Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sudut sejarah yang terlupakan

Pengarang: farida soemargono paris: cahier d'archipel 9, 1979 resensi oleh: subagio sastrowardoyo. (bk)

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LE "GROUPE DE YOGYA" 1945-1960 Farida Soemargono, Cahier d 'Archipel 9, Paris, 1979, 282 halaman. RANGKA sejarah sastra Indonesia menunjukkan bagan yang terlalu sahaja. Sekurang-kurangnya di dalam buku-buku pelajaran sekolah menengah perkenbangan sastra itu masih mengikuti garis pertumbuhan yang tunggal. Dimulai dengarl buku-buku keluaran Balai Pustaka pada tahun duapuluhan, garis itu disambung tahun tigapuluhan dengan hasil penulisan pengarang-pengarang Pujangga Baru. Pertumbuhan sastra itu lalu berlanjut pada karya-karya Angkatan 45. Akhirnya menyusul karangan-krangan generasi yang lebih muda, yang oleh kritikus H.B. Jassin dinamakan Angkatan 66. Disadari, adanya pertumbuhan itu disebabkan aksi-reaksi pendirian sastra yang berbeda. Tapi bagaimanapun besarnya dan sengitnya pertentangan antara kelompok dan generasi sastrawan, perjalanan sejarah yang ditempuh seperti menampakkan hanya satu garis lurus saja. Denganternanap pada bagan searah yang sahaja itu, orang cenderung tidak melihat pada perkembangan yang menyimpang atau yang berada di samping garis pokok. Menjadi Sadar Belakangan ini makin banyak peneliti sastra meminta perhatian kita pada gejala perkembangan sampingan yang tidak kalah pentingnya. Dalam berbagai publikasi dibukalah daerah-daerah kegiatan sastra, yang sebelumnya tidak pernah atau tidak cukup teramati. Karya sastra yang terbit sebelum dan sezaman dengan periode Balai Pustaka khususnya, menjadi bahan penyelidikan yang penting. Dalam hal ini pembahas sastra, seperti Bakri Siregar, Pramoedya Ananta Toer, C.W. Watson dan Claudine Lombard-Salmon, telah berjasa membangkitkan segi perkembangan sastra itu ke dalam kesadaran sejarah kita. Yang tersebut terakhir itu mengkhususkan diri pada penelitian karya sastra Melayu yang ditulis oleh keturunan Cina--yang beratus-ratus jumlahnya pada masa awal itu. Dari hasil penyelidikan sastra mereka kita tidak saja memperoleh dimensi sejarah yang lebih dalam tentang kesusastraan kita. Kita pun menjadi sadar betapa bangsa-bangsa lain pun turut serta meletakkan dasar dan menentukan corak bangunan budaya yang kita sebut kesusastraan Indonesia. Kecuali nama-nama pengarang Cina, kita mendengar juga nama-nama sastrawan Indonesia dan Belanda, yang tidak tersebut sebelumnya di dalam bukubuku pelajaran sejarah kesusastraan yang resmi. Nama-nama seperti Tio le Soei, F.D.J. Pangemanan, Mas Marco Kartodikromo, Semaun, F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, mereka semua telah ikut menyumbangkan karyanya kepada perkembangan sastra Indonesia dan menjadi sebagian dari sejarahnya. Karangan Farida Soemargono, Indonesianya Kelompok Yogya, 1945-1960, adalah satu contoh dari hasil perhatian kepada gejala perkembangan sampingan itu. Yang disebut dan diketahui umum sampai kini sebagai kesusastraan modern Indonesia adalah yang pada pokoknya berkembang di ibukota Jakarta. Dengan bahan dari wawancara, bukubuku dan majalah-majalah setempat seperti Minggu Pagi, Seriosa, Budaya, Farida menyusun kembali gambaran kehidupan sastra pada masa itu. Betapa dekat hubungan kesusastraan dengan lingkungan budayanya yang lebih luas pada pandangan penulis, terbukti pada bagian-bagian permulaan buku ini. Bagian itu memaparkan suasana umum kegiatan kebudayaan Yogya, kota pedalaman itu. Diuraikan kedudukan senilukis senitari dan senidrama dan film di tengah nilai-nilai tradisional yang masih hidup. Dengan demikian hendak dicapainya suatu sosiologi estetik tentang kehidupan seni dan budaya di kota itu. Secara khusus dibicarakan tujuh pengarang dalam lapangan sastra (bacaan) dan sastra-drama yang menonjol pada waktu itu. Mereka Sri Murtono, D. Suradji, Subagio Sastrowardoyo, Kirjomulyo, W.S. Rendra, Nasjah Djamin dan Motinggo susje. Meskipun ada yang datang dari daerah lain (dua orang), semua pengarang ini telah terkena pengaruh Yogya dan menyuarakan dunia awam di dalam kesusastraan Indonesia. Dengan menyelidiki peranan Yogya dalam turut membentuk sastra nasional, Farida hendak memberi gambaran lain renrang sastra Indonesia. Ia pun menunjukkan segi dan warna-warna lain dalam sastra Indonesia yang belum tersinggung sebelumnya. Menyuarakan Jawa Niscaya pada orang yang pernah menjadi sebagian dari kehidupan sastra dan budaya di Yogya pada masa itu timbul semacam kerinduan waktu membaca buku Farida ini. Suatu nostalgia yang tidak luput disertai kepahitan, karena teringat pada sulitnya tetapi juga betapa manisnya pergulatan untuk mencapai kesempurnaan dalam kerja seni. Lebih-lebih pada tahap permulaan. Kita boleh bertanya, berapa dari seniman dan sastrawan yang disebut dalam "Kelompok Yogya" itu masih kuat bertahan di dalam kehidupan sastra nasional dewasa ini. Kita tidak lagi mendengar tentang Sri Murtono dan Suradji. Yang pertama, pada masa kejayaannya aktif mementaskan karya-karyanya sendiri yang didasarkan pada sejarah, seperti Sumpah Gajah Mada dan berbagai tulisan drama lain. Yang kedua telah menulis tidak kurang dari 47 buah roman dan drama. Farida sendiri mengatakan, titik berat penelitiannya pada segi sosial, dan dengan sengaja mengesampingkan segi artistik karya sastra. Alhasil, kita pun memperoleh gambaran yang meyakinkan tentang kegiatan "Kelompok Yogya" pada masa itu, yang tidak kecil peranannya dalam meramaikan kehidupan seni dan sastra nasional. Tapi, itulah saya kira kelemahan yang melekat pada pendekatan demikian. Selesai membaca bukunya, Farida meninggalkan kita dengan pertanyaan yang tidak terjawab cukup bernilaikah hasil kegiatan "Kelompok Yogya" itu untuk dicatat sebagai sumbangan berarti bagi perkembangan seni dan sastra Indonesia? Subagio Sastroardoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus