LE "GROUPE DE YOGYA" 1945-1960
Farida Soemargono, Cahier d 'Archipel 9, Paris, 1979,
282 halaman.
RANGKA sejarah sastra Indonesia menunjukkan bagan yang terlalu
sahaja. Sekurang-kurangnya di dalam buku-buku pelajaran sekolah
menengah perkenbangan sastra itu masih mengikuti garis
pertumbuhan yang tunggal.
Dimulai dengarl buku-buku keluaran Balai Pustaka pada tahun
duapuluhan, garis itu disambung tahun tigapuluhan dengan hasil
penulisan pengarang-pengarang Pujangga Baru. Pertumbuhan sastra
itu lalu berlanjut pada karya-karya Angkatan 45. Akhirnya
menyusul karangan-krangan generasi yang lebih muda, yang oleh
kritikus H.B. Jassin dinamakan Angkatan 66.
Disadari, adanya pertumbuhan itu disebabkan aksi-reaksi
pendirian sastra yang berbeda. Tapi bagaimanapun besarnya dan
sengitnya pertentangan antara kelompok dan generasi sastrawan,
perjalanan sejarah yang ditempuh seperti menampakkan hanya satu
garis lurus saja. Denganternanap pada bagan searah yang sahaja
itu, orang cenderung tidak melihat pada perkembangan yang
menyimpang atau yang berada di samping garis pokok.
Menjadi Sadar
Belakangan ini makin banyak peneliti sastra meminta perhatian
kita pada gejala perkembangan sampingan yang tidak kalah
pentingnya. Dalam berbagai publikasi dibukalah daerah-daerah
kegiatan sastra, yang sebelumnya tidak pernah atau tidak cukup
teramati.
Karya sastra yang terbit sebelum dan sezaman dengan periode
Balai Pustaka khususnya, menjadi bahan penyelidikan yang
penting. Dalam hal ini pembahas sastra, seperti Bakri Siregar,
Pramoedya Ananta Toer, C.W. Watson dan Claudine Lombard-Salmon,
telah berjasa membangkitkan segi perkembangan sastra itu ke
dalam kesadaran sejarah kita. Yang tersebut terakhir itu
mengkhususkan diri pada penelitian karya sastra Melayu yang
ditulis oleh keturunan Cina--yang beratus-ratus jumlahnya pada
masa awal itu.
Dari hasil penyelidikan sastra mereka kita tidak saja memperoleh
dimensi sejarah yang lebih dalam tentang kesusastraan kita. Kita
pun menjadi sadar betapa bangsa-bangsa lain pun turut serta
meletakkan dasar dan menentukan corak bangunan budaya yang kita
sebut kesusastraan Indonesia.
Kecuali nama-nama pengarang Cina, kita mendengar juga nama-nama
sastrawan Indonesia dan Belanda, yang tidak tersebut sebelumnya
di dalam bukubuku pelajaran sejarah kesusastraan yang resmi.
Nama-nama seperti Tio le Soei, F.D.J. Pangemanan, Mas Marco
Kartodikromo, Semaun, F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, mereka
semua telah ikut menyumbangkan karyanya kepada perkembangan
sastra Indonesia dan menjadi sebagian dari sejarahnya.
Karangan Farida Soemargono, Indonesianya Kelompok Yogya,
1945-1960, adalah satu contoh dari hasil perhatian kepada gejala
perkembangan sampingan itu. Yang disebut dan diketahui umum
sampai kini sebagai kesusastraan modern Indonesia adalah yang
pada pokoknya berkembang di ibukota Jakarta.
Dengan bahan dari wawancara, bukubuku dan majalah-majalah
setempat seperti Minggu Pagi, Seriosa, Budaya, Farida menyusun
kembali gambaran kehidupan sastra pada masa itu. Betapa dekat
hubungan kesusastraan dengan lingkungan budayanya yang lebih
luas pada pandangan penulis, terbukti pada bagian-bagian
permulaan buku ini. Bagian itu memaparkan suasana umum kegiatan
kebudayaan Yogya, kota pedalaman itu. Diuraikan kedudukan
senilukis senitari dan senidrama dan film di tengah nilai-nilai
tradisional yang masih hidup. Dengan demikian hendak dicapainya
suatu sosiologi estetik tentang kehidupan seni dan budaya di
kota itu.
Secara khusus dibicarakan tujuh pengarang dalam lapangan sastra
(bacaan) dan sastra-drama yang menonjol pada waktu itu. Mereka
Sri Murtono, D. Suradji, Subagio Sastrowardoyo, Kirjomulyo, W.S.
Rendra, Nasjah Djamin dan Motinggo susje. Meskipun ada yang
datang dari daerah lain (dua orang), semua pengarang ini telah
terkena pengaruh Yogya dan menyuarakan dunia awam di dalam
kesusastraan Indonesia. Dengan menyelidiki peranan Yogya dalam
turut membentuk sastra nasional, Farida hendak memberi gambaran
lain renrang sastra Indonesia. Ia pun menunjukkan segi dan
warna-warna lain dalam sastra Indonesia yang belum tersinggung
sebelumnya.
Menyuarakan Jawa
Niscaya pada orang yang pernah menjadi sebagian dari kehidupan
sastra dan budaya di Yogya pada masa itu timbul semacam
kerinduan waktu membaca buku Farida ini. Suatu nostalgia yang
tidak luput disertai kepahitan, karena teringat pada sulitnya
tetapi juga betapa manisnya pergulatan untuk mencapai
kesempurnaan dalam kerja seni. Lebih-lebih pada tahap permulaan.
Kita boleh bertanya, berapa dari seniman dan sastrawan yang
disebut dalam "Kelompok Yogya" itu masih kuat bertahan di dalam
kehidupan sastra nasional dewasa ini. Kita tidak lagi mendengar
tentang Sri Murtono dan Suradji. Yang pertama, pada masa
kejayaannya aktif mementaskan karya-karyanya sendiri yang
didasarkan pada sejarah, seperti Sumpah Gajah Mada dan berbagai
tulisan drama lain. Yang kedua telah menulis tidak kurang dari
47 buah roman dan drama.
Farida sendiri mengatakan, titik berat penelitiannya pada segi
sosial, dan dengan sengaja mengesampingkan segi artistik karya
sastra. Alhasil, kita pun memperoleh gambaran yang meyakinkan
tentang kegiatan "Kelompok Yogya" pada masa itu, yang tidak
kecil peranannya dalam meramaikan kehidupan seni dan sastra
nasional.
Tapi, itulah saya kira kelemahan yang melekat pada pendekatan
demikian. Selesai membaca bukunya, Farida meninggalkan kita
dengan pertanyaan yang tidak terjawab cukup bernilaikah hasil
kegiatan "Kelompok Yogya" itu untuk dicatat sebagai sumbangan
berarti bagi perkembangan seni dan sastra Indonesia?
Subagio Sastroardoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini