anggaran Dasar PT cukup didaftar pada satu badan yang khusus dibentuk untuk itu, jadi tak perlu disahkan oleh Menteri Kehakiman seperti sekarang ini. Namun kedua RUU itu mengandung ketentuan yang menampung aspirasi masa kini, yaitu ketentuan tentang merjer atau penggabungan usaha, konsolidasi, serta akuisisi. Yang menarik, RUU versi Menko EKUIN mengatur mengenai perlindungan kepentingan saham minoritas. Ini hanya beberapa kutipan dan kolom ini memang tidak bermaksud untuk menguraikan lebih jauh materi kedua RUU tersebut. Apapun, adanya satu UU baru tentang PT sudah saatnya. Ia ibarat cahaya listrik, yang akan menggantikan pelita minyak tanah. Aneh, jika pengaturan substansi tertentu dalam bidang bisnis telah maju, tapi wadah usahanya sendiri masih begitu-begitu juga. Di samping UU Perbankan dan UU Koperasi, kita telah punya UU Asuransi dan UU Dana Pensiun tinggal menunggu tandatangan Presiden RI. Sebentar lagi akan ada UU Pasar Modal yang baru. Bahkan KADIN saja sudah punya undang-undang. Masa PT yang merupakan tungku utama dan terutama bagi kaum bisnis itu masih pakai aturan main yang di negara asalnya sendiri sudah ditinggalkan. Coba kalau Belanda tidak pernah memberlakukannya di Indonesia. *) A. Zen Umar Purba, SH, LLM, adalah konsultan hukum pada Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro.s
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini